Kembaran
temanku memberitahuku ada kembaranku menggigil ketakutan, ia bilang di kepalaku ada labirin licik yang penuh jebakan, tikus-tikus mati di sana dan terjebak tak bisa keluar, dan aku membiarkannya begitu saja seperti membiarkan kamarku berantakan; botol parfum yang pecah dan isinya tumpah di meja, bercampur bekas kopi yang melingkar, beberapa debu yang dibawa angin, dan semut mati. temanku memberitahuku ada kembaranku limbung seperti habis dipukuli, ia datang malam lalu setelah perjalanan panjang dari utara, wajahnya biru, matanya berusaha tetap terbuka, dan mulutnya berusaha tetap bicara, ia bilang aku punya kutukan sejak lahir, seperti orang gipsi dikutuk karena membuat paku untuk menyalib Yesus. aku bilang ke temanku jika ia datang lagi malam ini, suruh kembaranku datang ke mari, kamar yang masih sama sejak kemarin, ia akan mengenalinya dari bau parfumku, dan aku akan menceritakan apa sesungguhnya penyesalanku tiap malam, dan aku akan bertanya: apakah penyesalannya sama denganku?
(Jakarta, 2022)
–
Potongan Rambut
siapa pun bisa mati hari ini, saat ini juga, di gedung yang delapan jam jadi sementara rumah (rumah yang tak jadi), selagi aku duduk menunggu ikamah Jumat dan seorang pria menenteng dua kotak susu dan meminumnya dengan sedotan yang sama putihnya … orang-orang ini selalu datang dengan sapaan kaku, dan pergi tanpa harus mengucapkan apa-apa, dan siapa pun bisa mati hari ini, saat ini juga, dan akan ada beberapa orang yang tak sempat pamit, dan tak juga kita sesali. ada beberapa orang mati dan kita hanya melihatnya seperti potongan rambut yang rebah entah milik siapa, dan kita menunggu angin menghempaskannya pergi.
(Jakarta, 2022)
–
Pulang dari Kantor
di atas aspal ibu kota
kulitmu menghitam
matamu memerah
dadamu membiru
memikirkannya
rumah yang terasa lama
memikirkan mati
yang terasa di belakangmu
duduk
melingkarkan lengannya
erat
tak mau lepas
darimu
(Jakarta, 2022)
–
Persinggahan
Angin begini dinginnya, kawan, di sini—
di pantai ini, dan jendela rumah kita tak
cukup tangguh untuk melawan hujan,
dan kita selalu berebut untuk dapat selimut
paling lembut. Meski pada akhirnya kita,
selalu terbangun tengah malam.
Pada malam yang sudah kelewat pagi,
kita tak lagi peduli—dan bercerita tentang
waktu yang menyeret kita, seperti petani
karet yang tinggal tunggu mati.
Kau percaya hidup seperti itu,
selama ban-ban mobil masih mengharapnya,
petani karet tetap nekat menampung getah—
seperti halnya kita, tetap nekat menyambung
gelisah.
Kita menggigil, dan anjing-anjing seperti
tak peduli, terus saja menggonggong
jam dua pagi.
Katamu sudah terlalu lama kita di sini,
sudah terlalu hafal kita jalan ini—
dan lampu-lampu jalanan yang mati,
takkan menghalangi kita untuk pulang.
Namun, sudahkah kita terlalu hafal kata-kata
masing-masing, yang luput kita sampaikan pada
siang hari? Yang kita lipat di balik kerah baju,
dan kita buka saat yang lain menutup harinya?
Katamu, kita ini banyak utang
dan masih harus tersenyum sampai petang.
Kita menghitung argo taksi biru, sambil
meraba-raba berapa lagi yang masih bisa
kita sisihkan.
“Semua orang bisa punya Tuhan, namun
tak semuanya punya uang,” bisikmu kemarin.
Dan rumah ini makin terasa asing saja,
atau hanya kita yang sudah usang?
Suatu hari nanti, di musim semi yang dingin
kita kan menghilang—pulang, bersama dengan
salju yang luruh di Selatan. Dan kota ini,
hanya akan tertinggal di spion depan, seperti
tangan ibu yang melambai di sana,
melepas kepergian kita dulu.
Mobil kita kan melaju—meski Magrib
di belakang dan terus berulang,
kita tak lagi berhenti.
(Rabat, 2019)
–
Yang Berkarat di Persinggahan
aku tumbuh dengan tubuh
tanpa sekrup dan gir-gir besi
tapi suku cadang penggantinya
akan habis masa
pada hari yang tak diperhitungkan
dan akan tiba nanti
tak lagi memproduksi kata-kata
lambat menerima data-data
menjadi mesin tua
yang harganya tak seberapa
diabadikan dalam museum segala musim
yang disinggahi orang-orang
tiap ingin bercerita
tanpa disanggahi
(Rabat, 2019)
*****
Editor: Moch Aldy MA