Hanya butuh sebuah gerakan kecil untuk mengakhiri semuanya. Aku seharusnya segera menendang kursi di bawahku menjauh dan biarkan sisanya diambil alih oleh adegan-adegan horor yang pernah aku lihat di televisi sewaktu kecil. Tali akan menjerat leherku, meremukkan tulangku, dan membuat nafasku putus-putus. Lalu ada adegan ketika sepasang kakiku melayang setengah meter di atas lantai dan mengentak-entak di udara. Tepat pada saat itu aku hanya perlu memasang wajah penuh kemenangan di hadapan dunia yang terkutuk ini agar orang pertama yang menemukan mayatku esok hari tidak akan terkejut melihatku tergantung dengan tampang tolol dan lidah terjulur.
Diduga Karena Depresi, Pria Berusia Tiga Puluh Empat Tahun Ditemukan Tewas Gantung Diri di Kamar Rusunnya.
Begitulah berita yang akan muncul di koran lokal esok hari, pada panel kecil di bagian kiri bawah, berisi dua paragraf pengantar yang tidak menjelaskan apa-apa karena mereka menginginkan pembaca membuka halaman sebelas untuk mengetahui berita selengkapnya. Bahwa pria yang bunuh diri itu, menurut pengakuan tetangga sekitar, merupakan pribadi yang tertutup dan jarang bergaul. Jika pembaca cukup sabar mungkin mereka juga akan mendapati latar mengenaskan bagi tindakanku ini. Sebuah kamar rusun tanpa banyak perabot, hanya sebuah sofa butut di teras depan, dengan pegas yang sudah aus dan gabus menyeruak di sana sini, kipas angin duduk yang berputar malas, pakaian kotor dalam baskom di pojokan, kasur untuk satu orang tanpa seprai, bau busuk dari sampah yang belum dibuang selama berhari-hari, tumpukan piring dan gelas kotor di wastafel, struk minimarket, sebuah apel yang digigit sepotong di atas meja seolah itulah kegiatan terakhir si korban sebelum menemui malaikat maut.
Faktanya, apel itu adalah sisa dua malam lalu dan itu bukan milikku, melainkan Fathia. Gadis itu baru saja minta putus. Itu adalah gigitan terakhirnya sebelum keluar dan membanting pintu dengan kasar, sekaligus satu-satunya jejak bahwa ia pernah ada dalam hidupku selama dua tahun. Fathia menangis selama hampir satu jam, yang mana sepanjang waktu itu diselingi dengan keluhan, tuduhan, ancaman atas hubungan kami berdua yang menurutnya tidak beranjak ke mana-mana. Aku bilang, “memangnya harus ke mana?” Tapi ia malah menangis semakin kencang dan mulai melempariku berbagai macam barang yang berada dalam jangkauannya.
Fathia duduk di atas kasur dan aku selonjoran di bawah jendela memerhatikan pemandangan langit malam kota Makassar di luar. Sebuah balon mainan karakter Patrick Star melilit di kabel listrik. Seingatku, benda itu sudah dua minggu tertahan di sana. Angin sepoi-sepoi berhembus masuk memberikan rasa segar di sekujur tubuhku. Di suatu tempat entah di mana terdengar sayup-sayup mengalun dari sebuah pemutar musik, lagu The Zephyr Song milik RHCP. Aku bertanya-tanya sendiri kapan terakhir kali aku mendengarnya. Pastinya sudah lama sekali, waktu aku masih kecil, di kampung halaman.
Aku bangkit dan duduk bersila sambil memerhatikan pantulan wajahku sendiri di kaca jendela. Seorang lelaki berusia mendekati setengah abad tengah tersenyum tolol. Entah mengapa aku merasa sosok itu adalah orang lain yang bukan aku.
Saat itulah terlintas dalam kepalaku untuk melakukan bunuh diri.
***
Namun, di mana-mana praktik memang lebih sulit dari teori apalagi cuma niat belaka. Inilah yang membuat aku tak habis pikir semalaman. Bukan soal konsekuensi bunuh diri tersebut, tapi lebih kepada hal-hal praktis, seperti metode yang akan kugunakan, siapa yang akan menguburkan mayatku, atau barang-barangku nantinya akan dibuang ke mana. Hal-hal receh semacam itu sungguh lebih memusingkan dibanding memikirkan siapa yang akan menangisiku atau bagaimana nasib orang-orang terkasih setelah ditinggalkan.
Faktanya, aku memang tak punya keluarga lagi untuk dipikirkan di dunia ini.
