Aku diam sebentar sebelum melewati ambang pintu, melihat bagaimana Tuhan memperlakukanku secara tidak adil. Rasanya ranjang berkarat yang sering berbunyi “krek” itu, tidak seharusnya menemani masa pensiunku. Tembok lembab dengan beberapa sudut berjamur, dan seekor induk laba-laba yang menebarkan jaringan benang di sekitar bola lampu di langit-langit kamarku, ah, semua ini seharusnya tidak sebanding dengan perjuanganku membuat perdamaian.
“Aku harus menemukan keadilan.”
Aku meraih mantel dan tongkatku lalu pergi meninggalkan kamar, entah di mana langkahku akan berhenti, aku tiba-tiba merasa perlu berjalan saja pagi ini.
Tidak jauh dari tempat tinggalku, ada sebuah rumah jahit milik pria tua yang tidak kuketahui namanya. Papan kayu bertuliskan “Penjahit Sekawan” adalah satu-satunya petunjuk yang digantungkan di etalase bangunan berukuran mungil itu.
“Kawan!”
“Kawan!” sahut pria tua itu.
“Aku sedang dalam masalah pagi ini.”
“Apa itu, kawan?”
“Aku mau mencari keadilan, semacam gerakan revolusi baru, tapi tak punya kawan untuk memulainya.”
“Revolusi seperti apa, kawan?”
Pria itu mulai memastikan jaraknya denganku. Padahal sebelumnya, ia sampai melepas kesibukannya cuma untuk menyambutku.
“Mencari keadilan!”
“Bagaimana caranya, kawan?”
Pertanyaannya semakin terkesan sekadarnya saja.
“Kita harus mencari Tuhan. Bukankah dia sumber keadilan? Kita harus mendapatkan hak-hak keadilan itu darinya.”
“Carilah, kawan, carilah. Aku yakin kau bisa menemukannya.”
Pria itu kembali berhadapan dengan mesin jahit, lalu membiarkanku berdiri tanpa memberikan semacam solusi atau apa pun.
“Kau tak ingin membantuku, kawan?”
“Kawan, lihatlah tumpukan kain di sebelahmu itu. Semuanya harus kukerjakan sesegera mungkin. Intinya aku tak punya waktu. Dan, ah, sesekali periksa saku-saku di pakaianmu, Tuhan kerap kali bersembunyi seperti cadangan kancing.”
Di dalam saku mantelku, cuma ada uang yang jumlahnya bahkan tidak cukup untuk membeli sepotong apel, batinku.
Setelah meninggalkan rumah jahit itu, secara kebetulan aku bertemu dengan teman lamaku yang juga seorang pensiunan militer. Ia sedang duduk di sebuah bangku besi sambil memberikan kacang pada sejumlah gagak liar yang tampak akrab dengannya. Kegiatan yang terlalu sering dilakukan oleh banyak orang tua di Kota Simul.
“Kamerad!”
“Kamerad!” ia menyahut, dan berhenti sejenak dari kesibukannya.
“Aku sedang bersedih pagi ini.”
Aku duduk di dekatnya, beberapa gagak terbang rendah seakan-akan sedang memastikan jaraknya denganku.
“Apakah keluargamu tidak mengunjungimu, kamerad?”
“Entahlah, sepertinya mereka sudah lupa.”
“Bagaimana dengan tetangga kamarmu yang kau anggap saudaramu itu?”
“Aku bahkan tidak ingat siapa yang kau maksud, kamar-kamar di rumah susun itu selalu sepi setiap hari.”
“Apa yang bisa kubantu, kamerad?”
Ia tampak ikut merasakan kesedihanku.
“Aku merasa dunia ini tidak adil, kamerad. Sesudah perang, mestinya aku bisa menikah dengan perempuan cantik dan memiliki anak-anak yang lucu. Begitulah yang kubayangkan dulu. Tapi bekas api di wajahku, dan kaki kanan yang teramputasi ini, membuatku menjadi pria tua yang bodoh.”
“Aku mengerti maksudmu. Tapi bagaimana denganku? Aku hanya bisa memberikan gagak-gagak ini makanan menggunakan tangan kiriku saja. Beruntung, aku sudah menikah jauh sebelum perang. Ketika aku pulang dengan keadaan cacat, istriku sudah mempersiapkan dirinya. Meski saat ini kami miskin. Kuharap ia tak menyesal atas keputusannya bersamaku.”
Sebentar kemudian aku sudah berencana meninggalkannya, aku mendadak muak karena ceritanya lebih seperti membanding-bandingkan nasib kami.
“Omong-omong, apa yang bisa kubantu?” tanyanya lagi.
“Lupakan, kamerad.”
Sekitar semeter dari tempat dudukku tadi, aku ingat harus menanyakan sesuatu padanya.
“Kamerad, apakah Tuhan telah mati?”
“Kamerad, jaga bicaramu!”
“Selama ini aku tidak pernah menemukannya di kamarku. Kau paham maksudku?”
Temanku itu hanya melepas senyum yang mirip lengkungan cemeti, dengan tatapan agak ganjil, lalu berbicara lagi.
“Tuhan bagaikan medan perang, kau bisa mendapat kemenangan bila mengenalinya dengan baik.”
