Buruh di Semarang dan kerja paruh waktu sebagai editor di penerbit Semut Api. Bukunya yang sudah terbit berupa kumcer Sekelompok Babi dan Rumah-Rumah (Semut Api, 2021).

Tragedi Lagi dan Puisi Lainnya

Farras Pradana

1 min read

Kamar

kamar adalah benteng terakhir sebelum semuanya terenggut
sebab itu yang mampu kita miliki
yang dapat kita bayar dengan gaji bulanan

kamar yang mengizinkan:
semua kotor boleh dibiarkan dan disimpan
saat cekik dan maut melingkar di batang leher
dan sesak boleh memenuhi paru-paru dan dada
membiarkan tidur atau mati, menyala dengan tenang
menentramkan untuk menaksir takdir yang kusut

kala keluar kamar: waras menyusut
yang setiap hari harus berterapi di papan postingan
melompatkan intrik-intrik mencekik ke lini masa
agar hilang terdisrupsi arus tranding
terseret arus keluar dari batok kepala

kamar mungkin menyempit
namun, tidak berpaling dari penghuninya
selalu menerima kepulangan

Tragedi Kontemporer

tragedi kontemporer hari ini dimulai
nasib anak-cucu Adam:
gawai jatuh di jalan
terlindas ban-ban kendaraan
layar gawai pecah saat kutemukan
tampilannya hancur, garis-garis pelangi buram

aku lega,
pesanku yang tak dibalas itu
tak pernah kulihat lagi
aku terbebas sejenak

sebuah nota merah muda
bertuliskan angka-angka
daftar harga
kuterima
“Tidak langsung jadi,” katanya

Tragedi Lagi

tragedi lagi sore ini
kebenaran: tukang servis abal-abal
dan layar imitasi
yang buka di lantai bawah, ruko depan
pedahal baru seminggu direparasi
gawai sudah hancur lagi

susah untuk istigfar
hanya,
marah-marah, sumpah serapah dalam hati
belum ada setengah bulan
gaji harus disunat
potong, potong

gaji di rekening tinggal tak seberapa
apalagi sampai tanggal 25

bagaimana aku kenyang setiap hari?

“Mana dulu seribunya?”

baling-baling di kepala
tak bisa buatku terbang
tak dapat bawaku ke angkasa luar
menjauh dari Bumi yang padat
“Kurang eksplorasi apa lagi ini?”

“Maaf, cuma kurang seribu,” kata tukang parkir minimarket
tak beranjak, kutunjuk tulisan di tembok:
“Parkir gratis, jika ada yang membantu ucapkan terima kasih.”

“Terima kasih,” kataku.
tetap tidak boleh beranjak dari Bumi
sebelum bayar sisa seribu

baling-balingku sudah berputar
tinggal tarik dan lepas:
pekerjaan, kemacetan, polusi, politik, ritus
kehidupan ala Sisifus
tapi:
“Mana dulu seribunya?”

Tanggal 25

gajiku hampir habis
tempe dan sabunku sama-sama makin tipis
dengan apa lagi kucipta kesegaran?
sisa air hanya tinggal di tumbler
untuk tiga kali tenggak
bagaimana ini?

aku datang ke tukang fotokopi pinggir jalan
kuminta ia memfotokopi kalender agar setiap hari menjadi tanggal gajian
dia bilang, “Oke. Tunggu bentar.”
jadilah setiap hari menjadi tanggal 25
tapi tetap ada Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu
tetap ada tanggal merah, hari-hari besar umat beragama dan nasional
aku tetap ingin merayakan peribadahan
walau dalam kamar kosan
lalu tiduran

tanggal 25
menyerbu swalayan
aku beli kesegaran seharga total belanjaan
“Terima kasih,” kataku bukan kepada kasir,
tetapi kepada abang tukang fotokopi

*****

Editor: Moch Aldy MA

Farras Pradana
Farras Pradana Buruh di Semarang dan kerja paruh waktu sebagai editor di penerbit Semut Api. Bukunya yang sudah terbit berupa kumcer Sekelompok Babi dan Rumah-Rumah (Semut Api, 2021).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email