Blitar Selatan, 2000
Bagi mereka yang telah lama pergi, kembali ke kampung halaman akan membawa kesenangan. Tapi tidak bagi Rianto, kembali ke kampung halaman berarti kembali mengingat tragedi yang sepanjang hidup ingin ia lupakan.
Dalam semilir angin di atas mobil pikap yang ditumpanginya, satu per satu ingatan itu kembali datang.
***
Blitar Selatan, 1966
Kampung halamannya adalah sebuah desa di Selatan Pulau Jawa yang sangat terisolir dari dunia luar. Saking terisolirnya desa itu, ayahnya selalu bercerita kepadanya, kalau dahulu penjajah enggan untuk menginjakan kaki ke desanya. Walaupun begitu, desanya adalah sebuah tempat yang asri karena dikelilingi oleh barisan hutan jati. Banyak pula yang menjuluki desanya sebagai surga bagi kaum tani. Karena di desanya para penduduk mendapatkan lahan yang sama rata, sehingga para petani dapat memenuhi kebutuhan hidupnya masing-masing.
Hingga pada suatu hari, ia tidak ingat tepatnya kapan, tapi seingatnya ketika itu umurnya baru menginjak usia 7 tahun. Desanya kedatangan beberapa orang yang mengenakan pakaian yang necis. Orang-orang itu menemui ayahnya, mereka mengobrol di ruang tamu dengan suara yang cukup kencang, kadang diselingi oleh tawa, sehingga Rianto dapat mendengarnya dari dalam kamar. Ia mendengar kata perlawanan, revolusi angkat senjata, dan serangkaian kata-kata lain yang sulit dimengerti olehnya. Ia masih ingat, ketika ia keluar dari kamar dan menghampiri ayahnya, salah satu orang itu mengusap kepalanya ketika mereka hendak berpamitan meninggalkan rumahnya.
Setelah orang-orang itu pergi, ia bertanya ke ayahnya, siapa orang-orang itu. Ayahnya hanya menjawab kalau orang-orang itu adalah para pejuang yang berasal dari Jakarta. “Pejuang?” Dalam hatinya ia mulai bertanya-tanya, untuk apa pejuang itu datang ke desanya? Apakah akan terjadi perang seperti pelajaran sejarah yang diajarkan gurunya di sekolah rakyat? Entahlah, ia terlalu kecil untuk memahami apa yang tengah terjadi. Yang pasti, semenjak kedatangan orang-orang itu, suasana di desanya memang berubah. Orang-orang yang setiap pagi pergi ke sawah dengan mengenakan pakaian sederhana, kini tiap sore berseragam rapi dan berbaris pergi ke lapangan dengan menenteng senjata di lengan kanan.
Tiap sore, bersama Pai, ia datang ke lapangan untuk menyaksikan orang-orang itu latihan baris berbaris. Bukan tanpa alasan mereka berdua datang ke sana, di dalam barisan itu ada ayah Pai dan ayahnya yang berada di baris paling depan. Ia juga melihat orang-orang yang pernah datang menemui ayahnya di rumah, sedang memberi instruksi kepada orang-orang yang ada di barisan. Cukup lama orang-orang di desanya melakukan kegiatan itu.
Sampai pada suatu malam, ketika Rianto tengah mencoba memejamkan matanya, dari luar terdengar suara tembakan yang cukup deras menembus dinding kamarnya. Seketika suasana menjadi mencekam, ia berpikir waktu itu, penjajah telah kembali ke Indonesia, dan ayahnya bersama orang-orang itu mencoba untuk berjuang mengusirnya. Tapi ia berubah pikiran, karena ia masih inga ayahnya pernah berkata kalau penjajah enggan datang ke desanya. Entahlah, yang pasti sejak suara tembakan di tengah malam itu, ayahnya tidak pernah pulang ke rumah. Dan kegiatan baris-berbaris yang biasa diadakan tiap sore sudah tidak pernah dilakukan.
