Redaksi Omong-Omong

Tuan Rumah

Ghufroni An'ars

5 min read

Kukira ia mati. Ia tergeletak diam setengah meter di depan pintu. Tuan mengambil dia dan menemukan luka di sayap kirinya. Seekor parkit warna jingga Tuan temukan tergeletak tak sadarkan diri di ambang pintu. Tidak lama, parkit itu menjerit pahit. Tuan meninggalkan kotak solnya, masuk ke rumah, kemudian kembali dengan kotak putih bergambar palang merah.

***

Biar kuceritakan kepadamu tentang laki-laki yang sedang duduk menenggak segelas tuak itu. Dia adalah Tuanku, pemilikku yang kuperkirakan sudah cukup reyot untuk ukuran manusia.

Tuan bukan orang yang layak dibanggakan dari segi penampilan dan sikap, memang. Tuan cuma laki-laki reyot yang tinggal di dalam rumah reyot. Tuan suka minum dan rokok, dan bernyanyi dan mendengarkan dangdut di radio, dan sesekali tidur terlalu lama kemudian bolos kerja. Namun, aku dapat melihatnya dari kaca-kaca jendelaku, setiap hari Tuan merawatku sambil bernyanyi. Tuan memperbaiki ventilasi yang mulai berayap, dan memaku lagi lantai kayu yang mangap, dan menambal atap agar dingin tidak masuk ke ruang-ruang tubuhku. Tuan adalah lebih dan kurang dalam satu tubuh tua nan ringkih. Bagaimana pun, aku tetap menyukainya, meski Tuan adalah manusia. Meski yang kutahu manusia adalah makhluk paling rumit di muka bumi ini.

Saban pagi, Tuan akan menyiapkan peralatan solnya sebelum memasak sarapan dan berangkat ke pasar. Pada malam sebelum tidur, Tuan selalu bercerita dalam mimpinya yang kudengar melalui bantal dan guling.

Pernah satu sekali Tuan bercerita tentang betapa gembiranya dia bekerja sebagai penjahit sepatu. Sepatu adalah benda yang selalu dibawa manusia ke mana pun mereka pergi, kata Tuan. Dan jika Tuan bekerja sebagai penjahit sepatu, maka Tuan merasa menjadi bagian dari perjalanan setiap manusia yang memakai jasanya. Namun, kemudian aku bersedih karena selanjutnya Tuan mengatakan bahwa ia ingin sekali pergi ke tempat yang jauh, seperti semua sepatu yang pernah berada dalam kotak solnya.

Aku sedih mengingat kenyataan bahwa tentu tidak ada manusia yang mengajak rumahnya untuk pergi jalan-jalan. Untunglah Tuan tidak pernah benar-benar pergi, meski kutahu Tuan sangat ingin. Sekali lagi, begitulah rumitnya manusia: kerap tidak melakukan sesuatu meski mereka tahu sangat menginginkannya.

Aku memang tidak pernah bertemu banyak manusia. Tetapi dari jumlah yang sedikit itu, semuanya rumit. Semua dari mereka. Tukang Kredit, Juru Ketik, Tukang Gali Kubur, Tukang Jahit, Pak Polisi, Orang Kaya, Orang Melarat, Pelukis, Maling, Laki-laki, Perempuan, semuanya rumit.

***

Pagi itu Tuan bangun, bersiap, berak, cuci muka, sarapan, dan membuka pintu pada waktu yang tepat. Seperti biasanya, tidak lebih dan tidak kurang. Tuan akan pulang dan memasak dan tidur, dan bangun lagi, dan kembali berada di pasar untuk bekerja dan belanja. Segalanya adalah rutin, sampai saat Tuan menemukan ia dalam keadaan yang kurang baik.

Awalnya kukira ia mati. Ia tergeletak diam setengah meter di depan pintu. Tuan mengambil dia dan menemukan luka di sayap kirinya. Seekor parkit warna jingga Tuan temukan tergeletak tak sadarkan diri di ambang pintu. Tidak lama, parkit itu menjerit pahit. Tuan meninggalkan kotak solnya, masuk ke rumah dan kembali dengan kotak putih bergambar palang merah. Kukira inilah awalnya, kenyataan bahwa perjalanan hidup Tuan bisa juga berbelok dari rutin secara tiba-tiba.