Lalu lintas kota begitu ramai pagi ini. Kendaraan-kendaraan melesat sesuai tujuannya masing-masing. Sesaat aku berharap satu atau dua orang di dalam kendaraan-kendaraan itu mau berhenti untuk membantuku.
Aku masuk ke sebuah rumah baca, dan mengambil koran yang baru saja diantar loper. Perempuan muda yang menjaga rumah baca itu sedang menikmati sarapannya. Aku sempat berpikir mau minta sepotong roti hangat di tangannya itu.
“Anakku!”
Perempuan itu menengok ke sekelilingnya, lalu menunjuk kepalanya sendiri.
“Kau memanggilku, Tuan?”
“Ya!”
“Kau sepertinya bersemangat sekali pagi ini, Bapa. Selamat membaca.”
“Dan kau sepertinya juga begitu, meski hanya melihat pemandangan yang sama setiap hari. Apa kau bersahabat dengan kutu-kutu, anakku?”
“Hahaha!”
Perempuan itu terkejut mendengar perkataanku. Reaksinya seperti orang yang sedang mendengar lelucon paling lucu di dunia.
“Sebenarnya aku mau menanyakan sesuatu, anakku. Dunia tidak begitu adil, dan aku sedang mencari Tuhan untuk menuntut hak-hak yang semestinya kudapatkan darinya. Aku butuh satu teman, atau dua atau boleh juga lebih, supaya Tuhan tahu, bahwa beberapa hambanya sedang membutuhkan pertolongan. Kau paham maksud rencanaku?”
“Ke mana kau mau mencarinya, Bapa?”
Dari cara bicaranya, ia jelas berusaha berlagak akrab, tapi menurutku gagal dan malah lebih terlihat seperti bocah amoral.
“Kalau perlu sampai ke ujung dunia.”
“Benarkah?”
“Aku berani bersumpah!”
“Kau bersumpah untuk Tuhan yang mana?” tanyanya.
“Memangnya ada Tuhan lagi selain yang kucari?”
Aku meninggalkan perempuan itu yang seandainya saja kulanjutkan ceramahku, mungkin saja ia akan sungguh-sungguh mengikutiku mencari Tuhan sampai ke ujung dunia. Tapi sayang, aku tak begitu nyaman bekerjasama dengan bocah amoral.
“Tuan pencari Tuhan!”
Aku tersipu mendengar caranya memanggilku. Kurasa bila ia agak memaksa, aku bisa mempertimbangkan untuk menjadikannya pengikutku.
“Kau tidak boleh mencuri koran dari sini, kembalikan!”
Aku merobek-robek koran itu di depannya, lalu berlari menjauh menggunakan tongkatku.
“Kejarlah aku kalau kau bisa!”
“Hahaha!”
Tawa perempuan itu masih terdengar sampai aku berbelok di persimpangan.
“Kau baru saja merobeknya, kau merobek salah satu Tuhan di dunia ini!” ia berteriak dari jauh, dan ledakan tawanya yang kurang ajar ditelan suara lalu-lintas.
Setelah melewati toko piringan hitam, kedai minuman, klub karaoke, panti pijat, aku masih bertanya-tanya: “Apakah ada Tuhan di tempat-tempat ini?” sampai langkahku pun berhenti di markas militer tempatku dulu bekerja. Sejumlah prajurit muda terlihat sedang bersiap-siap melakukan latihan. Aku mulanya tak berencana sampai ke tempat ini, namun semuanya seakan sudah diatur tanpa kusadari. “Mungkin Tuhan yang melakukannya,” pikirku.
“Senior!”
Dua prajurit yang berjaga di gerbang menyapaku dengan akrab.
“Aku seorang pensiunan, bolehkah aku masuk untuk melihat-lihat?”
“Kau tak perlu mengatakannya, itu sudah cukup jelas.”
Salah satu dari mereka membukakan gerbang, dan satu orang lagi cekikikan di tempat duduknya. Pipi mereka merah dengan tatapan yang begitu kuyu, dan bau alkohol di mulut mereka terlalu tajam.
Aku mengenang masa-masa mudaku. Tidak banyak yang berubah dari tempat ini. Kalau pun ada, itu adalah letusan pistol yang terdengar lebih modern, ditambah boneka peraga yang sudah koyak terkena peluru.
“Kamerad, aku sedang mencari Tuhan yang menyembunyikan keadilan!”
Aku berteriak dari ujung lapangan tempat para prajurit berlatih. Namun tak satu pun dari mereka yang menghiraukan kedatanganku. “Mungkin peredam suara di telinga mereka membuat mereka sulit mendengar ucapanku.”
Aku berusaha mendekati posisi mereka membidik, namun lapangan yang berbatu membuat tongkatku kesulitan mencari tumpuan.
“Kamerad, bisakah kalian membantuku?”
Aku terlambat menyadari bahwa tempatku berdiri berada tidak jauh dari boneka peraga yang menjadi bidikan para prajurit.
“Kamerad, tahan tembakan kalian. Tahan!”
Tongkatku akhirnya mendapatkan tumpuan yang bagus, dan tepat saat aku mengayunkan kaki, seekor burung gagak berkaok-kaok di langit, mengingatkanku untuk menanyakan sesuatu pada para prajurit muda itu. Tetapi sebutir peluru tiba-tiba sudah menembus jantungku.***
(2021)