Kedua orang tuaku sudah lama mati. Aku adalah anak tunggal dari seorang tukang kayu di kampung. Sementara ibuku dulunya berjualan kue-kue setiap pagi, berjalan dari sekolah ke sekolah sambil satu tangannya menahan nampan berisi jualan di atas kepalanya dan satunya lagi menuntunku yang masih bocah di sisinya. Keluarga kami tidak kaya tapi tidak begitu miskin juga. Mungkin karena aku adalah satu-satunya anak dalam keluargaku sehingga aku tak pernah merasa kekurangan satu hal pun. Kedua orang tuaku sangat menyayangiku. Mereka memanjakanku, membelikanku barang-barang yang kuinginkan. Aku tak pernah merengek untuk sesuatu, bahkan dalam kondisi tak ada uang sekalipun mereka akan mencarikan segala cara untuk memenuhi keinginanku. Aku tak pernah memiliki bekas memar cubit di tangan atau paha seperti teman-teman sebayaku yang dianggap kurang ajar karena telah mempermalukan orang tua mereka dengan banyak menuntut. Singkatnya, masa kecilku cukup menyenangkan.
Satu-satunya hal yang tak dimiliki kedua orang tuaku, yang mana ini baru kusadari setelah aku keluar dari penjara, adalah warisan. Mereka tak punya apa-apaan selain sepetak tanah dan rumah panggung tua untuk kutinggali di masa depan. Ketika aku pulang ke kampung selepas keluar dari penjara, aku terkejut bukan hanya karena tak mampu lagi mengenali bangunan tempat aku tumbuh itu, tapi juga karena merasa kasihan melihat betapa menyedihkannya saat-saat terakhir hidup kedua orang tuaku. Dua bulan setelah aku dilempar ke penjara, ibuku mati dan menyusul kemudian ayahku yang mulai sakit-sakitan. Ayahku bekerja membuat meja-meja dan lemari. Di masa mudanya ia menikmati ketenaran besar sebagai tukang kayu terbaik sekabupaten. Waktu itu rumah-rumah penduduk masih terbuat dari kayu dan berbentuk panggung tradisional. Ayahku selalu menjadi pilihan pertama untuk dipanggil orang. Mereka menyukai ayahku karena ketelitiannya, ketepatan waktu, dan tidak banyak bicara. Di masa jayanya ayahku bahkan memiliki anak buah sampai dua puluh orang dan kadang pergi selama berhari-hari ke luar daerah untuk membangun rumah.
Zaman berubah. Rumah-rumah panggung mulai ditinggalkan. Di kampung halamanku di Jeneponto, entah sejak kapan menjadi modern berarti membangun rumah dari bata. Perlahan tapi pasti, orang-orang mulai memugar bangunan mereka. Pertama satu, lalu dua orang, sampai perimbangan bangunan di desaku mulai terlihat mencolok. Jika kita bisa membangunkan leluhur dari kuburnya mereka pasti akan terheran-heran menyaksikan anak-cucu mereka yang bahkan membangun rumah-rumah batu di tepi pantai. Kampung kami yang selama berabad-abad disangga oleh tiang-tiang pancang menjadi kehilangan wajahnya. Rumah-rumah panggung mulai tersingkir ke sudut-sudut pedalaman dan bangunan batu menjadi tolok ukur kemakmuran. Orang-orang tidak lagi membutuhkan jasa ayahku. Hari ke hari job semakin sepi. Ia kemudian beralih menjadi pembuat perabotan atau menerima jasa reparasi. Suatu hari saat pulang sekolah di SMA aku mendapati ayahku sedang menyambungkan sisa-sisa balok dan kaleng minuman bersoda untuk dijadikan semacam kuda-kuda mainan di kolong rumah dikelilingi anak-anak kecil. Saat itu aku merasa sedih sekali. Aku bertanya-tanya sudah berapa lama ayah tidak mendapat pesanan untuk dikerjakan.