***

Setelah Tuan memberinya Betadine dan makanan, Tuan menggunakan waktu dan jarumnya untuk menjahit kulit sepatu menjadi kotak sarang. Guratan di sekitar bibir Tuan tampak menjauh dan mengembang satu sama lain. Seingatku, itu yang manusia sebut senyuman. Tuan meletakkan ia ke kotak sarang yang tampak hangat itu. Ia tampak tak kalah senang dari Tuan.

Sejak hari itu, saban pagi Tuan memberinya makan dan membersihkan kotak sarangnya. Setelah seminggu, Tuan kembali bekerja seperti biasanya. Setelah ia dan Tuan sama-sama tinggal di dalam aku, Tuan selalu pulang lebih awal dari biasanya. Tuan melakukan banyak hal dengan ia. Tuan makan bersama ia, Tuan mendengarkan dangdut bersama ia, Tuan menenggak tuak saat ia minum air biasa.

Dalam tidurnya setelah mabuk, pernah Tuan bercerita tentang betapa bahagianya Tuan dapat menemukan ia di pagi itu. Tuan ingin mengajaknya minum-minum dan bergoyang, tapi tentu ia tidak akan melakukan itu karena ia adalah parkit, sama seperti jika Tuan mengajakku bergoyang dan minum-minum—meski tidak pernah—maka aku tidak bisa karena aku adalah rumah. Seekor parkit dan sebuah rumah tidak seharusnya bergoyang dan minum-minum. Apalagi ia sedang terluka, dan aku hanyalah rumah reyot. Seekor parkit yang terluka dan sebuah rumah yang reyot tidak seharusnya bergoyang dan minum-minum. Setelah cerita itu, yang kuingat hanyalah Tuan tidur dalam mabuk, atau mungkin sebaliknya. Tapi Tuan tampaknya bahagia.

***

Pada kali kedua Tuan memberikan Betadine pada ia, dengan ragu dan cemas, Tuan menanyakan beberapa hal pada ia. Tuan bertanya nama, asal, dan bagaimana pagi itu ia bisa terluka. Tuan mendekatkan paruh ia pada telinganya. Tuan mengangguk kecil, dan ia hanya menoleh ke kanan dan ke kiri dengan mata besarnya yang cerlang.

Tuan tersenyum sedikit, sebelum mengembalikan ia dan berjalan keluar rumah membawa botol minumannya. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Tuan ketika itu. Barulah setelah agak lama Tuan bercerita dalam mimpinya, bahwa Tuan merasa bersalah telah merumahkan ia pada aku, saat kenyataannya ia telah memiliki rumah di suatu tempat yang tak Tuan tahu.

Pada malam setelah pertama kalinya kulihat Tuan bersedih, Tuan bangun kemudian duduk di tubir ranjang. Tuan tertunduk lesu. Matanya berair dan Tuan jadi ingusan meski tidak sedang pilek.

***

Setelah beberapa lama, ia mulai kembali belajar terbang, berkeliling di dalam aku. Ia mulai lancar mengepak sayap-sayap kecilnya dan Tuan tampak lebih bahagia dari siapa pun di dunia ini. Setelah lukanya tampak sudah benar-benar membaik, Tuan membawanya keluar dari aku dan membuka telapak tangannya.

Aku dapat menyaksikan dari kaca-kaca jendelaku, ia berdiri di atas telapak tangan Tuan yang terbuka. Ia memiringkan kepalanya sebentar, kemudian mulai mengepakkan sayapnya dan menghilang di antara awan-awan.

Sambil menyaksikan ia pulang entah ke mana, Tuan menutup kedua telapak tangannya. Tuan masuk dan mengunci pintuku. Sejak hari itu, tak pernah lagi kulihat Tuan membuka pintuku seperti yang Tuan lakukan dulu.

***

Dalam tubuhku yang kini tak pernah lagi dibuka untuk siapa pun, Tuan masih minum, makan, dan merokok, dan bernyanyi, dan mendengarkan dangdut seperti biasanya. Tapi Tuan tidak ingin lagi keluar rumah. Tuan tidak pernah lagi bercerita dalam tidurnya tentang keinginannya untuk pergi ke tempat yang jauh. Tuan ditakdirkan untuk menjaga rumahnya, parkit ditakdirkan untuk terbang, dan rumah ditakdirkan untuk dirawat, begitulah yang Tuan katakan dalam igauannya.

