Saat itu pukul tiga lewat dua puluh dini hari. Suasana pantai cukup lengang. Penduduk yang sejak tengah malam keluar untuk mencari kerang juga telah kembali ke rumah masing-masing. Tersisa hanya aku dan tiga kawan lain sedang duduk di bawah langit bertabur bintang ketika pesawat-pesawat aneh itu melintas di atas kami.
Aku sendiri tak tahu itu pesawat jenis apa, tapi jumlahnya delapan buah. Jelas bukan pesawat penumpang komersial. Bentuknya aneh, tak memiliki kemiripan dengan pesawat mana pun. Satu-satunya petunjuk bahwa mereka adalah pesawat adalah lampu-lampu berkerlip hijau, biru, dan merah pada sisi-sisinya. Benda-benda itu melayang rendah di atas kami, mengeluarkan deru pelan dan malu-malu, lalu terbang berantai membentuk lingkaran di sepanjang area pantai.
“Itu Ufo ya?” Rik berdiri dan mendongak.
“Sepertinya bukan,” kataku. Mereka tidak mirip sama sekali dengan piring terbang, lebih menyerupai sekop pasir dengan gagang pendek. Aku belum pernah melihat yang seperti ini di dunia nyata.
“Seperti patroli udara,” sahut Yeri.
“Tapi, bukankah benda-benda ini terlalu canggih untuk negara seperti Indonesia?” Balas Nawi’ tergelak.
“Bisa jadi ini milik militer,” aku bangkit dan mengecilkan volume musik yang sedang memutar album Bright Side of Life milik Rebelution. “Tapi itu pesawat jenis apa, ya?” Aku pernah membaca sebuah opini di koran yang menyebutkan rencana pemerintah menambah anggaran untuk bidang pertahanan. Di situ disebutkan juga rasio belanja militer kita termasuk peringkat rendah dibanding negara-negara lainnya di Asia Tenggara. Jika itu benar, maka ini semacam uji coba pesawat tempur mereka yang baru. Siapa tahu.
Selama beberapa saat kami memperhatikan pesawat-pesawat itu melayang di atas kami. Setiap kali satu di antaranya melintas, entah mengapa muncul perasaan cemas dalam diriku. Seolah-olah dari perut pesawat itu sebuah bom atau rudal akan dijatuhkan untuk menghukum kami semua.
Tak ada yang terjadi di waktu-waktu itu. Tidak ada bom atau laser hijau menyoroti kami. Tidak juga makhluk asing berkepala besar turun dari badan pesawat itu. Jam di tanganku terus berdetak, bunyinya beradu dengan degup jantungku, sampai-sampai aku tak bisa mengenali manakah di antara keduanya yang lebih nyata. Menit berlalu, hempasan ombak pada bibir pantai menghasilkan gema ritmis yang ganjil. Sekali lagi, pesawat-pesawat itu melayang di jalur lintas di atas kepala kami dengan angkuh, seperti anjing penjaga mengawasi sekawanan domba.
***
Dua hari sebelumnya Yeri muncul dan bercerita banyak tentang masalah hidupnya kepadaku. Ia merupakan adik kelasku di universitas dulu. Kami bertemu di sebuah kedai kopi dekat terminal Mallengkeri dan ia memberitahu bahwa kekasih yang telah dipacarinya sejak semester empat terus mendesaknya untuk menikah.
Ini bukan yang pertama baginya. Yeri dan pacarnya sama-sama lulus dari universitas setahun lalu. Sampai hari ini kawanku itu masih berjuang untuk mendapatkan pekerjaan. Ia telah mencoba semuanya: dua kali gagal tes pegawai negeri sipil, melamar di perusahaan asuransi, menjadi ojek online, sampai berbisnis minuman ringan di pinggir jalan. Namun, seperti pengakuannya, tak ada satu pun di antara usaha itu yang membuatnya selangkah lebih dekat ke rumah pacarnya.
“Ifa memberiku batas waktu sampai akhir tahun ini. Keputusannya sudah bulat. Saya juga tak berhak marah jika kedua orangtuanya menerima lelaki mana pun yang datang memintanya.”
“Jika ia sudah berani mengatakan itu, tandanya kau harus segera menentukan sikap,” kataku, “sekarang sudah Mei, masih ada tujuh bulan untuk Desember.”
“Ini bukan soal waktu,” balas Yeri, “besok pun saya bisa menikahinya. Tapi pernikahan gak sesederhana panggil penghulu, bikin anak, lalu bahagia, kan. Ini tentang hidup setelahnya.”