Selain suara desingan peluru yang menghantui desanya tiap malam, kini desanya juga kedatangan orang-orang dari luar. Orang-orang itu berbeda dari orang-orang yang dulu pernah datang ke rumahnya. Mereka mengenakan baret merah di kepala, berseragam loreng dan menenteng-nenteng senjata. Orang-orang berbaret merah itu mendatangi seluruh rumah warga yang ada di desanya, termasuk rumahnya. Ia masih ingat ketika orang-orang itu datang ke rumahnya. Tanpa ba-bi-bu mereka menggedor pintu rumahnya, menggeledah seisi kamarnya, menyita bendera merah bergambar palu arit milik ayahnya. Lalu, sebelum pergi, mereka menanyakan keberadaan ayahnya kepada ibunya dengan nada yang keras, namun ibunya hanya bisa menangis.
Ia kembali bertanya-tanya, apa benar ayahnya melawan penjajah, karena orang yang dianggapnya sebagai penjajah tidak seperti gambaran yang diceritakan oleh guru di sekolahnya. Orang-orang itu sama sepertinya, berkulit sawo matang, berbicara menggunakan bahasa Indonesia, terkadang diselingi bahasa Jawa. Ia hanya termangu melihat kejadian itu. Setelah orang-orang itu pergi, buru-buru ibunya memeluk tubuhnya dan mengusap-usap kepalanya. Tidak hanya sekali orang-orang itu datang ke rumahnya. Dan yang membuatnya bingung, orang-orang itu selalu menanyakan keberadaan ayahnya. Belakangan Rianto tahu, orang-orang itu membuat sebuah pemukiman di samping balai desa.
Ketika ia tengah melamun memikirkan apa yang tengah terjadi di desanya, tiba-tiba Pai berlari melewati depan rumahnya. Ia pun memanggilnya dan menanyakannya. Pai berkata, ia mau melihat ayahnya yang sekarang ada di balai desa. Ia pun berpikir, mungkin saja ayahnya juga ada di balai desa. Mereka berdua akhirnya berlari bersama menuju balai desa.
Sesampainya mereka di sana, sudah banyak orang yang berkumpul. Kebanyakan ibu-ibu yang menangis dan berteriak seperti memohon kepada orang-orang berbaret merah. Itulah kali terakhir Rianto melihat ayahnya. Ia tidak berani mendekatinya karena banyak orang-orang berbaret merah yang berjaga. Ayahnya yang telah berlumuran darah di kepalanya, diikat kedua tangannya ke belakang menggunakan tali tambang, dan akhirnya diangkut menggunakan truk meninggalkan balai desa.
Semenjak itu, ibunya mengajaknya pergi merantau ke Surabaya. Di sana mereka tinggal di sebuah rumah petakan yang disewa ibunya dengan sisa uang tabungannya.
***
Blitar Selatan, 2000t
Ketika tengah melamun mengenang masa lalu, ia dikejutkan oleh mobil pikap yang berhenti mendadak.
“Sudah sampai, Mas,” ucap sopir mobil itu.
“Oh iya, terima kasih banyak, Pak,” segera ia turun dari bak belakang mobil pikap tersebut.
Sampailah ia di depan gapura desanya. Kedatangannya kemari adalah untuk berziarah ke makam ayahnya.
Sebenarnya, berat hatinya untuk kembali mengunjungi desanya itu. Apalagi setelah mengetahui kalau ayahnya dan orang-orang dari Jakarta itu bukanlah pejuang seperti yang dikatakan ayahnya dulu. Dan sebaliknya orang-orang berbaret merah yang dulu dipikirnya sebagai penjajah ternyata adalah tentara Indonesia yang bertugas menumpas kelompok ayahnya.
Ketika kembali bersekolah di Surabaya, ia baru tahu apa yang sebenarnya terjadi di desanya. Hal itu menjawab pertanyaannya selama ini, kenapa ibunya selalu menyuruhnya untuk tidak membicarakan tentang ayahnya kepada orang lain.
Pembicaraan tentang ayahnya kembali terkuak ketika beberapa bulan lalu Pak Lek datang mengunjungi rumahnya di Surabaya. Pak Lek datang untuk memberi tahu di mana jasad ayahnya dikuburkan. Dulu, Pak Lek adalah bagian dari orang-orang yang ikut membantu tentara menumpas kelompok ayahnya.
