Untuk Penyair Belanda
: setelah membaca “De Stem Van De Dighter”
buah tangan A. Sivirsky-
para penyair benar-benar telah menghukum
cerita di dunia.
–
Surat dari Pembaca
—Hans Andrew
Bahasa telah menelurkan kata-kata:
kiasan cinta di dalam kasih sayang,
bunyi rima dendam di balik penindasan,
lalu kita akan mencatat bagaimana alur
perdamaian pada sketsa kehidupan
akal dengan kalbu di persimpangan
sel-sel saraf tubuh
dan penyair itu senang melihat ekspresi wajah kita
kemudian sesekali berkata dengan metode rahasia:
ini bahasa, silakan maknai ceritanya bersama
maka, puisi akan membuka rahasia surga
bahkan neraka
tapi di bumi yang sama-sama fana
kita akan selalu mengira, matahari berumah
di angkasa yang berkaca-kaca, dan penyair itu
pasti menebak gerak pantulan cahaya
ketika bahasa terbit dan makna terbenam begitu saja
sampai kita terlelap tak lagi mengintainya
tetapi penyair tak pernah libur mengamati
suara Tuhannya yang kadang-kadang berbisik:
semua sama saja, maka berpuisilah.
(2022)
–
Di Kolom Jiwa
—Nico Verhoeven
Di kolom jiwa, tempat garis tubuh
halaman buku mengantarkan nasib
manusia yang mencari keberadaan rumahnya,
“halo, apakah ada yang tahu di mana rumahku?”
seperti gema dalam goa, sunyi tak terkira
memantulkan kembali suaranya menemui
lubang telinga, membangunkan otak kecilnya,
lalu matanya terbuka, dan darah itu menjadi ombak
berlarian ke seluruh anggota-tubuhnya, mencari rumah
masa lampau, tempat kenangan tersimpan rapi, tercatat.
“sekarang aku semakin tak tahu apa-apa, walaupun aku menghitung
sampai ke angka sembilan-puluh-sembilan, membaca sampai halaman
terakhir, di kolam jiwa ini, biarlah menjadi rumahku.”
(2022)
–
Ketika Hujan Badai
—Jaap Harten
ketika hujan badai
di kampung baru, letak kerajaan
yang hilang di bawah langit malam,
di tanah sejarah, sebagai kembara kita
berburu sunyi dan menempuh bukit-bukit
berkabut
dan mendengarkan suara-suara yang akrab
sesekali bunyi Elang Jawa di pohon beringin
gumam Macan Kumbang di semak belukar
berdebar-debar hati kita, namun ketenangan telah
mengalahkan risau ketakutan—
sebab kita bukan gagak yang takut
kepada embusan angin yang berputar
memabungkan sayapnya agar cepat bertemu kematian.
kemudian di sebuah desa
di pagi yang dingin dengan cerita
gelap tenggelam, cahaya pasti datang
kita akan terus menjadi kembara
mencari kebijaksanaan dari situs jejak
masa silam
dan menunggu tanpa henti
akan ke mana gerak matahari di langit
yang mencolok kilaunya, mendatangkan bayangan
Kota Bogor di bawah gagahnya Gunung Salak:
tempat peristirahatan segala nama-nama yang gugur.
(2022)
–
Musim Gugur
—Guillaume Van Der Graft
Musim gugur menciptakan segalanya
menghilang dalam kesedihan
ketika seseorang bisa lebih tenang
melihat fenomena mereda kala fajar tiba
dan ketika lampu gemerlap
memudar dalam ketakutan:
Tuhan secara tak terduga
menciptakan kembali
semua yang telah lama mati.
(2022)
–
Tamat
—Lucebert
Di rumah waktu, seseorang yang sudah kaku
itu telah meninggalkan buku-buku ingatan
dan menyimpan banyak sekali ruang kenangan-
pada sela-sela rak kehampaan tergores pesan:
segala sesuatu yang berharga
tak berdaya
bahkan di dalam bahasa hatinya
figura-ekspesionis paling murni
sekalipun telah datang membawa
gejolak pikiran, menggonggong
dalam kebisuan, membuahkan ketiadaan
hanya penyesalan yang rela menghitung
unsur-unsur gemetar bunyi dan menebak
irama suara terakhir maknanya:
nyanyian rumah itu telah dilukisnya
kepada hidup yang kekal, yang gusar, yang tak seorang pun tahu di manakah ujungnya.
(2022)
*****
Editor: Moch Aldy MA