“Kau benar,” kujawab begitu. “Rasa-rasanya ini akan jadi pembicaraan yang sangat serius.”
Kami semua sebenarnya memiliki masalah yang sama. Pandemi ini memang sialan. Aku sendiri sudah hampir setahun menganggur. Sebelumnya aku mengajar di sebuah lembaga kursus untuk siswa-siswa SMP. Aku dan beberapa kenalan patungan mendirikan bisnis tersebut. Bukan lembaga yang terkenal sih. Kami juga tak menyediakan sertifikat resmi. Tapi para orang tua bilang anak-anak mereka jadi pintar setelah belajar di tempat kami. Aku mendapat dua kelas setiap sorenya, matematika untuk siswa kelas satu dan dua. Gajinya tidak banyak tapi cukup untuk membeli rokok dan kebutuhan harian seorang bujang tanpa cita-cita besar sepertiku. Bagaimana pun, memiliki pekerjaan, apa pun itu membuat hidupmu yang payah tidak kelihatan begitu buruk.
Lalu pandemi datang. Tak ada orang yang ingin pintar matematika di tengah-tengah dunia yang sedang di ambang kehancuran. Mungkin tidak seserius itu. Tapi begitulah televisi menggambarkannya. Sementara, jika ada yang benar-benar harus mengalami kiamat pertama kali tentulah kursusan tempatku bekerja. Kami bubar. Ruko yang kami sewa dan baru berjalan setengah tahun dipindah-tangankan ke pengusaha kedai kopi, uangnya lalu kami bagi. Barang inventaris seperti printer, papan tulis, sampai LCD dijual dan uangnya juga dibagi rata.
“Lambat laun kita semua akan kehilangan sumber mata pencaharian kita,” kata Yeri juga mengenang usaha kedainya yang harus bubar pada bulan ketiga karena sepi pelanggan.
“Apalagi jika itu satu-satunya skill yang kau punya untuk menjalani kehidupan.”
Aku memandangi gelas kopiku yang menyisakan ampas di dasar gelasnya. Sungguh kasihan. Aku bahkan tak berani meminta segelas lagi kepada pelayannya. Sesuatu yang tak akan pernah terbayangkan setahun ke belakang. Waktu itu uang tidak begitu menjadi persoalan buatku. Aku memang tidak kaya, tapi aku tak pernah berpikir panjang untuk segelas kopi tambahan.
Yeri mengeluarkan Sampoerna kecil dari kantong bajunya dan menawarkan sebatang buatku. Tersisa tiga batang. Sepanjang hidup, kawanku ini bukanlah orang pelit sama sekali, tapi melihatnya mengantongi rokok seperti itu membuatku tersadar betapa krisis telah menjungkir-balikkan relasi sosial umat manusia.
“Tidak Untukmu saja,” kataku mendorong kembali rokoknya. “Saya sedang tidak ingin merokok.”
Yeri tidak berkata apa-apa. Ia membakar sebatang dan memasukkan kembali sisanya ke kantong bajunya. Aku memperhatikan asap rokok yang keluar dari mulutnya, bergulung-gulung ke udara lalu menghilang.
“Oh, iya,” Yeri teringat sesuatu. “Bagaimana kabarnya Nisa?”
“Hidup kita tidak begitu berbeda,” jawabku. Aku sebenarnya malas membicarakan seseorang yang telah meninggalkanku. Entah mengapa setiap orang yang kutemui merasa harus terkejut ketika mengetahui bahwa aku telah lama putus dengan pacarku tanpa sepengetahuan mereka.
“Apakah Nisa menikah dengan lelaki lain?” Ia bertanya dengan nada dibuat-buat.
Aku mengangguk. “Tak usah kaget begitu.”
Kini Yeri terdiam. Suasana nampaknya berbalik dan ia berusaha menunjukkan empati. Tapi itu pekerjaan yang sia-sia untuknya. Jujur saja, aku tidak merasa sedih atau sakit hati sama sekali. Seratus di antara seribu, ditinggal nikah merupakan hal yang biasa terjadi dalam kehidupan manusia.
Ia menghisap rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskannya lagi ke langit-langit. Ia berjuang keras mengalihkan pembicaraan.
“Tapi kok ada, ya? Bayangkan berapa banyak teman-teman kita yang melemparkan diri ke dalam dunia pernikahan tanpa banyak pertimbangan. Bagi orang-orang ini, pernikahan adalah urusan remeh saja, sesederhana hadir dan makan di pesta itu sendiri. Mereka seperti tidak takut pada hari esok, tak ada keraguan ini itu. Dan hebatnya lagi, mereka tetap hidup, dengan dua tiga anak. Ya, memang sih, ada masalah apalah belakangan hari…. Tapi, bagaimana pun hidup mereka baik-baik saja.”