Menurut Pak Lek, pada malam itu mereka ditugaskan oleh tentara untuk membawa beberapa orang yang telah ditangkap ke hutan jati yang berada di belakang desa. Di sana tepat di bawah pohon beringin terdapat sebuah leuwung (gua) berdiameter dua—tiga meter. Di depan leuwung itulah ayahnya dan beberapa orang lainnya ditembak mati, lalu mayatnya dilemparkan ke dalam leuwung.
Pak Lek meminta maaf kepada Rianto dan ibunya karena baru berani mengatakannya sekarang.
Setelah mendengar cerita Pak Lek itu, ibunya ingin sekali mengunjungi leuwung untuk berdoa dan menaburkan kembang di atasnya. Walaupun setelah tragedi yang menimpa ayahnya itu, ibunya memutuskan untuk pergi meninggalkan desa dan jarang sekali berbicara perihal ayahnya, akan tetapi ia tahu, di dalam hati, ibunya masih terus bertanya-tanya di mana dan bagaimana keadaan ayahnya, apa ia masih hidup atau telah tiada.
Namun, karena ibunya sudah tak bisa lagi melakukan perjalanan jauh, ialah yang harus mencari leuwung itu dan melakukan semua yang diminta ibunya.
***
Perlahan dengan langkah yang ragu, ia mulai memasuki desa yang telah lama ditinggalkannya. Tidak banyak yang berubah dari desanya, hanya saja ia merasa ada sesuatu yang janggal di desanya. Ia tidak melihat barisan pohon jati yang telah puluhan tahun mengelilingi desanya memberikan udara yang sejuk kepada penduduk desa yang sejak pagi buta sudah berangkat bekerja menggarap sawah.
Selebihnya masih sama saja. Rumah-rumah beralaskan tanah, berdinding anyaman bambu, beratapkan daun rumbia, hanya beberapa yang mengganti atapnya dengan genting. Mungkin, hanya balai desa yang terlihat lebih baik, tapi baginya balai desa itu menyimpan satu kenangan mengerikan yang tidak akan bisa dilupakan.
Tak jauh dari balai desa terdapat sebuah warung kopi. Di sana terlihat dua orang pria tengah mengobrol di deretan bangku panjang. Perjalanan yang jauh membuatnya agak sedikit kelelahan. Ia memutuskan untuk beristirahat sebentar di warung kopi itu, memesan kopi susu untuk sekadar membasahi tenggorokannya. Ketika ia hendak menuju warung kopi itu, seorang perempuan berbadan gemuk keluar dari balik pintu dan segera menyapanya.
“Silakan Mas, mampir sebentar, mau pesan apa?” dengan senyum yang ramah khas penduduk desa.
“Kopi susunya saja Mbakyu, satu.”
“Oh ya tunggu sebentar, silakan duduk, Mas.”
“Ya, terima kasih, Mbakyu.”
Rianto duduk di bangku panjang, persis di sebelah dua orang pria yang tengah mengobrol tersebut. Diam-diam ia menguping obrolan kedua pria itu.
“Kau sudah baca berita itu ?” tanya pria yang berbadan besar.
“Berita yang mana?” ucap pria yang berjanggut.
“Berita tentang Presiden Gus Dur yang meminta maaf kepada orang-orang PKI.”
“Oh ya, sudah aku baca kemarin sore di koran.”
“Ya, gila juga itu Gus Dur, buat apa dia minta maaf sama orang-orang ateis itu. Sudah baik dibasmi mereka sampai ke akar-akarnya.”
“Kau jangan begitu, Gus Dur itu Wali Allah. Jelas perkataan yang dia katakan pasti bukan omong sembarangan. Aku yakin pasti ada maksud baik dari perkataannya yang tidak dapat kita mengerti sebagai seorang manusia biasa.”
“Halah, sampai mati juga aku tidak akan mau bermaafan dengan orang-orang ateis itu.
Kata pak lekku yang pernah bertugas di Kodam Brawijaya, ketika dia ditugaskan menumpas sisa-sisa gerilyawan PKI di desa ini, masih banyak anak-anak anggota PKI yang dibiarkan hidup dan melarikan diri dari desa ini.”
