Film Yuni resmi tayang di bioskop sejak 9 Desember kemarin. Sebelumnya, pada bulan September lalu, Film ini menyabet penghargaan Platform Prize di ajang Toronto International Film Festival (TIFF). Penghargaan ini dipersembahkan untuk film dengan nilai artistik tinggi dan memiliki visi penyutradaraan yang kuat. Pada ajang Festival Film Indonesia (FFI), pemeran Yuni, Arawinda Kirana diganjar penghargaan kategori Pemeran Utama Perempuan terbaik. Film ini juga akan menjadi perwakilan Indonesia untuk bersaing dalam seleksi Piala Oscar 2022.
Perpaduan pengalaman sinematik yang memikat dan pesan mengenai kebebasan perempuan, disampaikan dengan indah sekaligus intim melalui kisah seorang perempuan muda bernama Yuni.
Penonton akan mengenal Yuni dari obsesinya terhadap warna ungu. Mulai dari pakaian dalam, jepit rambut, tas, motor, sampai kaus kesehariannya berwarna ungu. Saking cintanya pada warna itu, Yuni sampai mencuri barang berwarna ungu milik temannya. Gurunya, Ibu Lies, sangat menyayangkan “penyakit ungu” yang diidap Yuni. Sebab, di luar itu, ia siswa yang pandai dan memiliki potensi memenuhi persyaratan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.
Penonton tak hanya akan mengenal Yuni dari penampilannya atau “penyakit ungu”-nya. Lebih dari itu, sang sutradara, Kamila Andini, justru membuat penonton mengenal Yuni melalui cara-cara yang sangat personal dan intim: dari tindakannya; isi pikirannya; kegamangan batinnya; sekaligus gejolak hatinya mencari kebebasan.
Yuni mungkin tak menyangka perbincangannya dengan Ibu Lies mengenai beasiswa akan membawanya pada kenyataan betapa terbatasnya hak-hak perempuan muda di lingkungannya. Sebagai anak dari keluarga menengah-bawah tanpa privilise, Yuni dihadapkan dengan pilihan yang serba tak mengenakkan: melanjutkan kuliah dengan beasiswa yang syaratnya sulit; langsung bekerja setelah lulus sekolah; atau langsung menikah muda.
Mengambil latar tempat di Kota Serang, film ini sepenuhnya menggunakan bahasa Jawa-Serang (Jaseng). Detail ini membuat situasi cerita terasa begitu nyata. Sebab, jauh dari kota, di kampung-kampung, pilihan hidup perempuan masih begitu terbatas. Pemahaman pentingnya pendidikan tinggi belumlah setinggi di kota. Akhirnya, karier perempuan paling mentok menjadi buruh pabrik atau TKI, atau berkutat di dapur, sumur, dan kasur jika menikah.
Dari situ pula Yuni dihadapkan pada masalah sosial terstruktur dan berlapis yang rumit. Permasalahan yang rasanya terlalu berat untuk ditanggung oleh perempuan berusia 16 tahun dan masih tak tahu akan melakukan apa untuk masa depannya.
Yuni Tak Sendiri
Yuni diajak menikah dua kali. Oleh dua laki-laki yang tak terlalu dikenalnya, yang langsung datang ke rumah tanpa sepengetahuannya.
Dalam kesulitan menentukan keputusan, sejatinya Yuni selalu punya kuasa untuk menolak. Dalam dirinya, ia ingin memperjuangkan beasiswa. Nenek dan orangtua Yuni pun selalu melibatkan Yuni dalam setiap keputusan. Setiap laki-laki yang tiba-tiba datang ke rumah Yuni untuk melamar, nenek Yuni memang menerima kedatangan mereka, tetapi, ia akan memberikan Yuni jeda waktu untuk berpikir. Meski tak jarang pula, sang nenek memberikan petuah persuasif tentang kebaikan pernikahan.
Di antara jeda waktu penuh kegamangan itu, sering kali, pertimbangan Yuni terbentur kepercayaan tradisional akut orang-orang di sekelilingnya. Yuni harus berhadapan dengan pamali menolak lamaran lebih dari dua kali yang bisa menyebabkan ia kesulitan mendapat jodoh. Selain kepercayaan tradisional, gosip dan gunjingan dari teman-teman sekolahnya ikut memberatkan Yuni.
Pesan-pesan progresif tentang kebebasan perempuan dalam film ini tak berasal dari diri Yuni saja. Perjuangan perempuan menuntut hak merupakan perjuangan kolektif. Dalam film ini sendiri, penonton akan mengenal teman-teman sebaya Yuni atau perempuan-perempuan lain dengan kisah mereka sendiri. Fragmen tersebut masih memiliki keterikatan yang bermuara pada pesan tentang kebebasan perempuan.
