Tipsani

Betuah Lepus

4 min read

Saat itu aku kurang mengerti kenapa Ayah dimandikan oleh orang lain, pedahal kemarin kami mandi bersama. Ia sempat mengibaskan pantatnya di depan mukaku. Hari ini wajahnya pucat sekali dan tubuhnya dibalut kain. Orang-orang berdatangan menyesaki rumah kecil kami, membawa bakul berisi beras beberapa canting.

Ibu hanya bisa menangis, meratapi, dan menggoyang-goyang tubuh Ayah, seakan tubuh itu akan merespons seperti biasa: bangkit lalu menggerutu karena tidurnya diganggu. Nyatanya tidak, Ayah tidak membalas, Ayah tidak seperti kemarin. Ayah masih saja terlelap jauh dalam mimpinya yang panjang. Andai saja orang itu tidak kubiarkan masuk rumah, mungkin ayahku tidak akan seperti Snow White.

***

Bel berdering dari pengeras suara, menandakan sudah pukul duabelas siang. Setiap pintu kelas satu per satu mulai dibuka. Dari bilik itu perlahan menumpahkan anak-anak hingga lapangan menjadi ramai. Bau masam menyengat dari seragam-seragam itu dan pada bagian ketiak telah menguning.

Aku pulang sekolah dengan perasaan dongkol. Langkahku sedikit gontai sambil mendukung tas yang berisi buku paket. Aku tak sabar bertemu Ayah, ingin kuceritakan bagaimana kelakuan Udin, Marnok, dan Kirnok mengintip rok Bu Sinta pakai kaca rautan pensil sewaktu pelajaran IPA. Ayah paling suka cerita cabul seperti itu.

Aku juga ingin minta uang jajan dirapel jadi satu minggu sekali. Uangku habis tak berbekas, dipaksa bendahara membayar uang kas. Aku jadi tidak bisa jajan telur gulung. Makanan berminyak kesukaanku dengan baluran saus tomat yang gurih. Oh, entah siapa yang pertama kali membuat makanan itu, yang pasti orangnya mendapat resep itu langsung dari bisikan malaikat.

“Mana Ayah, Bu?”

“Yah, belum pulang lah.”

“Tumben ..”

“Oy, ampun, kuning sekali kerah baju kau! Ini tinggal dikasih gambar pohon beringin, jadi ini bendera partai!”

“Bu, ini wajar. Malahan pakaian si Ucok lebih parah. Pakaiannya kayak habis diungkep, kuning betul gara-gara ketumpahan kuah mi kari di kantin. Ha-ha-ha.”

***

Hari ini aku tidak bisa pulang, meski aku sudah tidak ada pekerjaan lagi di kantor. Ya, aku tidak punya pekerjaan lagi lantaran terkena PHK. Alasannya efisiensi perusahaan. Usahaku selama ini sia-sia menjadi karyawan teladan. Padahal sudah sepuluh tahun aku mengabdi, tetapi masih saja dipecat.

Aku tak bisa pulang. Aku malu dan takut untuk memberi tahu anak dan istri. Aku begitu malu sebab telah dipecat lantaran tak sengaja menindih Bu Meta, bosku, karena kami terpeleset bersama di pantry sewaktu aku sedang menyeduh kopi. Tanganku tak sengaja masuk ke dalam pakaiannya lalu meremas dadanya dan bibirku juga tak sengaja mencium bibirnya. Meski ini bukan kali pertama terjadi, sungguh ini refleks, bukan disengaja!

Aku malu kalau istriku tahu alasan sebenarnya aku dipecat. Memang benar kalau di surat itu tertulis akibat efisiensi perusahaan. Namun, aku tidak bisa berbohong. Apa lagi kalau istriku sudah menatap dalam-dalam mataku. Entah mengapa, mulutku tak bisa dikontrol untuk tetap diam. Aku seolah sedang dihipnotis oleh Uya Kuya untuk berkata jujur sejujur-jujurnya.