“Bagiku kesalahan yang dilakukan oleh anggota PKI tidak bisa dijatuhkan kepada anak-anak mereka. Sejak kapan anak-anak itu bisa memilih untuk dilahirkan sebagai anak siapa.”
Obrolan kedua orang pria itu membuat Rianto bergidik ngeri. Namun, perhatiannya segera teralihkan ketika ia melihat perempuan gemuk itu keluar membawa kopi susu yang dipesannya, dan menaruhnya di atas meja di hadapannya.
“Silakan, Mas, ini kopi susunya.”
“Oh iya, terima kasih, Mbakyu.”
Karena rasa haus yang sudah tak tertahankan, ia segera menyeruput kopi susu yang masih panas itu.
“Masnya dari kota ya?”
“Iya, Mbakyu, saya dari Surabaya.”
“Oh dari Surabaya, ada urusan apa Masnya ke mari?”
“Anu, Mbakyu, mau silaturahmi ke tempat saudara.”
Ia terpaksa berbohong karena takut jika pria berbadan besar di sebelahnya mendengar maksud dan tujuan kedatangannya yang sebenarnya. Namun, kedua orang pria itu masih saja asik berdebat, tanpa sedikit pun melirik ke arahnya.
“Oh, ke tempat saudara.”
“Iya Mbakyu,” jawab Rianto sekenanya.
Karena penasaran dengan pohon jati yang tidak dilihatnya semenjak memasuki gapura desa, ia memberanikan diri untuk menanyakannya kepada perempuan itu.
“Oh iya Mbakyu, saya mau tanya.”
“Tanya apa Mas?”
“Kok saya tidak melihat pohon jati yang dulu mengelilingi desa ini ya?”
“Oh itu Mas, sudah dibabat semua sama perusahaan asing. Malah jadi banjir sekarang tho.”
Rianto sedikit terperangah dengan jawaban perempuan itu. Karena seingatnya, sama sekali tidak pernah ada banjir di desa ini.
“Hah, banjir?”
“Iya Mas, banjir.”
***
Tak berlama-lama ia beristirahat di sana. Setelah menghabiskan kopi susu yang dipesannya, ia segera membayar dan lekas pergi menuju bekas hutan jati yang ada di belakang desa, seperti yang diceritakan oleh pak leknya. Ia menyusuri jalan setapak yang dulu digunakan oleh orang-orang desa yang ingin pergi ke bekas hutan jati itu. Tak ada satu pun pohon jati yang tersisa, sejauh mata memandang yang terlihat hanya ilalang yang gersang, sangat kontras dengan ingatannya berpuluh tahun silam, ketika ia bersama Pai menaiki bukit, dan tidur di bawah rimbunan bayang-bayang pohon jati.
Seketika ia jadi teringat dengan kawan kecilnya itu. Namun, semenjak ia dan ibunya pergi meninggalkan desa, ia tidak pernah mengetahui kabar Pai. Yang ia ingat, dulu ketika mereka sama-sama berlari menuju balai desa, Pai menangis melihat kondisi ayahnya yang mengenaskan dibawa oleh tentara yang ada di balai desa.
Dengan langkah gontai, ia mulai ragu apa pohon beringin itu masih ada atau sudah ditebang bersama dengan pohon jati yang dulu tumbuh tinggi menjulang. Jika pohon beringin itu sudah ditebang, bisa dipastikan pencarian leuwung tempat ayahnya dikubur akan mengalami kesulitan bahkan kegagalan, dan amanat ibunya untuk menaburkan kembang di atasnya tidak akan dapat dilaksanakan.
Namun tak disangka, setelah ia berhasil menaiki bukit yang tandus, dari atas bukit ia melihat ke arah lembah di bawah, terdapat sebuah pohon beringin besar yang berdiri tegak bagaikan sebuah oase di tengah gurun sahara. Persis seperti yang diceritakan oleh pak leknya di bawah pohon beringin itu terdapat leuwung tempat ayahnya dimakamkan. Ia pun melihat seorang kakek berpakaian serba hitam berdiri menghadap ke arah leuwung itu.