Aku mengangguk. Kami bertukar nama beberapa kenalan kami yang telah menikah muda, dan berakhir dengan saling menertawakan diri sendiri.
“Apakah karena kita berdua tidak punya cukup nyali, ya?”
“Jangan katakan kita berdua,” kataku sedikit tersinggung. “Meskipun kau dan saya memiliki masalah yang agak mirip, bukan berarti apa yang menimpaku karena ketiadaan nyali atau semacamnya. Saya berbeda… maksudku…” Sulit rasanya menjelaskan mengapa hidupku tidak pantas diseret-seret ke dalam penggolongan seperti itu.
“Iya, saya paham,” kata Yeri, “Kau seseorang yang berbeda, benar begitu?”
Ada keheningan yang panjang. Pikiran membawaku memikirkan hal lain di rumah; keran westafel yang rusak, buku pinjaman di perpustakaan yang telat tiga hari belum kukembalikan, dan pekerjaan rumah yang dititipkan kakakku sebelum ia berangkat bekerja.
Yeri menunduk sambil mempermainkan puntung rokok di jari-jarinya dan menggeleng-geleng. “Menurutku, sih, semua butuh waktu,” katanya dalam suara pelan. Nyaris tak terdengar.
“Apanya?”
“Hah,” Ia mendongak, “Apanya?”
“Kau bilang tadi butuh waktu. Apa itu?”
“Bukan apa-apa,” jawabnya cepat. Ia membakar kembali rokoknya yang mati. “Ngomong-ngomong, bagaimana jika kita pergi liburan saja?”
“Saya sedang bokek, gak bisa ke mana-mana sama sekali.”
“Bukan liburan seperti orang-orang,” katanya, “Tak usah mewah. Kita melakukan perjalanan ke sebuah tempat, semacam pantai yang sepi. Kita membawa bekal seadanya dan temukan tempat untuk merenung. Seperti yang kita lakukan semasa kuliah dulu.”
Bukan liburan seperti orang-orang. Apa maksudnya itu.
“Itu terdengar bagus,” kataku, “Tapi saya tidak yakin apakah itu perlu di waktu-waktu seperti ini. Kau bilang pacarmu membutuhkan kepastian, dan kau malah lari…”
“Untuk berpikir,” potongnya.
“Kau pasti bercanda…”
Yeri menggeleng. “Lagi pula, seperti kau bilang tadi, ini baru Mei. Desember masih terlalu jauh.”
Itu ada benarnya. Tiba-tiba aku tersadar akan sesuatu. Semenjak menganggur aku menjadi tidak peduli dengan proses berlalunya hari. Mungkin, ketiadaan pekerjaan tetap membuatku jadi senang menunda-nunda segala hal. Aku menangguhkan untuk besok apa yang bisa kukerjakan hari ini. Aku menyimpan apa yang bisa kukerjakan di pagi hari untuk sore, minggu ini untuk bulan depan, dan seterusnya. Tahu-tahu hari berlalu dan bersamaan dengan itu segala macam hal dalam hidupku juga ikut pergi.
***
Ini adalah kunjungan keduaku ke pantai Galesong. Akulah yang mengusulkan tempat ini kepada Yeri. Tak ada alasan pasti mengapa aku memilihnya. Tiba-tiba saja ide ini muncul di kepalaku. Aku bisa saja mengajukan dataran tinggi Malino yang dingin dan dipenuhi pohon pinus atau pantai Bira yang lebih terkenal dan berpasir putih, tapi Yeri nampaknya tidak begitu peduli. Ia menerima semua usulku tanpa bertanya lebih jauh. Ketika aku berkata akan mengajak orang lain ia hanya mengangguk, jadi kupikir kawanku ini benar-benar sedang dalam masalah besar dan butuh tempat melarikan diri.
Bukannya akhir pekan, kami justru pergi pada hari rabu. Ini sungguh bukan liburan seperti orang-orang. Siapa pun akan dengan mudah menebak manusia-manusia jenis apa yang pergi keluyuran pada hari kerja. Aku pikir hidup ketiga kawan yang bergabung juga tidak kalah menyedihkannya daripada kami berdua. Salam baru saja keluar dari tempat kerjanya di perusahaan alat kesehatan karena merasa diperas oleh target penjualan yang tidak masuk akal. Sementara Irza dan Rik, yang paling junior di antara kami, adalah dua mahasiswa urakan yang tak kunjung selesai kuliahnya.
