Yang Kita Bicarakan saat Kita Bicara tentang Carver

Jagad Wijaksono

2 min read

What We Talk About When We Talk About Love terbit di Indonesia pertama kali pada tahun 2018. Penulisnya, Raymond Carver, merupakan salah satu cerpenis Amerika yang paling berpengaruh. Konon, karya-karyanya menjadi tonggak yang memengaruhi atau menjadi inspirasi bagi banyak karya lain karena Carver merupakan salah satu cerpenis Amerika paling orisinil seperti yang diungkap oleh Salman Rushdie.

Secara garis besar, kumpulan cerita di situ bertutur tentang kesepian dan kegilaan manusia dengan segala lekuk-liku kehidupan dan segala kebrengsekan di dalamnya. Dengan lugas tapi memikat, Raymond Carver membuat tokoh-tokohnya terus bergelut dengan segala keruwetan urusan hidup sehari-hari. Ia menyuguhkan kita kompleksitas cinta dan hubungan antarmanusia dan dengan berani mengeksplorasi berbagai bentuk cinta—dari romantis hingga kekeluargaan, hingga dampak mendalam yang ditimbulkannya bagi tokoh-tokoh cerita dan mungkin juga bagi para pembaca.

Cerpen Kenapa Kalian Tak Berdansa Saja? menceritakan tentang seorang pria yang menjual perabotannya di depan rumah (garage sell). Kemudian, ada pasangan yang tertarik untuk membeli perabotan tersebut. Pasangan muda itu dipersilakan untuk mencoba beberapa barang yang menarik perhatian mereka. Di tengah-tengah proses jual-beli itu, Si Pemilik rumah mengajak kedua pemuda itu untuk minum whisky hingga mereka mabuk dan mulai berdansa ketika piringan hitam diputar. Mereka terus berdansa dan minum hingga salah satunya kehilangan kesadaran. Pria pemilik rumah itu lantas mengajak si perempuan berdansa yang tampak begitu menikmati seolah kesepian yang menggelayutinya terangkat dengan kehadiran dua orang tersebut.

Setelahnya, kita akan bertemu dengan cerita seorang pria tak bertangan yang hendak menjual foto hasil jepretannya dalam cerpen Kamera. Pria berusia 50-an itu hendak menjual foto sebuah rumah kepada si pemilik rumah. Mereka pun akhirnya menghabiskan waktu saling bertukar cerita yang diakhiri dengan pengambilan foto lagi. Sebagai pembaca, saya bisa ikut merasakan bagaimana si pemilik rumah lebih sering menghabiskan waktunya dalam kesendirian.

Tak setiap cerita pendek dilengkapi dengan kesimpulan atau penyelesaian masalah, bahkan ada yang terkesan menggantung dan menyisakan ruang kosong kecil maupun menganga. Dalam cerpen berjudul Bilang ke Cewek-Cewek Itu Kita Pergi, misalnya. Di akhir cerita, pembaca seperti dikejutkan oleh kenyataan bahwa hadiah yang diberikan oleh Bill dan Jerry kepada kedua cewek yang mereka ikuti adalah batu.

“Ia tak pernah tahu Jerry ingin apa, tapi itu bermula dan berakhir dengan batu. Jerry pakai batu yang sama untuk kedua cewek itu, yang pertama untuk cewek bernama Sharon dan kemudian untuk cewek yang harusnya jadi milik Bill.”

Dari potongan adegan tersebut, seolah-olah Jerry menghabisi kedua perempuan itu dengan motif yang tidak begitu jelas. Ruang untuk menafsir apa yang dilakukan oleh Jerry menjadi begitu luas. Apakah Jerry benar-benar menghantamkan batu ke kepala kedua perempuan itu? Tak ada yang tahu pasti.

Baca juga:

Carver punya pengalaman tersendiri terkait ketergantungannya dengan alkohol. Kondisinya tersebut memberi warna tersendiri dalam karya-karyanya. Kita dapat melihatnya pada hampir semua ceritanya. Perhatikan, selalu saja ada tokoh cerita yang minum alkohol hingga mabuk.

Alkohol bahkan menjadi salah satu unsur penting dalam cerita-cerita Carver seperti dalam cerpen Yang Kita Bicarakan Saat Bicara tentang Cinta. Cerita tentang pasangan yang sibuk memperbincangkan kompleksitas hubungan manusia, cinta, dan bagaimana cara manusia mengomunikasikan cinta ini mengambil latar saat para tokohnya berbagi anekdot dan pendapat tentang sebotol gin. Narasinya mengeksplorasi sifat cinta yang beraneka ragam, mulai dari cinta yang spiritual, idealis, hingga romantis. Semua perbincangan itu diawali dan didorong oleh kegiatan minum-minum.

Pada akhirnya, menjelajahi cerita-cerita dalam buku kumpulan cerita What We Talk About When We Talk About Love akan membawa kita melihat bagaimana daki-daki kehidupan dan segala keberengsekan itu lahir dan dihadapi oleh manusia. Lebih jauh, melalui cerita-cerita Carver itu pula kita diajak menginsyafi bahwa tidak apa-apa untuk tidak jadi apa-apa dalam hidup ini. Menjadi sederhana tidaklah buruk, mengalami kegagalan bukanlah aib, dan Carver adalah jendela bagi kita untuk menerima hidup yang terkadang terasa begitu bajingan itu.

 

Editor: Emma Amelia

Jagad Wijaksono

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email