Winaya sedang termenung di depan tempat penyimpanan beras yang sudah tidak malu-malu menunjukkan dasarnya, ketika bel di atas pintu masuk ruang tamu yang ia sulap menjadi kantornya memekak nyaring. Permintaan para klien yang ingin menulis gelar di undangan sesuai apa yang tertera di ijazah mereka membuat perempuan itu murung sedari pagi. Ia tahu penulisan gelar seperti itu keliru. Terdengar sepele, tetapi Winaya merasa mengkhianati dirinya sendiri jika ia mengabulkan permintaan mereka. Sebaliknya, kalau ia menolak, tempat berasnyalah yang terancam.
“Keadaan sedang sulit. Barangkali ini saatnya melupakan idealisme,” Haju, suaminya berceletuk pelan saat berlalu ke kamar mandi. Winaya memonyongkan mulutnya.
“Memangnya kalau bahasanya salah, yang kami undang tidak bakalan datang? Undangan sudah dari dulu begitu kata-katanya. Repot amat sih.” Ini kata-kata kliennya kemarin saat Winaya menunjukkan desain. Winaya tergeragap. Ia tiba-tiba kehilangan keberanian mengemukakan alasan.
Winaya sudah sangat mencintai bahasa Indonesia jauh sebelum ia terjun dalam bisnis percetakan milik suaminya. Ia sudah terpesona sejak menemukan penggalan-penggalan novel dalam buku pelajaran bahasa Indonesia milik adik ibunya, yang ia baca ketika teman-teman seumurannya asyik bermain petak umpet, dan mabboi[1], atau tenggelam dalam cerita Sun Go Kong dalam Journey to The West di televisi. Winaya pun sering secara sengaja melafalkan kata-kata yang ia kutip dari novel-novel itu ketika sesekali bermain bersama mereka, saat tak ada lagi yang bisa ia baca. Menurut teman-temannya, gaya berbicara Winaya yang serba malaju[2] memancing tawa geli. Winaya tak peduli. Kecintaan itu berlanjut. Setelah mampu membeli novel sendiri, Winaya mulai mengoleksi bacaan-bacaan favoritnya.
Selepas kuliah, ia mendapat pekerjaan sebagai editor sebuah LSM di Jayapura. Di kota yang pernah bernama Hollandia itu, ia semakin mengagumi bahasa Indonesia.
Ia pun menetapkan hati. Ia akan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, sesuai slogan yang selalu ia dengar sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Ia melahap habis buku-buku ejaan dan tata bahasa. Winaya pun semakin menyadari apa-apa yang dari dulu sudah disesatkan guru bahasa Indonesianya. Dinar, teman kuliah yang karib dengannya sering geleng-geleng kepala. Meski begitu, mereka tetap bersahabat.
Setidaknya sampai hari ini.
Winaya merasa, persahabatannya dengan Dinar yang sudah 20 tahun diuji. Dinar tidak bersalah. Dinar tidak bersalah. Dinar tidak bersalah. Berkali-kali, Winaya memantrai dirinya dengan kata-kata itu. Winaya berperang dengan dirinya sendiri.
Bunyi bel terdengar sekali lagi.
Winaya segera menutup tempat berasnya lalu beranjak dari dapur yang hanya lima langkah dari ruang tamu. Bunyi bel berarti pelanggan. Itu berarti tempat berasnya bisa terisi lagi, dan dapurnya masih bisa bertahan setidaknya sampai seminggu ke depan. Covid-19 tidak hanya membuatnya khawatir pada ancaman virus terhadap keempat anaknya yang masih bocah, tetapi juga hampir pasti membunuh satu-satunya sumber nafkah keluarganya. Winaya lupa, kapan terakhir kali ia bersorak ketika ada keluarga atau kawan dekat yang sedang ingin merayakan sesuatu. Semakin jarang orang yang memesan undangan kertas. Kalaupun ada, jumlahnya tak boleh lebih dari 100. Undangan berformat video hampir setiap hari hadir di ponselnya. Ia teringat lagi video kiriman Dinar tadi malam yang sama sekali belum ia tanggapi.