Pukul empat sore kami berangkat berboncengan sepeda motor dengan membawa bekal seadanya. Tak ada ransel besar dengan berbagai macam ransum dan alat kamping lengkap, hanya pakaian yang menempel di badan. Kami menyewa sebuah tenda kecil milik kenalan di organisasi pecinta alam. Sekadar formalitas agar tidak dikira orang bingung tanpa tujuan. Kami juga berhenti di pinggir jalan sebuah perkampungan yang sepi untuk menurunkan paksa sebuah baliho bergambarkan seorang lelaki muda. Pada keterangannya tertulis bahwa lelaki itu merupakan calon legislatif tingkat provinsi dari salah satu partai besar negeri ini. Ia menggunakan pilihan kata yang bagi kami terdengar absurd seperti “Pemuda Harapan Bangsa,” dan, “Perjuangan di Pundak bla bla bla,” supaya orang-orang memilih dirinya. Ia terlihat seumuran denganku, mungkin sedikit lebih tua satu dua tahun. Tipikal politisi narsis yang tubuhnya menguarkan bau parfum hingga jauh dan memamerkan senyum.
“Menjijikkan,” kata Rik.
“Terlalu muda untuk jadi penipu,” sahut Irza.
“Sepertinya orang ini dari partai yang kalah pemilu kemarin,” kata Yeri, “Kenapa spanduknya masih dipajang begini? Apa tidak malu?” Ia menyobek paksa baliho itu dari paku-pakunya.
Ketika kami melintasi areal persawahan yang luas, cahaya jingga dari barat menyirami jejeran rimbun pohon asam pinggir jalan, menembus dedaunan lantas jatuh satu-satu dalam garis diagonal di atas aspal hitam. Kami berhenti sebentar di sebuah SPBU untuk menjemput Smile sambil mengisi bensin dan merokok di pinggir jalan. Sambil menelpon Nawir yang akan menyambut kami di rumahnya, aku mengamati langit yang perlahan berubah dari abu-abu menjadi biru gelap. Beberapa bintang mulai terlihat dan ingatan samar-samar tentang tempat yang akan kami kunjungi muncul kembali di kepalaku sebagai sebuah nostalgia.
***
Kami sampai di Galesong selepas magrib. Nawi’ yang menyambut kami telah mempersiapkan segala sesuatu seperti dikatakannya di telepon. Kami memang tak perlu khawatir dengan urusan makanan. Sebaskom ikan segar yang telah dilumuri bumbu bawang dan sereh siap bakar, segentong plastik nasi putih hangat, sayur bening, dan sambal kacang di dalam rantang susun. Juga satu termos kopi panas dan biskuit.
Jarak antara rumah Nawi’ dan pantai kurang dari satu kilometer. Pemukiman penduduk dan pantai dipisahkan oleh kebun dan persawahan yang luas. Kami berjalan kaki di atas pematang gelap dengan bantuan senter ponsel masing-masing. Dari jauh aku bisa mendengar gemuruh ombak. Ketika sampai di jalan menurun, rumput persawahan di bawah kakiku segera berganti dengan pasir-pasir hangat yang menenggelamkan sepatu. Lampu-lampu kapal nelayan terlihat di kejauhan. Angin berhembus membawa serta bau asin yang kuat naik ke daratan. Sepotong bulan menggantung rendah di langit dan aku melihat sebuah kapal kayu rusak terdampar di pematang sawah tertutupi terpal plastik.
Kami segera mencari tempat yang bagus untuk mendirikan tenda. Ranting-ranting dan sampah plastik dibersihkan, beberapa kawan pergi mencari kayu bakar untuk dijadikan api unggun. Aku berdiri di tepi pantai dengan kaki telanjang dan membiarkan air laut menyapu kakiku sambil memandangi lautan gelap. Tidak ada lagi Boskalis di sana, kapal besar itu. Proyek reklamasi Makassar sudah memasuki tahap kedua. Dan setiap kali aku melihat foto kawasan tersebut -sebuah daratan baru yang ditambahkan di garis pantai alaminya – aku selalu berpikir betapa umat manusia telah berjalan terlalu jauh dari takdirnya.
***
Pukul sembilan ikan-ikan telah matang. Kami mengatur makanan di atas bentangan spanduk politisi gagal tadi dan duduk bersila. Kami semua makan dengan lahap tanpa berbicara. Selesai makan kami meminum kopi dan melinting tembakau menghadap ke laut. Sejumlah penduduk, perempuan dan anak-anak mulai terlihat di sekitar pantai dengan senter-senter mereka, membawa baskom di kepala dan mulai turun ke air. Tangan-tangan mereka meraba-raba dasar laut, menembus pasir yang lembut, sambil tertawa cekikikan ketika berhasil menemukan tude, kerang-kerang.
