Twenty-Five Twenty-One dan Pendukung yang Luput Dibicarakan

Muhammad Fadli Muslimin

3 min read

Drama Korea yang sedang digandrungi, Twenty-Five Twenty-One membuat banyak orang merasa bahagia, sedih, kecewa, bangga, senang, dan perasaan campur aduk lainnya. Drama 16 episode ini telah menyihir penontonnya dengan kisah pemuda yang sedang berupaya bangkit dari keterpurukan karena kebangkrutan yang melanda keluarganya dan seorang remaja gadis pecinta anggar yang bergelut dengan upaya meraih cita-citanya.

Di setiap episode, penonton selalu dikejutkan dengan berbagai ragam cerita khas remaja dan juga persoalan keluarga yang membelit. Seperti kapal yang menemukan dermaganya, drama ini menemukan penontonnya yang juga pernah merasakan dan melewati berbagai kisah berharga tentang masa muda di mana eratnya jalinan persahabatan dan cinta adalah hal berharga yang cukup dilalui sekali dan dikenang selamanya. Meski tidak berakhir indah, momen-momen tersebut adalah hal yang pasti dapat menjadi penyegar bagi mereka yang berharap melupakan masa lalu atau mereka yang masih berharap pada masa lalu.

Baca juga: Sihir Baru Cinderella dalam Drama Korea

Namun, di balik kompleksitas cerita yang mengalir deras mengisi setiap sela dan lubang, ada hal yang mungkin luput dari gegap gempita kebanyakan penonton, yaitu sosok ayah dan ibu.

Ayah Baek Yi-jin diceritakan bangkrut dan terpaksa memisahkan diri dari istri dan kedua anaknya. Ia berharap untuk tidak melibatkan mereka dalam persoalan utang yang melilitnya. Baek Yi-jin terpaksa memupus harapannya lanjut ke perguruan tinggi dan melepaskan segala fasilitas kekayaan yang selama ini ia nikmati. Ia pun kerja paruh waktu di berbagai tempat untuk memenuhi kebutuhan diri dan adiknya. Ibunya pun, selepas ditinggal oleh suaminya, tidak begitu saja menjadi perempuan yang terpuruk dan kehilangan arah. Ia tetap menjalani hidupnya dengan gigih di kampung bersama saudaranya. Meskipun dipenuhi rasa rindu yang mendalam untuk kembali berkumpul dengan keluarga, tapi ia menyadari bahwa kasih sayang tetap bisa tersampaikan dalam kondisi apa pun.

Tragedi dibalut kasih sayang tampaknya masih menjadi bumbu yang apik disajikan. Ayah Na Hee-do yang meninggal karena sakit saat Na Hee-do masih anak-anak. Ikatan batin yang kuat antara ayah dan anak ditunjukkan dengan Na Hee-do bersikukuh menyimpan kursi buatan ayahnya dan belajar pertukangan agar mampu memperbaiki kursi tersebut. Hingga akhirnya, di kala dewasa, ia mahir di bidang pertukangan. Ayahnya juga yang memperkenalkan olahraga anggar. Kematian ayahnya membuat Hee-do dan ibunya sedih. Namun, hal itulah yang menjadi cambuk baginya dan bertekad untuk menjadi pemain anggar terbaik di Korea dan bahkan dunia.

Ibu Na Hee-do bukanlah sosok perempuan lemah yang ketika ditinggalkan oleh suami lantas terjungkal dan terjun ke jurang nestapa. Ia adalah potret perempuan tangguh yang pada masa sulit sekalipun tetap bisa objektif dan berjuang bagi anaknya. Ia menjadi ibu sekaligus ayah. Hubungan kaku dan kurang intensnya komunikasi di antara keduanya menjadi konsekuensi yang harus ditanggung oleh sang Ibu karena kesibukan bekerja sebagai pembawa berita dengan jam kerja tinggi. Ia terpaksa harus menanggung risiko kurangnya peran ibu yang seharusnya dirasakan oleh anak pada masa usianya beranjak tumbuh. Namun, seiring kedewasaan anaknya dan kejujuran hati seorang ibu yang juga dalam lubuk hatinya paling dalam terluka dan rindu terhadap sosok suaminya, akhirnya ada titik balik yang mempererat hubungan di antara keduanya.