Winaya mengenyahkan perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba menghuni dadanya. Ia menyambut perempuan berkerudung elegan dengan warna lipstik merah menyala yang sedang berdiri di depan pintu dengan senyum iklan pasta gigi. Bu Tama, klien Winaya yang memesan 50 undangan untuk pernikahan anak pertama dua hari lalu membalas senyumnya. Winaya sudah berjanji akan memperlihatkan desain undangan hari ini melalui WA, tetapi Bu Tama ingin melihat langsung.
“Tabe[3], ini penulisan gelarnya salah.”
Winaya berdebar. Ia merasa sudah begitu awas dalam mengetik konsep undangan sesuai keinginan pelanggannya itu, termasuk penulisan gelar yang dipermasalahkan si ibu yang ia tebak seusia dengan ibunya.
Ia melihat ke arah yang ditunjuk perempuan itu. Cincin emas di jarinya menyilaukan mata Winaya, membuat matanya bertambah perih setelah seharian berhadapan dengan layar komputer.
“Oh, memang begini penulisan yang benar, Bu.”
“Benar bagaimana? Di ijazah anak saya tidak begini, ini fotonya.” Gesit jemari bercincin emas itu membuka folder foto di galeri kamera.
“Bu, di PUEBI aturannya penulisan gelarnya begini.”
“PU siapa?”
“Nayaaaaa!” Suara suaminya pelan. Namun, Winaya mengenal nada itu suara itu dengan baik. Suara seperti itu ia hapal sebagai tidak–ada–gunanya–berdebat.
Sepulang Bu Tama, Winaya kembali termenung. Di depannya, layar komputer berkedap-kedip meminta kepastian.
“Ikuti saja apa yang mereka mau. Daripada batal.” Suaminya berdiri di sampingnya sambil menggaruk pantat yang Winaya tahu tidak gatal. Tujuh tahun perkawinan dan hampir dua kali perceraian membuat Winaya hapal gelagat setiap suaminya ingin berpendapat, tetapi takut membuatnya tersinggung.
“Kalau tahu tapi tidak disampaikan ‘kan berdosa, Kak?”
Haju menatapnya penuh iba. Winaya menelan paksa ketidaksetujuannya.
“Seharusnya kita bersyukur, masih ada yang mau repot membuat undangan kertas. Kau ingat sendiri reaksi Dinar waktu menanyakan konsep undangan seperti apa yang ia inginkan, bukan?”
Winaya tak mungkin lupa. Dinar yang kikuk. Dinar yang menjadi seseorang yang tidak mengenalinya sebagaimana dua orang yang telah dua puluh tahun bersahabat. Winaya bahkan tak mengerti dari mana kecanggungan itu berasal karena ia yakin dirinya selalu menginginkan yang terbaik untuk sahabatnya itu. Seseorang yang dari kecil ia tahu sudah mempersiapkan rencana pernikahannya, bahkan ketika Dinar belum tahu seperti apa rupa darah haid.
“Saya akan pesan kebaya Anna Avantie, orang yang hadir terbatas, paling banyak lima puluh orang, di tepi pantai yang tenang.”
“Kalau tsunami datang bagaimana?” Winaya ingat, Dinar langsung menimpuknya dengan bantal saat ia mengeluarkan pertanyaan itu. Itu delapan tahun lalu ketika ia menginap di rumah Dinar, dua hari setelah ia kembali dari Jayapura. Dinar saat itu bahkan belum punya pacar.
“Terus, menikahnya sama siapa? Yakin sekali, ketemu orangnya juga belum.”
Dinar hanya memeletkan lidah.
“Din, konsep itu tidak penting, tapi dengan siapa kita menikah. Buat apa memberi kesan sama orang-orang yang belum tentu punya andil pada kebahagiaan kita? Buat apa menikahnya keren, mahal dan mewah kalau akhirnya bercerai?” Perceraian kedua orangtuanya membuat Winaya tumbuh menjadi gadis yang tak percaya dongeng-dongeng Disney.
