Dengan atau tanpa sadar, budaya feodal yang kolot telah merasuk dalam setiap sendi kehidupan kita sekalipun sudah banyak sekali ceramah dan seminar yang mengkaji perihal perjuangan untuk lepas dari feodalisme. Para ahli dan akademisi fasih menggaungkan feodalisme sebagai biang kerok kemunduran pendidikan di Indonesia.
Dalam siniar End Game episode Rocky Gerung Bahas Jalan Berbatu Menuju Sehat Nalar di 2045 besutan Gita Wirjawan, Rocky Gerung berpendapat bahwa budaya feodal telah merasuk dalam pendidikan masyarakat kita sehingga mahasiswa enggan untuk mengemukakan pendapat. Hal ini, menurutnya, sangat berbeda dengan masyarakat Amerika Serikat yang mahasiswanya berani menginterupsi pernyataan pengajarnya, atau masyarakat Perancis yang sangat egaliter sampai-sampai mahasiswa bisa berdebat dengan dosennya. Di Indonesia, besar kemungkinan kultur pendidikan Amerika Serikat dan Perancis justru dianggap sebagai perilaku yang melanggar sopan santun.
Saya jadi terpikirkan, jangan-jangan label ramah terhadap masyarakat kita yang disematkan orang luar dalam buku Lonely Planet: 1000 Ultimate Experiences bukan semata-mata karena orang-orang kita empatis secara bawaan. Boleh jadi, sikap ramah tersebut justru hasil dari pembudayaan sikap menjilat terhadap para petinggi dalam struktur masyarakat yang feodal yang telah ada sejak ratusan tahun silam.
Langgengnya Feodalisme
Dari masa ke masa, selalu ada elemen masyarakat yang berjuang untuk lepas dari belenggu feodalisme. Dengan tak sabaran, mereka terus-terusan mengajukan pertanyaan yang menggugat: mengapa rakyat secara umum terkesan tidak bernafsu untuk melawan para petinggi dalam tata masyarakat yang feodal?
Setidaknya, ada dua alasan mengapa feodalisme bisa langgeng seiring dengan absennya perlawanan populis terhadap tata masyarakat yang feodal. Pertama, feodalisme tidak selalu buruk. Penerapan tata masyarakat yang feodal dapat menjaga stabilitas negara. Namun, ini bukan berarti suatu masyarakat akan baik bila feodalisme melanggeng. Sebab, feodalisme membelenggu kebebasan berpikir dan menjadi manusia.
Kemajuan masyarakat yang paling mungkin tercipta dalam tata feodal pun tak jauh-jauh dari urusan ekspansi wilayah kekuasaan semata. Contohnya adalah masyarakat Islam di abad ke-8 ketika kepemimpinan para Khulafaur Rasyidin digantikan oleh dinasti Umayyah. Stabilitas negara terjaga, tetapi harga yang harus dibayar untuk menjaga stabilitas negara ini sangatlah mahal: “bibir” harus terus-terusan “bersentuhan” dengan “jemari” wangi kasturi para petinggi. Dengan kata lain, praktik menjilat dan mentalitas “asal bapak senang” sangat marak pada saat itu; sangat kontradiktif dengan hakikat Islam sebagai agama yang menjanjikan demokrasi.
Kedua, hadirnya kuasa pihak ketiga dalam wujud metafisik yang muncul sebagai perwujudan otoritas tertinggi semesta, yakni Tuhan. Munculnya kuasa ini dimulai saat para petinggi menunggalkan dirinya dengan kuasa Tuhan. Masyarakat meyakini klaim bahwa janji-janji Tuhan hadir dalam buah pikir dan keputusan para petinggi. Berbagai upaya untuk mengelak keyakinan tersebut dianggap tabu sehingga memunculkan ketakutan dalam benak siapa pun yang punya niat untuk coba-coba melakukannya. Alhasil, terbentuk rasa takut (atau mungkin “takwa”) yang berlebihan sehingga rakyat menerima paksaan untuk memosisikan diri mereka sebagai gembalaan para petinggi.
Dua alasan itu cukup menjelaskan mengapa tak ada perlawanan populis yang cukup berarti dalam rangka menyudahi feodalisme. Lama-kelamaan, feodalisme bukan lagi sekadar model pemerintahan, tetapi berkembang dan meluas menjadi budaya sekaligus standar moral.
Khidmah
Pergulatan batin muncul saat merenungi sampai sejauh mana batas moral manusia tunduk kepada manusia lain. Dalam kultur feodal mutlak, semua orang wajib sungkem kepada para petinggi. Pramoedya Ananta Toer dalam buku Bumi Manusia menggambarkan kebingungan Minke yang berasal dari trah terhormat tiap kali diperlakukan sangat mulia oleh orang-orang yang berusia lebih tua darinya. Kejadian seperti itu masih ada hingga saat ini. Tak cuma di lingkungan keraton, tetapi juga di lingkungan pesantren tradisional.
Dalam beberapa penuturan guru-guru pesantren, hewan kesayangan seorang kyai saja harus dihormati. Kalau perlu, orang-orang mesti berjalan merunduk dihadapan hewan itu. Kalangan yang tidak memahami kultur ini mungkin menganggap itu berlebihan. Namun, bagi orang-orang yang terlibat aktif di lingkungan pesantren tradisional, itu adalah perwujudan khidmah kepada guru atau orang mulia yang diakui keilmuan dan kesaktiannya.
