Jepang adalah salah satu negara yang memiliki daya tarik dari kultur popnya. Mulai dari anime, manga, dorama, sampai grup idola yang berbeda dibanding grup Korea. Jepang pernah menjadi kiblat pendatang pada tahun 90-an dan mungkin masih berlangsung sampai sekarang. Gemerlap Jepang dari sudut pandang pendatang barangkali hanya tercermin dari situasi Tokyo. Salah satu kota paling sibuk di Jepang. Tempat semua orang berkumpul mengadu nasib dan mewujudkan mimpi. Namun, benarkah kota di bawah gemerlap neon itu selalu tentang harapan dan impian?
Mimpi utopis pendatang ditepis oleh serial Tokyo Vice yang berasal dari memoir Jake Adelstein, seorang jurnalis gaijin (orang luar Jepang) di salah satu surat kabar terbesar Jepang, Yomiori Shimbun. Di dalam serial yang tayang melalui jaringan HBO Max dan jaringan WOWOW di Jepang, nama surat kabar tersebut diubah menjadi Meicho Shimbun. Jake Adelstein sendiri diperankan oleh Ansel Elgort, jurnalis gaijin yang berasal dari Amerika. Ia diceritakan mengikuti seleksi ketat untuk bergabung dengan Meicho Shimbun.
Pada awalnya, Jake mengerjakan soal seleksi dengan serius, tapi ia baru sadar bahwa ada satu halaman yang tidak terisi. Hal itu malah mengantarnya pada keberhasilan memasuki Meicho Shimbun pada saat sesi wawancara dengan kepala surat kabar tersebut. Salah satu direksi bertanya:
“Anda tidak mengisi satu halaman belakang ini, tapi yang membuat kami memanggil Anda adalah karena sebagai gaijin, bahasa Jepang Anda bagus sekali. Dan meskipun ada bagian yang terlewat, skormu tetap tinggi.”
Setelah wawancara itu Jake menjadi reporter junior dan bergabung dengan divisi police beat yang mengerjakan berita-berita dengan ngepos di kantor polisi. Awalnya Jake semangat, tapi kemudian semangatnya patah karena sekali lagi sebagai gaijin, langkahnya terseok-seok. Sentimen rasial terhadap orang asing masih cukup tinggi di Jepang, terlebih lagi cerita ini diangkat pada masa baburu keiki atau bubble economy yang juga dikenal sebagai The Lost Decade di Jepang. Frustrasi nasional karena inflasi menyebabkan tingkat kemiskinan, pengangguran, dan kejahatan meningkat. Harga properti melambung dan pasar ekonomi Jepang mengalami stagnansi. Hal itu pula yang menyebabkan sentimen rasial terjadi, karena para penganggur menganggap lapangan pekerjaan mereka dicuri oleh gaijin. Seperti salah satu komentar direksi yang mewawancarai Jake:
“Kau orang Yahudi, bukan? Banyak pegawai di sini mempercayai bahwa Yahudi mengontrol ekonomi dunia. Bagaimana pendapatmu?”
Tentu saja Jake hanya tersenyum. Hidup di Tokyo, kota paling mahal di seluruh dunia, dengan uang jajan kelas mahasiswa, dan hidup serba kurang, mana mungkin ia termasuk salah satu Yahudi yang mengontrol ekonomi dunia? Hal ini menggambarkan bahwa stereotipe yang diberikan pada para pendatang non-Jepang adalah: gaijin merupakan orang yang punya kuasa, hidup berkecukupan, datang ke Tokyo untuk berlibur. Namun, pada kenyataannya, banyak juga yang pergi ke Tokyo demi lapangan pekerjaan dan sebuah mimpi.
Gaijin Sudah Ada Sejak Era Samurai
Penekanan pada kata-kata gaijin terus berulang dalam serial Tokyo Vice. Fenomena pendatang dan pekerja dari luar Jepang sebetulnya memiliki sejarah panjang. William Adams, seorang pilot berkebangsaan Inggris disinyalir adalah samurai gaijin pertama di Jepang. Pada saat ia berlayar dan terombang-ambing sampai nyaris sekarat, ia ditolong pendeta Portugis. Namun, karena dikira perompak, ia ditahan dan hendak dieksekusi.
