Bagaimana kita semestinya merespons kasus pelecehan seksual (sexual harrasment) juga kekerasan seksual (sexual violence)?
Tawaran teoritis John Crowley-Buck dalam Testimony, Responsibility and Recognition: A Ricoeurian Response to Crises of Sexual Abuse—yang bertumpu pada pemikiran Paul Ricoeur—patut untuk dipertimbangkan. Lebih lanjut, saya akan memadukan tawaran Crowley-Buck dengan wawasan pemikiran Ricouer lainnya sebagai salah satu jalan pemulihan korban pelecehan dan kekerasan seksual.
Secara umum, respons kita terhadap kasus pelecehan seksual berada pada tiga level, yaitu interpersonal, institusional dan eksistensial. Pada tingkatan interpersonal, beroperasi hermeneutika kesaksian (testimony) di mana kita, sebagai pendengar, meyakini kredibilitas kesaksian yang diberikan oleh korban kekerasan seksual. Hal penting pada tingkatan ini adalah mewaspadai bias obyektivitas yang umumnya bekerja dalam ilmu-ilmu pengetahuan (sciences) yang berparadigmakan ilmu alam (natural science). Artinya, kesaksian atau testimoni korban bukan suatu proposisi.
Proposisi adalah pernyataan yang beroperasi dalam kerangka obyektivitas. Di sana tidak ada subyektivitas, semata-mata deskriptif. Namun, kesaksian atau testimoni lain. Dalam kesaksian beroperasi subyektivitas—dengan demikian, pengalaman yang diceritakan sudah melibatkan pemaknaan bukan semata-mata deskripsi tentang apa yang terjadi. Karena melibatkan pemaknaan, maka unsur traumatik dalam pengekspresian pengalaman itu menjadi penting untuk disimak.
Tentu saja kesaksian itu dapat dicurigai. Karena itu, hermeneutika kesaksian beroperasi untuk memeriksa hal itu. Kecurigaan terhadap kesaksian tentu saja dapat diterima secara teoritik. Namun, patut diingat juga bahwa kesaksian memuat dimensi lain, yaitu kredibilitas. Artinya, kesaksian yang disampaikan korban itu layak untuk dipercaya dan diyakini benar adanya.
Memilih kredibilitas daripada curiga terhadap kesaksian adalah kewajiban etis kita terhadap korban pelecehan seksual. Alasannya, apa yang disampaikan korban adalah terkait dengan masa lalu korban. Dalam situasi ekstrem, terbuka kemungkinan bahwa peristiwa itu hanya diketahui oleh korban dan pelaku. Maka, satu-satunya jalan untuk mengakses masa lalu adalah menerima kredibilitas kesaksian korban dan penerimaan ini menjadi langkah untuk menemukan kebenaran dan mewujudkan keadilan terhadap korban.
Mencurigai kesaksian korban hanya akan membawa kita secara tidak sadar kepada tindakan mengabaikan korban bahkan melindungi pelaku.
Pada tingkatan institusional, beroperasi hermeneutika tanggung jawab, di mana kita sebagai pendengar atau pihak ketiga adalah pihak yang memiliki otoritas atau kewenangan. Dalam kerangka hermeneutika tanggung jawab, otoritas memiliki dua dimensi, yaitu (i) legitimasi dan (ii) kredibilitas. Legitimasi menyangkut keabsahan memerintah dari otoritas. Kredibilitas menyangkut status etis otoritas, apakah berdasarkan manipulasi atau dominasi. Kredibilitas otoritas diuji berdasarkan norma keadilan.
Dalam hal kasus pelecehan seksual dan kekerasan seksual, keadilan merupakan pintu pembebas dari lingkaran kekerasan dari balas dendam. Di sinilah hermeneutika tanggung jawab beroperasi untuk menyelaraskan antara legitimasi dan kredibiltias dari otoritas yang dimilikinya dengan menetapkan keputusan yang berkomitmen kepada keadilan terhadap korban.
Pada tingkatan eksistensial, beroperasi hermeneutika rekognisi di mana korban memaknai keseluruhan peristiwa yang dialaminya dalam orientasi melupakan dan mengampuni. Saya kira, bagian ini akan menimbulkan perdebatan serius—namun secara teoritik, tawaran dari Crowley-Buck ini penting untuk disimak.
Hermeneutika rekognisi yang berorientasi pada melupakan, menempatkan korban berhadapan dengan masa lalunya dan untuk itu tersedia tiga pilihan. Pilihan pertama, ingatan masa lalu itu dihalangi untuk muncul melalui mekanisme represi—namun yang sejatinya yang terjadi di sini adalah ingatan yang hendak dilupakan itu menjadi tak-terlupakan. Pilihan kedua, memanipulasi memori dengan menggunakan kekuatan ideologi—dan (dugaan saya) relasi kuasa.
Tentu saja lupa yang muncul bukanlah lupa, melainkan pemakluman bahkan bisa saja normalisasi. Pilihan ketiga memori yang bertanggung jawab (obligated memory). Di sini, korban mengingat kembali peristiwa, mengimajinasikan sekaligus mengolah peristiwa itu untuk membangun pemaknaan yang baru atas peristiwa itu. Pemaknaan baru itu seiring dengan pembentukan identitas diri korban yang baru sekaligus membuka kemungkinan pemulihan relasi dengan orang lain—dan dalam situasi ekstrem membuka kemungkinan mengampuni pelaku.
Hermeneutika rekognisi dalam hal melupakan berupaya menegaskan sekaligus menetapkan batas keberlakuan ingatan masa lalu dalam kehidupan korban. Peristiwa traumatis masa lalu yang menempati ruang “telah terjadi” (“having been”) namun mustahil dihapuskan mengalami perubahan menjadi “tak lagi berdampak” (“being-no-longer”)—dan lupa itu berarti menyatakan bahwa peristiwa itu “tak lagi berdampak” melalui pemaknaan baru. Pada titik ini, korban sudah menjadi penyintas (survivor).
Hermeneutika rekognisi dalam hal mengampuni berorientasi membebaskan pelaku dari konsekuensi tindakannya. Namun pengampunan sebagai amnesti ini bukanlah amnesia terhadap apa yang dilakukan pelaku. Pengampunan ini mensyaratkan imputabilitas. Artinya, terdapat ikatan antara tindakan dan agen sehingga yang bersangkutan dapat dimintai pertanggungjawaban. Dalam pengampunan, si pelaku terbebas dari konsekuensi tindakannya di masa lalu—dalam kata lain, ikatan imputabilitas antara tindakan dan diri si pelaku yang memang diakuinya sudah dinyatakan tidak berlaku lagi. Poin penting dalam hal ini adalah pelaku dikenali sebagai oleh yang lebih baik dari masa lalunya.
Hermeneutika kesaksian, tanggung jawab dan rekognisi adalah jalan panjang yang mesti ditempuh untuk memulihkan daya otonomi pada diri korban sehingga bertransformasi menjadi penyintas. Lebih dari itu, dalam jangka panjang, ketiganya juga berperan penting dalam mentransformasi tatanan politik sosial dan hukum serta tatanan kultural yang lekat dengan pelanggaran martabat manusia.