Khidmah, istilah yang sangat populer di telinga para santri dan non santri yang menggeluti pengajian islam. Ada banyak cara dan metode bagi seseorang untuk menunjukkan khidmah tersebut kepada yang mereka tinggikan. Mulai dari menyalami, menunduk, bahkan bersujud.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ أَوْ صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِي لَهُ؟ قَالَ: “لَا”، قَالَ: أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ؟ قَالَ: “لَا”، قَالَ: أَفَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ؟ قَالَ: “نَعَمْ”
Dari Anas bin Malik, dia berkata: “Seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah, seseorang dari kami bertemu saudaranya atau kawannya, apakah dia membungkuk (untuk menghormatinya)?” Beliau menjawab: “Tidak.” Dia bertanya lagi: “Apakah dia memeluknya dan menciumnya?” Beliau menjawab: “Tidak.” Dia bertanya lagi: “Apakah dia memegangi satu tangannya dan berjabat tangan?” Beliau menjawab: “Ya.”
Hadis di atas merupakan bahan perdebatan dalam berbagai kajian Islam; biasanya disertai dengan berbagai hadis-hadis yang juncto dengan substansi untuk hadis ini. Bagi kalangan Salaf, khidmah hukumnya haram. Sementara itu, kaum mayoritas di Indonesia mengganggap khidmah sebagai bagian dari tata krama. Debat hebat ini memang perlu dikaji karena akan memengaruhi aqidah (faith) orang yang menggugat maupun membelanya. Tak hanya itu, adanya perbedaan pandangan tentang khidmah juga berpengaruh besar bagi stabilitas kaum atau umat.
Jika kita menggali tarikh-nya, hadis tersebut hadir ketika kerajaan dan suku-suku besar menerapkan feodalisme terhadap anggotanya dalam rangka menjaga kesetiaan mereka kepada para pemimpin. Dalam hadis ini, Rasulullah menyampaikan pesan tentang larangan penghormatan berlebih kepada manusia. Rasulullah mengerti bahwa ke depannya, bukan tidak mungkin akan terbentuk budaya pengkultusan figur petinggi yang bisa merusak aqidah seseorang bila orang-orang menghormati orang “penting” secara berlebih-lebihan, misalnya dengan menjilat atau taklid buta.
Pengkultusan seseorang justru hadir lebih kuat di benak orang yang dikultuskan. Maka dari itu, ketimbang tata karma, setiap hal yang mengarah ke pengkultusan seseorang justru lebih tepat disebut sebagai pintu kecongkakan manusia. Rasulullah sendiri memang diperlakukan mulia oleh umatnya, tetapi hal ini dapat beliau pertanggungjawabkan secara inklusif dan tidak arogan. Kalau kita perhatikan hadis-hadis, sebagian besar di antaranya adalah nukilan dialog atau diskusi Rasulullah dengan orang lain. Rasulullah mengakui hak berbicara orang lain, bahkan memberi ruang untuk mereka mendebat beliau. Demokratis dan egaliter sekali, bukan?
Islam telah menentukan hukum mubah bagi segala bentuk penghormatan. Kepingan puzzle kalam Nabi Muhammad SAW adalah upaya preventif beliau untuk menghindarkan umat dari fenomena pengkultusan figur sepeninggal beliau. Ironisnya, tak lama setelah Rasulullah wafat, iklusivitas sosok pemimpin itu mulai luntur di penghujung masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin (Sayyidina Utsman bin Affan dan Sayyidina Ali). Padahal, Rasulullah sudah wanti-wanti sejak jauh-jauh hari bahwa pengkultusan figur akan berujung pertikaian para fanatis.
Khidmah berasal dari kata bahasa Arab khadim yang berarti pembantu atau jongos seorang tuan. Dari sini, mulai bisa dipetakan adanya benang merah antara feodalisme dengan tradisi Islam. Pengajaran agama Islam di Indonesia mengharuskan banyak kalangan untuk tunduk atau menghamba kepada para ulama yang dianggap sebagai orang yang berilmu dan berjasa besar bagi masyarakat.
Meskipun begitu, ada perbedaan mendasar antara feodalisme dengan khidmah. Feodalisme, khususnya dalam masyarakat yang mempraktikkan sistem monarki, mendasarkan penghambaan orang-orang semata-mata pada “darah biru” orang yang dikultuskan. Sementara itu, khidmah pada masyarakat Islam di Indonesia diterapkan dengan mempertimbangkan kompetensi dan jasa figur-figur yang dimuliakan.
Bad Product, Good Packaging
Ketika momok kejam feodalisme yang erat dengan pengkastaan ini dibungkus dengan dogma-dogma Islam yang mengganjar setiap ketundukan dengan keberkahan hasilnya adalah literatur pengajaran Islam tradisional di pondok pesantren. Contohnya, nasihat-nasihat dalam Kitab Ta’lim Muta’alim untuk para pelajar agar senantiasa mengormati guru yang di lingkup pesantren disebut ustaz atau sang pengajar tertinggi (the highest supreme), yakni kyai. Nasihat dalam kitab ini dapat ditemukan interpretasi versi lainnya dalam buku-buku tentang bimbingan pelajar modern.
Perlu dicatat bahwa feodalisme dalam pengajaran pesantren sangatlah bersih dan penuh ketulusan di setiap penghambaannya. Hasilnya, relasi penuh khidmah antara elemen-elemen di lingkungan pesantren yang mendatangkan berkah dan pengayoman bagi orang-orang yang terlibat di sana.
Editor: Emma Amelia