Melihat itu semua muncul sejenis rasa lega dalam diriku. Rantai yang selama ini membelenggu tubuhku kini meluruh satu per satu. Aku tak mencoba meromantisasi kehidupan orang-orang, hanya saja berada di sini seperti membangkitkan kembali kenangan-kenangan menyenangkan masa kecilku. Aku juga tumbuh besar di sebuah perkampungan pesisir puluhan kilometer dari sini. Di kampung nenekku di Nashara, aku menghabiskan masa kecil dengan berlari-lari sepanjang pantai, menangkap kepiting, dan membiarkan kulitku menghitam di bawah lembabnya cuaca pantai.
Lalu, seperti yang dirasakan hampir setiap orang, waktu berjalan begitu cepat seperti sebuah peluru yang lepas dari pistol. Kehidupan tiba-tiba melemparkanku ke kota, terhisap masuk dalam skenario kehidupan orang dewasa yang tak bisa lepas darinya. Kuliah, kerja, lalu sukses.
***
Pesawat-pesawat Ufo itu masih berputar-putar di jalurnya, kami mencoba rileks dengan membicarakan hal lain. Kami berpindah dari satu topik ke topik lain dan bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi aku bisa merasakan ketidaknyamanan dalam wajah kawan-kawanku. Kami tak bisa menolak godaan untuk sesekali mendongak ke atas.
Kapan pun pesawat itu mendekat pembicaraan kami berubah menjadi canggung, kata-kata terputus di tengah jalan, ada jeda sambil menunggu mereka lewat. Apakah mungkin benar mereka sedang memperhatikan kami. Pesawat itu seperti pengawas ujian yang berkeliling di ruang kelas sementara kami adalah para siswa yang harus berbisik-bisik untuk berbagi jawaban.
Atau mungkin beginilah memang hidup. Memikirkan ini aku jadi menyadari bahwa kemana pun aku memalingkan wajahku bayangan kegagalan akan selalu mengikuti.
***
Pukul empat lewat sepuluh, ketika mesjid pertama mengumandangkan azan, Ufo-Ufo itu telah menghilang dari radar kesadaran kami. Anehnya, tak ada seorang pun yang menyaksikan kepergiannya, sama seperti kedatangannya yang juga tanpa petanda.
Meski sesaat, kehadiran benda-benda terbang itu masih terasa. Kami memandangi langit, menyisakan bintang-bintang. Tak ada kerlip biru, merah, dan hijau di sayap pesawat, tak ada deru lembut. Ufo-Ufo itu menghilang begitu saja, seperti terhisap ke dalam sebuah lubang hitam. Sebuah lubang yang jika kamu coba mengintipnya, dunia lain terhampar di seberang sana.
Sungguh, betapa cepatnya aku merindukan benda-benda itu. Bahkan ketika cahaya fajar mulai meninggi dan menyirami punggung-punggung kami, aku masih merasa perlu mendongak ke atas untuk memastikan dan sedikit berharap mereka kembali. Ke mana perginya benda-benda itu? Apakah hanya aku seorang yang mengalami perasaan ini?
Bukankah menyenangkan jika sekalian saja Ufo-Ufo itu membawa serta kami pergi. Aku penasaran bagaimana rasanya pergi jauh dari dunia ini. Dunia seperti apa yang menantiku di seberang sana. Apakah di sana terdapat padang rumput hijau? Apakah di sana ada pantai juga? Pantai yang indah dan asri, dengan cahaya mentari hangat dan lembut, tanpa Boskalis atau obsesi pembangunan tanpa batas? Apakah di sana ada kekasih-kekasih yang tak bakal meninggalkanmu hanya karena kau tak memiliki rencana masa depan? Singkatnya, apakah di sana kau akan bebas menentukan dirimu menjadi apa saja? Bahkan jika kau tak menginginkan menjadi apa-apa dalam hidupmu, seisi dunia tidak akan mengejek dan mengusirmu?
Tapi apakah benar ada dunia yang seperti itu?
Bisa jadi, Ufo-Ufo itu memang diutus oleh seseorang untuk membawa kami pergi dari sini. Dan seharusnya aku sekarang telah berada di dalam pesawat itu, menuju sesuatu tempat antah-berantah. Namun, kenyataannya di sinilah aku berada, sepasang kakiku masih berpijak di sini, di dunia yang setiap hari aku selalu coba lari darinya.