Sedangkan Ko Yu-Rim, partner berkompetisi Na Hee-do, meski tidak lahir dari keluarga yang berkecukupan, tapi ia beruntung memiliki keluarga yang selalu sedia setiap saat dalam berbagi suka dan duka. Ayahnya yang merupakan sopir pengantar barang sangat menyayangi dan mencintai Ko Yu-Rim. Setiap kali pulang ke rumah ia tidak lupa memberikan barang kesukaan dan berbagi cerita di rumah kecil sederhana mereka. Sedangkan ibunya, bekerja sebagai pemilik kedai makanan. Meskipun dalam kondisi sulit, ibu Yu-Rim tetap berusaha menyenangkan hati gadis remaja yang beranjak dewasa itu dengan membelikan telepon genggam, sesuatu yang pada saat itu tergolong mahal dan hanya digunakan bagi orang berada.

Tidak berhenti sampai di situ, nasib kurang beruntung menghantui keluarganya. Ayah Yu-Rim mengalami nasib sial. Truk yang dikemudikannya menabrak mobil yang mengakibatkan korban koma dan memerlukan biaya besar serta kompensasi tinggi. Keluarga Yu-Rim, sebelumnya juga terlilit utang, semakin terpuruk diakibatkan hal tersebut. Yu-Rim terpaksa mengambil keputusan krusial dalam hidupnya.

Ada juga sosok Moon Ji-Woong yang kehilangan sosok ayah karena cerai mendapati dirinya tidak lagi mampu atau kesulitan berkomunikasi dengan ayahnya. Hubungan ayah dan anak ini menjadi renggang dan kaku. Meskipun detail tentang ayah Moon tidak dijelaskan secara kongkret tapi dukungan ayahnya bisa tetap mengalir dibantu dengan upaya ibunya yang berjuang keras bagi Moon.

Selain itu,  Ji Seung-Wan, sosok ayahnya tidak tersorot keberadaanya hingga akhirnya diketahui telah meninggal. Ibu menjadi sosok penting baginya. Ji Seung tumbuh menjadi gadis remaja yang cerdas dan berprinsip di sekolahnya. Ia tidak egois, ia rela menanggung konsekuensi dari tindakannya yang menentang kekerasan di sekolahnya. Meskipun, itu berarti ia harus merelakan kesempatannya masuk ke perguruan tinggi karena harus mengundurkan diri dari sekolah karena teguh untuk tidak meminta maaf kepada gurunya yang melakukan kekerasan pada siswa yang dianggap bodoh. Seorang ibu yang melihat anaknya bersikap demikian tidak lantas memarahinya. Berpegang teguh pada prinsip bukanlah sesuatu yang patut dipersalahkan. Setidaknya begitulah sikap ibu Ji Seung. Ia bahkan tidak segan tampil sebagai yang terdepan melabrak guru otoriter tersebut dan mendukung keputusan anaknya keluar dari sekolah meski dengan konsekuensi mengalami keterlambatan setahun berkuliah.

Peran ayah dan ibu dalam keluarga menjadi krusial di tengah persoalan hidup yang melanda setiap anak. Sebagai orang tua, meskipun tidak lagi bersama, sudah menjadi kewajiban bagi mereka untuk tetap memberikan perhatian, kasih sayang, dukungan material dan moral bagi anak-anaknya agar tumbuh kembangnya dapat baik dan menjadi sosok yang berprinsip dan teguh dalam menjalankan keyakinan.

Muhammad Fadli Muslimin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email