tuhan di sana
tuhan di sana, katamu
mengeja nama kita
setiap kali pagi
mata kita membaca takdir
melalui jendela
anak-anak doa kita keluar
sepanjang waktu
mengalir ke langit
mencari asal mula kesepian
diciptakan
jauh di sana, katamu
tuhan memerhatikan
setiap gerak dan geliat
bahasa; kesedihan dicatat
sebagai satu buah amal
yang balasannya entah apa
dan kita, mungkin sengaja tak dikaruniai
kecerdasan mengerti akan
maksud tuhan mengganti setiap
yang hilang dan yang datang
supaya hidup diisi lebih banyak mencari maksud
dibanding tertawa menghadap langit
yang sedang muram, mungkin
tiap kali kesepian hendak
meregang nyawa, katamu
tuhan jauh di sana
menggeliat di tubuh kita
menanam doa-doa kita
di rumahnya
(Jakarta, 2023)
–
jalan menuju tubuhmu
di jalan menuju tubuhmu
pada suatu hari
aku ditarik-tarik rintik gerimis
diombang-ambing siur angin
dihempas ke jalan yang alamatnya
tak terbaca oleh angka dan
bahasa
aku luntang-lantung
terseok-seok
tak berdaya
tak punya penanda apa-apa
kecuali kesunyian
yang menjelma apa saja
ketika ingin kembali pulang ke tubuhku
pada suatu petang yang diam
aku gagal menjumpai apa-apa
kecuali kecemasan
yang lalu lalang di ingatan
menggenang di kepala
(Jakarta, 2023)
–
pada akhirnya
sayangku,
hari-hari menjeram kita entah ke mana
waktu tak pernah libur bahkan ketika kita
membencinya berkali-kali
asal kau tahu, tak ada yang berubah dari bau
hari, berikut musim-musimnya
ingatan kita saja yang mungkin berbeda
berpindah dari satu kelelahan ke kelelahan yang lain
dan dari kelupaan ke kelupaan yang lain
sayangku,
tak ada jeda untuk kita menenangkan diri, mengeja nama-nama rindu di kepala kita
yang nyaris tak dikenali bahasa kita sendiri
setiap orang, termasuk kita, sibuk menghafal
jalan mana yang lengang dari kesepian
semua yang kita alami
pelan-pelan ragu dan asing
diam-diam jauh dan pikun
sayangku, hidup memang punya rute
tetapi apa kita mengerti mengapa
dari sekian banyak manusia dan cerita
kau dan aku yang saling menerima
pelajaran hidup?
tak ada yang mau bertanggungjawab
atas keributan di kepala kita
pagi dan sore, siang dan malam
enggan mengulur waktu untuk
kita duduk dan menjawab pertanyaan
hari selalu percaya diri
memberi kita kelelahan demi kelelahan
dan kelupaan demi kelupaan
pada akhirnya, sayangku
waktu tak pernah menunggu kita
meski kita menangisinya
berkali-kali
(Jakarta, 2023)
–
di hadapan maksud waktu
sayangku, beginilah hidup
manusia seperti jatuh dari langit
tak mengerti apa-apa;
kesepian
juga, keadaan kita yang serba
rahasia ini selalu saja tak berdaya
di hadapan maksud-maksud waktu
keinginan sedang merakit jalan
menuju depan pintu rumahmu
yang tiap musim hujan datang;
kau menunggu
mari bercerita kapan-kapan
ada lebih dari satu miliar kalimat
yang seharusnya kita bagi rata
di atas meja makan
sayangku, mau kau menunggu aku?
kelak ketika hari mulai membaik
mari kita rayakan dengan
menonton kota diguyur nyiur angin
menyaksikan air laut
melambai-lambai
jari-jemari kita
dan tubuh kita
dihujani cinta
sederas-derasnya;
setiap hari
(Jakarta, 2023)
–
demikian rindu ini
asal kau tahu
sepanjang waktu
keinginanku penuh
akan suatu kebetulan
kita bertemu di suatu tempat;
di suatu hari
mungkin kita akan terkejut—
mungkin juga tidak
aku sendiri lupa
bagaimana seharusnya reaksi
tubuh ini
bekerja di depanmu
apa kau sama?
kita mungkin akan
duduk; menceritakan
seluruh kisah
yang masing-masing kita
kunyah setiap hari;
dengan perasaan aneh
aku merasa yakin
pada saat itu tiba
waktu mendadak tak punya arti
di hadapan ingatan kita berdua
lidah seperti baru saja belajar bicara
dan mengenal bahasa
(Jakarta, 2023)
*****
Editor: Moch Aldy MA