Kesepian Biasa Saja
Kesepian masih bisa ditumpuk
di atas meja, diambil terakhir setelah laptop;
buku catatan; serta earphone; dan botol minum
Ia pun masih muat diselipkan ke kantong jaket
bersama recehan sisa ongkos taksi online
atau bungkus permen yang disimpan tadi siang
Kadang ia berbaur dengan bunyi klakson, sinar biru
papan iklan, konblok yang berlepasan dari atas
trotoar. Di antara musik dan obrolan kosong
pada jeda telepon masuk, ia selalu punya ruang
untuk berdiam. Berdiam dan tenang, hidup
sebagai sesuatu yang diterima; seperti debu
di gerobak soto, atau bau kaos kaki di tempat
wudu. Begitulah, tak terlalu ganjil, kesepian
biasa saja. Kadang aku memberi selembar hijab
agar merupa ia sebagai puisi yang rahasia
debat sengit soal kemiskinan yang wajar; atau lafaz
niat laku tirakat yang tertunda. Namun kesepian
juga hadiah buku bagi seorang anak. Hal asing
dan menarik, yang dalam 300 detik robek
dan tercoret—tak pernah tuntas makna dicari
meski kata-kata tercecer di lantai; di kotak mainan
atau sudut-sudut ranjang. Pernah kesepian
bermukim di jantung, memacu-meredam bunyi
setiap degup. Namun ia lebih sering di leher
menjadi haus, nyeri dari tangis tertahan, atau
dingin jejak bir Kopenhagen. Kesepian masih bisa
duduk di kafe, memandangi pasangan muda-mudi
yang ceria, atau menumpang bus antarkota
dan mensyukuri keintiman yang aneh, yang satu
dengan orang asing di sampingnya. Ia turun
bersamaku di Karawaci, lalu malam naik pelan
lalu kesepian menaiki punggung. Namun
kesepian biasa saja … biasa saja.
(2022)
–
Malam-Pagi di Jakarta
Seorang pekerja mabuk berat
dan akhirnya beristirahat. Jeda
yang dipaksa, antara tidur dan terjaga
antara kantor dan kasur yang dingin
di Green Pramuka. Tak ada siapa lagi
orang selain dirinya—seperti malam
yang lain, saat langit dikirim petasan
dan menjawab, “terimalah banjir!”
Saat demonstran berlari di Senayan,
di Thamrin, di gang-gang yang padat
sepanjang Ks. Tubun dan Palmerah
Tapi tak seperti malam yang lain, saat
orang-orang asing memasuki dirinya
“Tubuhku menua, tapi kamu boleh
menjamahnya,” ia berkata. Begitulah
jeda yang lain lagi, sepi di benda-benda
sepi dari jiwa yang mengering—tak
disentuh oleh kata-kata dan kelamin
Di mimpinya, ia datang ke Pamijahan:
dipeluk udara dingin pegunungan;
melihat air mengalir jadi curug, sungai
dan bercangkir kopi di teras warung
Tapi tak ada siapa pun saat ia berkaca
dan orang-orang berlalu, setiap kali
ia menyapa; rebah di kararas; menari
antara girang dan bayang meja kerja
“Di mana aku tersekap, berapa rupiah
untuk beli diri sendiri?” ia bertanya
Subuh merayap di trotoar, sandar
ke gelas plastik dan puntung rokok
dan bekas ludah di aspal, dan tahi tikus
yang merekam keringat para buruh
Ia terbangun di lantai semen 2×3
di bawah atap penuh ulat; baunya
seperti dapur kotor berkerak minyak
Tapi ia tak membuka harinya: lepas
dari tahrim subuh, dengkur anak lelaki
yang tidur di kios rokok, kesibukan
yang dimulai sebelum lampu-lampu
mati dari Thamrin ke Senayan. “Hidup
dipatok ayam di kampung, mati pun
mahal di kota,” ia berbisik. Suara
pekerja itu serak … dan Jakarta
terus berjalan dengan tergesa.
(2022)
–
Yang Terpental & Terbuang
Lihatlah bagaimana malam memanjang
meski pepohonan ditebang dan matahari terbit
Wajah seorang pekerja di pintu lift, gelas kopi
yang tergeletak di ujung trotoar, dan pelacur
pada kencan yang sebenarnya. Mereka tahu:
angin yang mengusap dahi, dingin dalam dada
semuanya kian ganjil. Mencipta tarian-tarian sansai
yang tak pernah kita kenal, seperti maut menyamar
dalam jubah hitam, di tengah pasar dan riuh tahun
baru.
Kau akan berkata, “begitulah, dan aku
saksikan semuanya”. Lihatlah bagaimana rimba
melebar, meski kota berlari dengan kaki-kaki baja
Seorang pemuda menghapus mimpi, menjadi
perampok atas nama revolusi. “Tak ada lagi
yang menarik dari cinta,” katamu. Percakapan
harus ditebus dengan telanjang, ricik di toilet
penuh lateks bekas pakai, seorang ibu mencari
tengkuk anaknya yang mati. Di sini, Manisku …
antara kasur tipis dan seprai berbau kemiskinan
kita bertemu. Apa kau melihat jejak punggung
di dinding? Apa kau tak sengaja menendang pisin
berisi abu? Apa kau mendengar sepasang mataku
saat kesunyian membuta? Apa kau masih ingin
terjaga, meski malam … bukan lagi untuk kita?
(2022)
*****
Editor: Moch Aldy MA