Internet & Cara Terbaik Menyelamatkan Diri
/1/
Umpama ladang
kita menyemai peristiwa hari ini
yang akan kita tuai kemudian.
Masa silam
akan menjadi kebun adegan.
Kelak akan tumbuh aneka ranum bunga
yang menguarkan bau semerbak
juga semak belukar yang tumbuh
menjadi benalu.
Yang kita petik hari ini
ditanam dari bibit masa lalu.
/2/
Ketika semua harus tenggelam dalam arus
semoga kita tangkai yang menolak tergerus.
Ketika semua harus terbakar jadi abu
semoga kita bukan tangkai
yang melemparkan diri ke dalam tungku.
(Mamuju, 2020)
–
Virtual is Me
Kaukah dunia tabu yang beranjak menuju ambiguitas itu
di mana manusia selalu berdandan dengan dualitas paripurna
dalam parade status yang mahasempurna.
Kaukah krisis pengakuan yang mengubah konvensi
pemaknaan atas nasib buruk. Kritik bereduksi menjadi
nyinyiran suara sumbang yang busuk.
Kaukah rasa yang diformat ulang dalam dunia fiktif
demi segala puja-puji ratapan diri sebagai siklus
spekulatif. Mendulang ilusi popularitas yang adiktif.
Kaukah metamorfosis populisme dalam digital
simpati semacam perlombaan peragaan busana virtual.
Internet begitu bebal mendefinisikan empati yang gagal.
Manusia adalah peranti dalam instalasi zaman yang tak terbendung.
Seperti berlomba-lomba meretas diri dalam delusi yang mengurung.
(Mamuju, 2019)
–
Disrupsi
Azimat bertaruh dengan zaman untuk relevan
sementara pikiran yang lawas akan tergerus
dari zaman yang kian bergegas:
rupa kegaiban baru lahir tak terbatas.
Kecerdasan buatan datang sebagai babak baru
mendisrupsi adegan dan peran dalam panggung
abad dua satu. Ia datangkan mala bagi manusia
yang menolak beranjak dan terjebak pada usia.
Petuah demi petuah pada akhirnya akan gugur
lalu tenggelam dalam bayangan yang lipur
sementara manusia terus berupaya melarang
kendati masa telah lebih dulu saling melarung.
(Mamuju, 2019)
–
Hoax
Pelantang suara itu muncul
di siaran langsung—lagi—lebih sering
dari musim biasanya.
Di baliknya, satu orang berdiri
dengan rapi dan berapi-api.
Lengkap dengan warna-warni
bendera parpol yang berkibar
di belakangnya.
Tangannya mengepal-ngepal ke udara.
Setiap kata yang terlontar menggema,
riuh, dan bergemuruh:
“Kita berada di kapal yang sama!”
(Mamuju, 2020)
–
Propaganda
Kata-kata adalah senjata yang menembak ke jantung musuh.
Setiap hurufnya adalah peluru yang meletuskan kebencian.
Setiap gagasannya terbuat dari mesiu yang meledakkan dendam.
Rusuh sepertinya hidup yang paling tentram.
Pencundang terbaik sembunyi di balik bilik-maya.
Ia menyemu realitas dengan kuasa algoritma.
Mendengung dengan segala upaya untuk merisak yang tak berdaya.
Tanpa prinsip, hidup cuman soal gaya, kaya, dan merasa paling saya.
Kita kerap terbakar pada hal-hal yang wajar
amsal para penyulut perang yang gagal menafsir kabar
sebab kita terjebak pada kabar yang kabur
dan terperangkap dalam kata-kata
yang disembunyikan para penabur.
(Mamuju, 2020)