Beruntung sekali William Adams bertemu tuan tanah Mikawa yang kemudian menjadi shogun pertama yang mengubah sistem pengaruh tuan tanah (daimyo) menjadi sistem shogunate, yaitu Tokugawa Ieyasu. Tokugawa sangat tertarik pada ilmu perkapalan yang William Adams ketahui. Shogun pertama Jepang ini lantas berdiskusi dan mempelajari ilmu perkapalan untuk mengetahui apa yang ada di luar pulau sekecil Jepang. William Adams bahkan diberikan nama Miura Anjin dan diberikan dua bilah pedang sebagai bentuk penghargaan bagi para samurai. Berkat kedatangan William Adams, kerja sama internasional pertama terjalin antara Jepang dengan Inggris. William Adams juga membantu para shogun untuk mengurangi pengaruh misionaris Katolik yang cukup masif pada masa itu, bahkan menjadi penerjemah bagi shogun.
Namun, seperti yang sering tergambar dalam berbagai kultur populer berdasarkan era shogunate, ada saja kelompok yang tidak menyukai para shogun berhubungan dengan gaijin alias foreigner. Kelompok nasionalis radikal Jepang yang setia pada pemerintahan shogunate menganggap kerja sama dengan gaijin bisa menjadi bentuk awal dari penguasaan pengaruh Jepang sebagai Negara Matahari Terbit. Oleh karenanya, istilah gaijin hingga saat ini, mulai mengalami peyorasi dari sekadar definisi harafiahnya, yaitu gai (luar) dan jin (orang). Gaijin sering digunakan untuk menyebutkan dengan sadar dan memberikan penegasan bahwa kau adalah orang luar.
Fenomena Gaijin yang Membatasi Ruang Gerak dan Operasional
Peyorasi makna gaijin juga tergambar dalam serial Tokyo Vice secara masif. Sebab, serial ini diceritakan dari sudut pandang seorang kulit putih di Jepang, penonton akan memahami apa yang dirasakan oleh para pendatang di kota gemerlap neon, Tokyo. Jake mengalami kesulitan dalam mencari informasi untuk liputannya. Saat ia mengenal polisi bernama Miyamoto (Hideaki Ito), ia malah mengalami penipuan seperti pada fenomena gaijin hunter yang marak saat ini. Anggapan bahwa orang kulit putih pasti memiliki uang, sering disematkan pada gaijin di Jepang. Akibatnya, Jake mengalami permasalahan ekonomi hanya untuk mendapatkan informasi dari Miyamoto.
Pergeseran makna gaijin juga sering digunakan oleh Baku (Kōsuke Toyohara), kepala redaksi divisi tempat Jake meliput. Setiap kali marah, ia selalu menekankan gaijin. Baku juga kerap mengaitkan “kepayahan” Jake adalah karena ia seorang gaijin. Baku tidak melihat kebenaran yang hendak disampaikan Jake dalam beritanya. Ia tidak ingin menerima kenyataan bahwa Jake memang cakap dan memiliki insting jurnalis. Satu-satunya yang mendengar penemuan tersebut hanyalah sub-capt di divisi police beat, yaitu Emi Maruyama (Rinko Kikuchi). Namun, menjelang pertengahan cerita, penonton akan mengetahui bahwa meskipun masih sama-sama Asia, Emi juga adalah seorang gaijin dari Korea Selatan. Hal ini tidak ada bedanya, mengingat sejarah panjang Jepang dan Korea pada Perang Dunia II yang memunculkan sentimen rasial antara kedua negara tersebut hingga saat ini.
Di awal serial, Jake pertama kali datang ke TKP dari pemantauan police beat dan menemukan seorang pria normal tertusuk katana pendek. Ia seperti melakukan seppuku, atau bunuh diri dalam rangka menjaga kehormatan. Karena hal itu aneh, ia hendak membongkarnya dan insting jurnalisnya mengatakan bahwa kasus tersebut adalah pembunuhan. Seolah mengalami gegar budaya, Jake harus menerima kenyataan bahwa kepolisian Jepang tidak akan mengungkit kasus bunuh diri sebagai pembunuhan, tak peduli fakta apa yang ada di baliknya. Hal tersebut dilakukan karena kasus pembunuhan bisa mengurangi angka atau kuota penyelesaian kasus yang berakibat pada akreditasi institusi di bawah Kepolisian Tokyo.