Yang kental sekali diangkat dari film ini adalah fenomena pernikahan dini serta dampaknya. Tak hanya Yuni yang dipaksa menikah muda, seorang teman sekolah Yuni harus dinikahkan paksa hanya kerena prasangka masyarakat. Teman sekolah Yuni yang lain, baru melahirkan bayi tetapi suaminya tak pernah menemaninya. Suci, kenalan Yuni yang usianya lebih tua dari Yuni, bercerita bahwa ia pernah menikah saat berusia 15 tahun. Ia menjadi korban KDRT setelah mengalami keguguran berkali-kali sebab saat itu tubuhnya belum siap untuk mengandung.
Pesannya sangat jelas tersampaikan bahwa faktor kesiapan adalah hal mutlak dalam pernikahan. Kematangan usia, fisik, serta psikis mengambil andil dalam urusan membentuk keluarga.
Baca juga Jangan Paksa Anak-Anak Menikah!
Melawan Diskriminasi Seksual
Kamila Andini melalui diri Yuni berhasil menampilkan fragmen sensitif dan intim yang masih sering menjadi perdebatan dalam masyarakat: seksualitas perempuan. Dan film ini mencoba melawan diskriminasi yang masih sering ditujukan terhadap hal tersebut.
Konsep keperawanan masih menjadi hal yang patut dibicarakan. Film ini dua kali menyenggol topik soal keperawanan tersebut. Pertama, saat sekolah Yuni hendak melakukan tes keperawanan sebagai syarat kelulusan. Kedua, Mang Dodi, laki-laki yang ingin menjadikan Yuni istri kedua, akan memberi uang dalam jumlah besar jika Yuni terbukti masih perawan saat malam pertama.
Film ini berhasil merefleksikan minimnya pendidikan seks di sekolah. Sekolah atau institusi lain yang seharusnya memastikan kesetaraan gender, justru menjadi tempat terjadinya diskriminasi. Sekolah Yuni, dalam film ini justru masih mempraktekan uji keperawanan sebagai syarat lulus sekolah. Pada satu adegan, saat dilangsungkan pengumuman akan wacana tes keperawanan, semua siswi justru kelihatan kebingungan dan bertanya-tanya apa itu tes keperawanan. Ini mengindikasikan bahwa sekolah justru absen memberikan pemahaman dan pendidikan seks kepada muridnya, termasuk konsep keperawanan di dalamnya.
Baca juga Demi Nama Baik Kampus, Permendikbud adalah Jawaban
Hal lain yang patut diperbincangkan adalah masih dipujanya produk patriarki berupa pemujaan terhadap keperawanan dan poligami. Mang Dodi, yang usianya sudah lanjut, masih menjadi pelaku budaya di mana ia mengira punya kuasa lebih tinggi, dalam hal ini, terhadap Yuni dan istrinya sendiri. Film ini menciptakan perasaan miris, sebab dalam kehidupan nyata masih banyak sekali nilai-nilai patriarki yang sering kali dibungkus dengan dalih agama.
Akibat absennya peran sekolah perihal edukasi seksual, pemahaman tentang seksualitas justru didapatkan Yuni dan teman-teman perempuannya lewat obrolan-obrolan kasual namun intim. Sambil bersantai, mereka mengobrol sambil menebak bagaimana rasanya orgasme dan apa bisa perempuan memporolehnya. Kemudian mereka menemukan bahwa masturbasi adalah jawabannya. Dorongan alami sebagai remaja perempuan yang tengah pubertas dan penasaran akan hasrat seksual, bersama seorang laki-laki yang menyukainya, Yuni membuka ruang seksualitas yang belum pernah disentuhnya sekaligus mendobrak nilai-nilai tradisional yang selama ini membelenggunya.
Selain menyinggung soal diskriminasi keperawanan, film ini juga menggugat diskriminasi orientasi seksual golongan tertentu. Masih minimnya penerimaan lingkungan dan keluarga akan orientasi seksual mereka, beberapa tokoh dalam film ini harus hidup sembari menyembunyikan identitasnya agar tetap bisa diterima dalam masyarakat.
Dalam proses mencari apa yang ia inginkan untuk masa depan, Yuni memang tak langsung mendapat jawaban. Pergulatan batin justru menghadapkannya pada pertanyaan-pertanyaan baru. Apa arti kebebasan, kepemilikan tubuh, nasib, identitas, dan nilai-nilai yang sudah membelenggunya. Kemudian, bersama pilihan yang ia punya, Yuni menggugat.
keren!