Hari sudah siang dan aku masih bertengger di depan Indomaret. Minuman dan rokokku sudah habis. Beberapa kancing baju dan dasiku sudah terlepas. Dan yang tersisa hanyalah wajah lusuh dan tolol sedang memandangi jalanan.

Saat ini pikiranku tengah kusut seolah 100 miliar sel di otakku tengah ekstra bekerja secara pontang-panting, lintang pukang, tunggang langgang. Para sel membabi-buta mulai membongkar berlembar-lembar tumpukan informasi. Mereka kuperintahkan untuk mencari cara bagaimana mendapatkan uang secepat dan sesimpel mungkin.

Aku teringat kembali dengan janji kepada almarhum ayah mertua ketika meminang anaknya kala itu.

“Aku titipkan anakku. Kau harus berjanji: Jangan pernah biarkan anakku tidak bahagia. Jangan buat dia menderita. Jangan buat pula dia tidak dinafkahi. Kau harus berkorban bagaimana pun caranya. Kau itu lanang dan apa lagi yang bisa dipercaya dari lanang selain janjinya. Jadilah seperti Gajah Mada!”

Beberapa wajah orang berseliweran dalam kepalaku. Membuatku mengingat kembali orang itu. Namanya Dego. Dia adalah teman baikku semasa sekolah. Dia dikenal sebagai pekerja keras dan mau melakukan apa saja gara-gara seluruh anggota keluarganya sudah lama ditanam. Mungkin karena capek hidup miskin dan berutang sana-sini demi menyambung hidup, ia mulai berubah haluan. Perubahannya sangat nampak terlihat ketika sepulang dari kampung halamannya di Tulung Selapan. Tampilannya lebih manusiawi dan ia sudah tidak lagi bertampang seperti orang yang kurang makan. Ia jadi suka mentraktir orang-orang, salah satunya adalah aku.

Beberapa tahun lalu, ia sempat mengajak untuk tipsani; tipu sana-sini. Aku menolak tawaran itu karena aku tak mau menafkahi anak dan istri dari hasil menipu orang-orang. Aku tak sampai hati harus membohongi ibu-ibu lalu mengatakan kalau anaknya kecelakaan dan saat ini tengah dioperasi. Aku tak bisa membayangkan kalau saja hal itu terjadi pada keluargaku.

Tapi kali ini beda cerita. Aku harus bertahan hidup.

“Halo, Go. Ini Surya.”

“Iya, halo selamat siang, Bapak Surya. Selamat! Bapak adalah salah satu nasabah beruntung yang mendapatkan hadiah undian senilai 100 juta rupiah.”

“Cukup, Dego. Ini Surya, Surya Cabul.”

“Surya Cabul?”

“………..”

“Ini Surya yang suka nonton boke-”

“Iya, iya cukup. Surya yang itulah pokoknya.”

“Weh, apa kabar, Sur? Tumben nelpon.”

“Jadi gini, Go….”

***

“Apa benar yang aku lakukan ini?” ucapnya sambil menggenggam seikat kartu perdana. Lagi-lagi ia menyakinkan diri untuk tidak ragu menipu. Ia merasa berdosa dan tidak tega karena akan menipu orang, tetapi ia lebih tidak tega bila melihat anak dan istrinya tidak makan. Belum lagi cicilan rumah KPR dan uang SPP anaknya harus pula dibayar. Uang dari mana kalau tidak dari menipu.

Tuut… tuut… tuut…

“Halo, selamat pagi. Ini dengan orang tuanya Yanto?”

“Iya, halo, ini ibunya Yanto. Ada apa yah?”

“Saya Ujang, gurunya Yanto di sekolah. Saya mau mengabarkan bahwa tadi sewaktu istirahat Yanto jatuh terpeleset dari tangga, mengalami pendarahan di kepala bagian belakang, pingsan, tidak sadarkan, Bu.”

“Ya ampun! Jadi bagaimana, Pak!”

