TONE SETENGAH MINOR
—dibayang-bayangi lagu Balada Harian – Silampukau
dari saku celana itu
hari-hari jatuh satu-satu
jatuh dengan layu
dan jahitan yang sobek
segeralah tambal, segeralah hadang
dan ambillah buku
untuk tidur malammu
untuk mimpi hidup.
dan kesepian. sendirian.
dan kalender yang bepergian.
ingat! ini kenyataan.
hari-hari gugur, berguguran
menolak hidupmu untuk tegar dan bertahan
untuk sedikit merasakan kenyataan.
(2024)
–
DINGIN DAN BATU KALI
dingin dan batu kali.
perempuanku, lihatlah
ada gulma di tanganku untukmu
serta hijau kebun di bibirku
—ikan-ikan di sungai darahku—
perempuanku
mengertilah, dan
tetaplah sama.
ada puisi di bibirku, kecuplah
dan bintang
dan malam di tubuhku
dan cinta yang ala kadarnya.
perempuanku, di daun-daun jatuh
di keningku untukmu
serta di suara anak-anak itu
dan di dalam dan luar diriku
ada surga, ada neraka
suatu yang alamiah, dan keadaan ini
…. ingat dan jagalah.
telah kusediakan sungai dan pepohonan
dan dipan, dan keabadian
di jiwamu, di jiwaku
langit dan tanah
dunia, dan semuanya
rumah dan anak-anak, dan senja
o, perempuanku, ingatlah
ini terlampir, ini jelas adanya.
dingin dan batu kali.
(2024)
–
APA MESTI HARI INI JADI KENANGAN?
—dibayang-bayangi film The Eclipse
apa mesti hari ini jadi kenangan
dan kata-kata sembrono ngumpet malu-malu
di mulutmu, di pikiranku
menjadi puisi
yang sama-sama pernah kuikrarkan dahulu?
begitu gampang kita lupakan waktu
rimba ingatan menjadi biru
terpampang di tembok kamarku, kamarmu
tanpa cahaya
tanpa pernah ingat cinta kita dahulu
apa mesti hari ini jadi kenangan, katamu
di ujung ciuman yang sama-sama menahan nafsu
dan secara malu-malu
kaulepaskan bibirku dari bibirmu
apa mesti
ingatan jadi jalan raya
yang panjang tanpa ada ujungnya
menelantarkan gairah cinta kita
lalu mobil-mobil di jalan raya
berhamburan
bertabrakan
ke tempat yang saat ini kita lupa
apa itu makna, apa itu cinta
dan apa itu putus asa
apa mesti hari ini jadi kenangan
ketika aku gagal mempertahankan cintaku
dan luputkah aku darimu?
apa mesti hari ini jadi kenangan
karena kau berhasil pergi tinggalkan harapan
di kota, di rumah, di jiwa
di peta hidup yang sekarang tak punya makna?
(2024)
–
KAU TELAH
kautelah
nyalakan api
sedang nyala api
kaupadamkan kini
eh buset!
kautelah
menjadi api
sedang api
kini tak menyala lagi
kautelah
menjadi apa
sedang apa
kini tak punya makna
tak punya gairah
tak punya kita
dan
kautelah
padamkan api
sedang nyala api
kini kunyalakan sendiri
—astaga!
(2023)
*****
Editor: Moch Aldy MA