Permasalahan operasional tak hanya terjadi pada orang yang memiliki visa kerja dan slip gaji tetap seperti Jake saja. Lebih parah lagi, permasalahan tersebut dirasakan pula oleh gaijin-onna, perempuan foreigner bernama Samantha yang diperankan oleh Rachel Keller. Meskipun memiliki uang dan visa kerja, Samantha tidak bisa serta-merta menyewa gedung di Jepang. Ada serangkaian birokrasi yang harus dipatuhi sebelum seorang pendatang bisa menyewa gedung untuk tempat usaha. Misalnya, memiliki pendapatan tetap, kontak warga Jepang yang bisa dihubungi sebagai guarantor, serta memiliki asuransi dan lainnya. Hal itu tak mungkin terjadi, karena Samantha saja hanya bekerja di sebuah kelab. Kenalannya, yakuza bernama Sato (Sho Kasamatsu) menambah stigma negatif pada mereka di kalangan warga Jepang.
Serial Noir, Gemerlap Neon
Di tengah maraknya dorama Jepang yang menawarkan mimpi-mimpi utopis, Tokyo Vice menjadi pendobrak pemikiran tersebut.
Kejahatan masif terjadi di Jepang, tak jauh berbeda seperti di kawasan-kawasan disorganized Amerika. Namun, bedanya, polisi Jepang tak pernah menganggap kejahatan itu ada. Antara operasional kepolisian dan yakuza memiliki code of conduct tersendiri yang dihormati oleh kedua belah pihak. Itulah mengapa, meskipun kejahatan masif terjadi, ada pemeliharaan keseimbangan yang dilakukan antara pihak yakuza dengan kepolisian.
Para tokoh dalam Tokyo Vice memiliki dimensi yang tak sekadar baik dan buruk. Mereka semua berada dalam ranah abu-abu dan memiliki ambisi serta mimpi sendiri di bawah gemerlap neon kota Tokyo. Sebut saja polisi bernama Katagiri (Ken Watanabe) yang akhirnya bekerja sama dengan Jake, karena ia mendapati Jake tengah memotret pengrusakan yang dilakukan klan Tozawa–bukan yakuza Tokyo, melainkan berasal dari Kansai. Pemeliharaan keseimbangan yang selama ini dijaga oleh Katagiri, terancam rusak karena kehadiran kelompok yakuza yang berasal dari luar Tokyo. Peace maintenance bisa selesai jika akhirnya Tozawa menyerang kawasan pegangan klan Ishida dari Tokyo.
Meskipun dianggap bekerja sama dengan yakuza, sebenarnya Katagiri tidak berada di sisi yang salah. Ia hanya melakukan tugas untuk menjaga ketertiban komunitas atau masyarakat, dengan cara menjadi jembatan antara kedua pihak yakuza. Oleh karenanya, karakter Katagiri adalah salah satu karakter yang abu-abu. Dan Jake pun mengalami pergeseran sikap setelah mengenal Katagiri. Miyamoto mengatakan bahwa, “Jangan ‘bergandengan tangan’ dengan yakuza, jika kau ingin kembali ke dunia normal,” karena mungkin memang hal itu bisa memberatkan Jake di kemudian hari. Namun, pada akhirnya ia malah berkawan dengan Sato, sosok yakuza yang memiliki permasalahan dengan menembak aniki–yang dianggap kakak sendiri dalam kelompok yakuza, atau tetap setia pada oyabun–pimpinan yakuza yang ia ikuti.
Dalam sebuah kota penuh mimpi, selalu ada sisi gelap, seperti sisi koin yang lain, yang terlalu nyata untuk diakui keburukannya. Maka, mungkin satu-satunya cara untuk melihat hal itu dengan lebih utuh adalah dengan meminjam kaca mata orang asing.
***
Editor: Ghufroni An’ars