Apakah kamu bisa mengakses buku dengan mudah? Apakah kamu hobi membaca buku? Andaikata aksesmu terhadap buku mudah, mengapa kamu tetap tidak hobi membaca buku?
Semua orang setuju bahwa rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia adalah minimnya akses terhadap perpustakaan dan buku bacaan. Sudah banyak data dan studi yang membuktikan hal tersebut.
Laporan Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2019 menunjukkan bahwa perpustakaan yang tersedia di Indonesia saat ini hanya mampu memenuhi 20% kebutuhan nasional. Jumlah perpustakaan pun baru mencapai 154.000 unit.
Akses terhadap buku bacaan yang bermutu juga belum terbentuk secara mapan. Survei Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI), program kemitraan pemerintah Australia dengan Indonesia, menunjukkan bahwa di Kalimantan Utara, sebanyak 13% dari 80% anak yang mengaku gemar membaca suka membaca buku cerita, lalu hanya 2% dari mereka yang membaca buku pengetahuan umum. Selebihnya, bahan bacaan mereka didominasi oleh buku pelajaran (67%).
Baca juga:
Data semacam itulah yang mendorong pemerintah maupun pegiat literasi berbasis komunitas hanya memusatkan perhatian pada pembangunan akses dalam upaya membangun budaya literasi di Indonesia. Padahal, selain akses, ada satu hal lagi yang tidak kalah penting, tapi selalu luput dari percakapan ketika mengkaji tentang upaya meningkatkan budaya membaca di masyarakat. Hal tersebut adalah pembangunan norma sosial yang mendukung perilaku membaca.
Norma sosial berfungsi sebagai panduan bagi seseorang dalam berperilaku di masyarakat. Norma sosial membantu seseorang membangun ekspektasi tentang bagaimana orang lain akan merespons perilakunya dalam kehidupan sosial. Pada level individu, norma sosial memungkinkan seseorang memiliki keyakinan tentang jenis perilaku yang boleh atau tidak boleh ia lakukan dalam masyarakat.
Norma sosial terbentuk melalui interaksi antarindividu dalam masyarakat, misalnya ketika seseorang dihadapkan pada pendapat atau mengamati tindakan sesama orang lain. Jika dibawa ke konteks perilaku membaca buku, maka norma sosial terhadap perilaku membaca adalah sistem nilai yang memungkinkan seseorang memandang perilaku membaca buku didukung oleh lingkungan sosialnya, atau setidaknya dianggap wajar.
Akses memungkinkan orang yang tadinya tidak dapat membaca buku menjadi dapat membaca buku karena buku bacaan telah tersedia. Sementara itu, norma memungkinkan seseorang untuk merawat perilaku membaca buku yang ia lakukan menjadi sebuah kebiasaan karena lingkungan sosialnya menganggap perilaku tersebut adalah hal yang wajar atau bahkan membanggakan. Norma sosial yang pro perilaku membaca membuat orang yang membaca buku merasa sedang melakukan tindakan baik menurut penilaian lingkungan sekitar.
Di Indonesia, norma sosial yang dipegang oleh masyarakat tampaknya tidak begitu pro terhadap perilaku membaca buku. Pandangan-pandangan yang bernada sinis terhadap orang-orang membaca buku atau mengunggah aktivitas membaca buku di media sosial masih sering sekali ditemukan. Orang yang ketahuan membaca justru diledek, dibilang sok intelek, pamer, hingga pencitraan. Jarang sekali ada yang diapresiasi karena menunjukkan kebiasaan membaca bukunya ke publik.
Beberapa studi tentang norma menunjukkan bahwa seseorang akan merasa sangat terdorong untuk melakukan sesuatu jika mereka meyakini bahwa orang-orang yang hidup di lingkungan sosialnya mengapresiasi perbuatannya. Norma sosial yang tidak pro perilaku membaca buku akan menyebabkan orang-orang menjadi enggan menunjukkan kebiasaan membaca bukunya. Secara luas, norma sosial ini menghambat segala upaya strategis pembangunan budaya membaca di Indonesia, termasuk penyediaan akses bacaan tadi.
Padahal, sekadar semakin banyak orang terlihat membaca buku di depan umum atau mengunggah foto sedang membaca buku ke media sosial, akan semakin kuat pesan subliminal bahwa lingkungan tempat kita hidup adalah lingkungan yang memandang positif perilaku membaca buku. Orang yang belum memiliki kebiasaan membaca buku akan merasa terasing dan akhirnya mulai membaca buku agar merasa nyaman dan diterima dalam masyarakat.
Baca juga:
Membangun norma sosial yang pro terhadap perilaku membaca seharusnya dipandang sebagai pekerjaan yang sama pentingnya dengan membangun akses terhadap bacaan. Sebab, penyediaan akses saja ternyata tidak cukup untuk meningkatkan budaya membaca masyarakat Indonesia.
Editor: Emma Amelia