“Saat ini Yanto telah dilarikan ke rumah sakit bersama gurunya, Bu Nina, Bu. Untuk mengetahui terkait kondisi terakhir dan rumah sakitnya, silakan Ibu hubungi langsung Bu Nina. Ini nomornya dicatat, langsung dihubungi. 08xxxxxxxxx. Langsung dihubungi, Bu, yah, karena untuk mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan terkait kondisi anak Ibu. Terima kasih, selamat pagi.”

Tak sampai beberapa menit, gawai Surya sudah ada panggilan dari korban. Surya bersiap-siap mengubah suaranya seperti yang diajarkan Dego.

“Halo, selamat pagi. Iya, ini dengan Bu Nina. Saat ini saya sedang di rumah sakit. Kondisi anaknya belum sadarkan diri sementara sedang ditangani oleh dokter. Ini dokternya mau bicara, Bu.” Balas Surya sambil memencet hidung dan seolah sedang menangis senguk-sengak.

“Halo, Bu, saya Dokter Husen. Kondisi anak Ibu saat ini sedang tidak sadarkan diri. Berdasarkan hasil rontgen, adanya pendarahan akibat kerusakan pada otak dan terdapat beberapa jaringan otak yang robek. Tindakan satu-satunya yang harus kami lakukan adalah operasi, tetapi risikonya sangat tinggi dan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawanya, kita harus pasangkan alat sensor terapi kepala. Cuma masalahnya di rumah sakit, untuk ukuran kepala pasien kebetulan lagi kosong dan hanya ada di tempat jual alat kesehatan. Tolong Ibu bantu saya dulu, untuk menghubungi pihak penjual karena harus pihak keluarga yang menghubungi baru alatnya bisa dikeluarkan. Tolong telepon ke nomor 08xxxxxxxxxx.”

Begitulah seterusnya Surya berganti-ganti peran untuk menguras perasaan korban. Ketika dirasa korban sudah percaya dengan skenario yang ia buat, ia mulai mendesak agar korban cepat mentransferkan sejumlah uang.

Kali ini Surya untung besar, bahkan Dego pun belum pernah. Ia mendapat tujuh korban di hari itu. Jika ditotalkan, ia mendapat seratus empat puluh juta.

***

“Ada Surya, Dek?”

“Om siapa?”

“Saya temannya Surya. Adek ini siapanya?”

“Sebentar, yah, Pak. Saya panggil dulu Ayah saya.”

Surya keluar dari kamar dan menyambut orang itu dengan hangat. Tak lama orang itu mulai mendekati Surya lalu membisikkan sesuatu. Tak jelas apa yang dibicarakan dalam bisikan tersebut, yang tertangkap hanyalah mereka tertawa kecil dan raut muka cabul mereka tak bisa ditutupi seusai saling berbisik.

Aku tebak kalau malam ini mereka pasti main wanita. Senyum cabul mereka sama persis ketika Udin, Marnok, dan Kirnok berhasil melihat celana dalam Ibu Sinta yang berwarna hitam pekat. Tawa cabul mereka pun sama persis bunyinya,”Mue-he-he-he”.

Tak lama mereka pun pergi.

Ayah tidak pulang di malam itu. Ayah tidak menerima satu pun dari puluhan panggilan telepon dari Ibu. Ayah memang begitu, suka lupa waktu jika berurusan dengan pekerjaan.

Ayah pulang setelah beberapa hari. Ia diantar melalui ambulans dengan tubuh yang kaku dan terbalut kain. Wajahnya pucat dan kepala bagian belakangnya hancur masuk ke dalam akibat pukulan keras dari benda tumpul.

Aku baru tahu belakangan ini bagaimana Ayah bisa mati. Melalui koran yang tersimpan rapi di lemari pakaian Ibu, aku membaca halaman pertama dengan sedih dan dongkol. Terpampang wajah Ayah dan lelaki itu, yang mengajaknya pergi untuk selama-lamanya. Dengan isak tangis aku membaca berita kriminal itu:

“Sadis! Demi Rebut Semua Uang Hasil Menipu, Dego Pukul Surya Pakai Palu sampai Mati Kejang!”

*****

Editor: Moch Aldy MA

Betuah Lepus

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email