Pada sebuah malam di akhir tahun, pertama kalinya kulihat Tuan berjingkat keluar dari kamar. Tuan membuka kotak solnya, kemudian mengambil benang dan jarum yang paling besar. Tuan membuka kemejanya dan tampak sebuah lubang menganga di dada kirinya. Tuan mulai menjahit lubang itu seorang diri. Tuan tampak kesakitan dan tersiksa, tapi Tuan tetap melakukannya.

Setelah beberapa kali aku melihat Tuan melakukan itu, baru kutahu bahwa luka Tuan akan kembali terbuka, menunggu untuk dijahit dan kembali terbuka dengan sendirinya. Tuan bercerita tentang hal ini di kemudian hari. “Aku semestinya bahagia,” kata Tuan mengakhiri ceritanya. Tak banyak yang kupahami tentu saja.

Sejujurnya aku merasa bersalah karena tidak terlalu memahami apa yang Tuan hadapi. Selama ini aku hanya menyaksikan Tuan melakukan yang biasa Tuan lakukan, dan hal tidak biasa yang menjadi biasa Tuan lakukan. Tuan masih sering bergoyang dan bernyanyi dangdut, minum-minum, dan merokok, meski kutahu ketika malam datang Tuan akan kembali membuka kotak solnya dan mulai menjahit lagi. Ketika pagi datang, Tuan sudah rapi dengan sepatu dan kemeja, seakan tak boleh ada yang tahu terdapat luka yang akan terus mengaga di dadanya.

Maaf bila aku terlalu gegabah menduga, tetapi tampaknya Tuan memang tidak bisa sepenuhnya bahagia. Meski seandainya atapku tak bocor, dan dindingku kokoh, dan lantaiku sempurna bersih. Tak peduli seberapa kuat aku mencoba membuat hangat ruang-ruang dalam diriku, Tuan tetap merasa gelisah dan tak nyaman. Isi hatinya begitu rumit layaknya rumah dengan ratusan pintu di dalamnya. Barangkali orang paling bodoh sekalipun akan langsung bisa memahami setiap ruang dalam diriku. Namun, hati Tuan, tak seorang pun bisa memahaminya.

Pelan-pelan, dari Tuan aku mulai bisa memahami jalan pikiran manusia. Mereka bisa memilih dengan siapa hidup bersama. Namun, tak seorang pun mampu menentukan arah keinginan hatinya sendiri.

Pada suatu pagi ketika kubuka jendelaku, tak kudengar suara batuk atau derap langkah laki-laki itu di atas lantaiku yang reyot. Tuan telah tak ada di kamarnya. Dia pergi tak membawa apa-apa, termasuk meninggalkan kotak solnya. Hari demi hari berlalu, minggu berganti bulan, tahun pun telah tak lagi terhitung jumlahnya. Halaman depan telah digerayangi alang-alang, daun rambat tumbuh masuk lewat ventilasi, kaca buram disepuh debu kering yang terbawa angin pancaroba.

Dalam kesadaranku yang kian ringkih, kupastikan bahwa aku masih ingat kisah-kisah itu dalam kepalaku. Tentang baik dan buruk yang terperangkap dalam satu tubuh. Tentang rasa gelisah dan keinginan untuk terbang jauh.

Kadang ada orang datang untuk mengambil gambar atau sekadar berteduh. Kadang ada seekor rusa liar mencari makan di sekitarku. Kadang ada buronan yang bersembunyi di dalamku. Tapi selalu kukatakan pada mereka tentang kisah itu. Seperti yang kali ini kuceritakan kepadamu. Selalu kukatakan tentang Tuan pemilik rumah ini kepada mereka yang datang sekadar singgah. Selalu kukatakan bahwa aku seharusnya bahagia.

 

Tanjung Karang, September 2021

Ghufroni An'ars
Ghufroni An'ars Redaksi Omong-Omong

2 Replies to “Tuan Rumah”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email