“Ih, kau sinis sekali jadi orang. Terserah. Pokoknya kalau saya kawin, konsepnya akan seperti itu.
Saat Winaya malu-malu menyiratkan tawaran untuk dibuatkan undangan dengan diskon sahabat, Dinar semakin kikuk.
“Aku dan Nara sudah sepakat, Nay. Tidak ada undangan kertas. Nara itu aktivis lingkungan. “
“Baiklah.” Berapa lama kau mengenal Nara dibanding aku, Din?
“Video lebih mudah disebarkan, Nay, apalagi di saat-saat sekarang.”
Ia mengangguk lemah. Sahabatnya itu benar. Pandemi tidak memungkinkan orang mengantar undangan langsung sebagaimana adat di kampung mereka. Winaya ingat, saat ia menikah dulu, keluarga dekat dan rumah-rumah yang masih bisa dijangkau dengan jalan kaki akan didatangi tiga orang perempuan yang diutus keluarga mempelai untuk menyampaikan undangan secara lisan. Kerabat jauh, dan kenalan, diantarkan undangan kertas, oleh dua pasang muda mudi berpakaian baju bodo dan jas tutup. Undangan kertas itu pun harus diberikan di atas baki khusus, pernak-pernik penghormatan yang dipertahankan.
Awalnya, ia paling gembira saat Dinar meneleponnya, memberi tahu kalau keluarga Nara baru saja pulang, dan kesepakatan orang tua Dinar dan Nara telah tercapai. Akan ada pernikahan tiga bulan mendatang. Ia berpikir Dinar pasti akan memesan undangan kepadanya, dan itu akan cukup untuk menutupi beberapa tunggakan tagihan.
Winaya lalu mengampil ponselnya, memutar kembali video undangan perkawinan Dinar. Ia menyimak video itu tanpa berkedip. Dinar tampak sangat berbahagia. Kaus putih gading yang ia kenakan seperti diciptakan untuk suasana sore di pantai itu. Senyum malu-malu tampak di bibir mungilnya, sementara di ujung sana, Nara, laki-laki yang baru dikenalkan Dinar dua bulan lalu itu berdiri gagah dengan kaus hitam. Nara menjinjing sepatu wedges milik sahabatnya, tersenyum menyambut Dinar yang berlari ke arahnya. Ia mengenali suara Dan Shay menjadi musik latar video berdurasi satu menit itu. Ia bahkan tidak perlu berdebat masalah bahasa dengan Dinar pada undangan itu. Tak ada ceramah mengenai logika bahasa sebagaimana yang selalu Winaya omelkan di depan suaminya saat mereka menyantap makan malam. Dinar tidak memberinya kesempatan sama sekali. Di layar ponselnya ia mengetik.
Undangannya bagus sekali, Din. Selamat ya. Kami pasti datang.
***
Winaya akhirnya sadar, pengetahuannya mengenai bahasa Indonesia tampaknya hanya berguna bagi dirinya, tapi tidak pada kesehatan jiwa dan dapurnya. Kekhawatiran pada nasib bahasa Indonesia yang dicintainya kalah dengan kemungkinan apakah besok dapur mereka akan tetap mengepul. Winaya menatap empat bocah yang tertidur lelap tak jauh dari komputernya yang juga berdengung kelelahan.
Saat Winaya akhirnya mematikan komputer, suaminya berkata, “Pandemi mengabulkan doa Dinar, ya?”
***
Catatan:
[1] Permainan menyusun balok dan kaleng bekas setinggi-tingginya antara dua tim. Tim yang menang ditentukan setelah tim tersebut berhasil menyusun seluruh balok dan kaleng tanpa dikenai lemparan bola seukuran bola tenis dari tim lawan.
[2] Sebutan bahasa Indonesia di daerah Bone, Sulawesi Selatan
[3] Maaf, dalam bahasa Bugis-Makassar