Kembali ia merasa ragu untuk menghampiri leuwung itu. Ia takut kalau kakek-kakek itu adalah golongan orang-orang yang membenci ayahnya seperti pria berbadan besar yang tadi ditemuinya di warung kopi. Namun karena tidak ingin mengecewakan ibunya, dengan segenap keberanian yang tersisa ia mulai menghampiri kakek-kakek itu.
“Permisi, Pak, apa yang sedang Bapak lakukan di sini?”
Kakek itu tidak terkejut sama sekali dengan pertanyaan yang tiba-tiba diajukan kepadanya. Tanpa menoleh ke arahnya, kakek itu segera menjawab.
“Saya sedang mengunjungi kawan-kawan saya, Nak.”
Seketika kata-kata yang keluar dari mulut kakek-kakek itu membuat Rianto tertegun.
“Kau sendiri mau apa kemari, Nak?”
Karena tahu bahwa kakek punya tujuan sama, ia mulai berani mengatakan maksud dan tujuan kedatangannya yang sebenarnya.
“Saya hendak berziarah ke makam ayah saya, Pak.”
“Berziarah? Di mana makam ayahmu?”
“Menurut cerita Pak Lek saya, ayah saya dimakamkan di leuwung ini, Pak.”
“Siapa nama ayahmu?”
“Harjono Tjiptodarsono, Pak.”
“Har….Harjono?”
Kali ini malah kakek itu yang tergagap-gagap dengan kata-kata yang dikeluarkan oleh Rianto.
“Iya Pak, Harjono.”
“Hah, kau Rianto, anaknya Pak Jono?”
“Iya Pak, saya Rianto Tjiptodarsono anak semata wayang Pak Jono. Bapak kenal dengan Ayah?”
Seketika kakek itu memeluk tubuh Rianto, menangis sesenggukan dan berkata, “Maafkan saya, Nak, maafkan saya.”
“Maaf untuk apa, Pak?”
“Aku dulu sahabat ayahmu, Nak. Kami sama-sama anggota barisan tani yang ikut menjadi gerilyawan PKI. Ketika dia tahu bahwa perlawanan PKI di Blitar akan mengalami kekalahan, dia menyuruhku yang masih bujang untuk kabur dari desa ini. Dia hanya berpesan menitipkan anak semata wayangnya dan istrinya untuk dijaga olehku, tapi karena aku terlalu takut, aku kabur melarikan diri sendiri, tanpa menjalankan amanat yang diberikan oleh ayahmu.
Dalam pelarian, aku selalu dihantui oleh rasa bersalah karena tidak menjalankan amanat dari ayahmu. Ketika keadaan sudah mereda, aku kembali menyelinap ke dalam desa, Nak. Mencari tahu di mana keberadaanmu dan ibumu, namun seseorang tetangga mengatakan engkau dan ibumu telah lama pergi meninggalkan desa ini.”
Rianto meneteskan air mata. Sudah lama ia tidak menangis. Semua peristiwa mengenaskan di masa lalu, hanya bisa dipendamnya sendiri. Kini ia merasa menemukan alasan untuk mengeluarkannya.
“Sudah, Pak, tidak perlu merasa bersalah, saya dan ibu baik-baik saja. Yang terpenting sekarang kita telah mengetahui di mana tempat ayah dan kawan-kawannya dimakamkan,” ucap Rianto sambil menepuk bahu kakek itu.
Rianto mulai membuka tas selempangnya, ia mengambil sebuah bungkusan hitam berisi kembang yang ibunya belikan di pasar.
“Ayo Pak,” ucap Rianto sambil menyodorkan bungkusan hitam berisi kembang ke arah kakek itu.
Kakek itu mulai mengambil kembang yang disodorkan Rianto. Lalu bersama-sama mulai menaburkannya di atas leuwung. Kembang-kembang itu jatuh ditelan kegelapan leuwung, seperti orang-orang yang dieksekusi di hadapan leuwung itu, mereka hilang ditelan oleh kegelapan.
Bintaro, 19 Juli 2021