Begitulah ayahku. Alih-alih menjadi pensiunan yang bahagia, ia harus menjalani akhir hidupnya dalam kesendirian. Seperti kubilang tadi, ibuku meninggal sesaat setelah aku masuk penjara. Sependek pengetahuanku, ia tidak memiliki riwayat jantung, stroke atau semacamnya. Menurut tetangga yang mengunjungiku di penjara waktu itu, ibuku begitu tertekan mengetahui vonis dua belas tahun dari pengadilan untukku. Langit seolah runtuh dan mengimpitnya hidup-hidup. Ibuku mulai kesulitan tidur pada malam hari. Beberapa orang sering melihatnya duduk sendirian pukul dua dini hari di beranda rumah, merenung selama berjam-jam dengan pandangan tertuju pada sebatang pohon jambu di halaman. Tak ada yang bisa menginterupsi tindakan atau jalan pikirannya itu, bahkan ayahku. Angin malam lalu menggerogoti fisiknya, ibuku mulai terbatuk-batuk dan kehilangan nafsu makan. Namun, itu tak menghalanginya untuk terus bergadang. Ia akan membawa segelas air hangat dan menyelimuti seluruh tubuhnya dengan tiga lapis sarung. Ia duduk di sana terus memandangi pohon jambu, entah apa yang dipikirkannya. Pernah aku menanyakan hal itu dalam kunjungan terakhirnya sebelum ia mati, tapi ibuku hanya menggeleng lemah. Ia bilang ia baik-baik saja dan harusnya aku memikirkan diriku saja.
Aku mengatakan tidak baik terus-terusan bergadang begitu, aku tahu ia mengkhawatirkanku tapi tindakannya itu tak akan merubah apa-apa.
“Lihat, mak,” kataku memperlihatkan senyum paling ceria. “Aku sehat-sehat saja. Tidak kekurangan sedikit pun di sini. Secara umum semuanya berjalan baik. Ya, memang makanannnya agak…”
Ibu memandangiku dengan perasaan iba seolah tahu aku sedang berbohong. Aku bersedih bukan untuk diriku. Tapi mengetahui betapa malapetaka yang menimpa keluarga kami telah menjadikan ibuku semenyedihkan itu. Tubuhnya menyusut semakin mengecil. Ia berjalan membungkuk. Kantong matanya melorot ke bawah dan aku bisa merasakan di kedalaman matanya yang selalu cerah itu, sinar kehidupan perlahan meredup. Kegelapan yang berisi rasa kecewa menjalar perlahan menggerogoti usianya.
“Mamak sudah semakin tua,” gumamku untuk diri sendiri. Tapi ia mendengarnya.
“Mungkin waktu dekat ini bakal mati juga,” balasnya.
“Ah, jangan bilang begitu, mak,” tak bisa kusembunyikan perasaan gusar ketika mendengarnya bilang begitu.
Aku ingin membesarkan hatinya dengan meminta untuk menungguku keluar. Tapi kemudian kusadari bahwa dua belas tahun adalah waktu yang terlalu lama. Ia pasti akan mengatakan kalau dirinya masih bisa mati delapan kali seperti yang selalu dikeluhkannya setiap kali aku membuatnya menunggu waktu kecil dulu. Lagi pula ‘menungguku keluar’ terdengar seperti janji kosong seorang ayah yang akan mengajak anak-anaknya liburan setelah kerjaan beres. Sungguh menggelikan. Memangnya jika aku keluar nanti apa yang akan terjadi pada mereka. Apakah aku akan membawakan mereka kehidupan yang lebih baik. Berikan satu alasan mengapa kedua orang tuaku harus menunggu selama itu.
Ibuku meninggal di atas kursi kayu yang selalu didudukinya ketika merenung malam-malam. Subuh itu ayahku seperti biasa bangun sebelum ayam paling rajin di kampung berkokok. Ia turun lewat tangga belakang dan berjalan menuju jamban yang terletak di pekarangan. Ia menyelesaikan hajatnya dengan cepat lalu ke beranda membangunkan ibu untuk sembahyang subuh. Namun, pagi itu ibu tak menjawab panggilannya. Ayah menggoyang-goyang pundaknya dan ibu hanya bergeming. Ayahku mendekatkan jari ke bawah hidungnya, tak ada embusan nafas. Kerabat yang datang mengunjungiku di penjara menceritakan peristiwa pagi itu seperti orang yang kebingungan. Ia bilang ayahku telah melakukan sesuatu yang tak bisa dimengerti. Alih-alih memanggil orang, ia malah beranjak untuk menjalankan sembahyang dua rakaat dan kembali, menarik satu kursi lain untuk duduk di dekat ibuku. Mereka duduk berdampingan selama beberapa waktu lamanya dengan satu tangan ayahku diletakkan di atas tangan pucat milik ibuku. Ketika fajar merekah sekelompok nelayan yang baru pulang melaut mulai mendaki undakan batu yang menuju perkampungan melihat pemandangan di beranda. Salah seorang di antara mereka berseru dengan nada bercanda, “Mesra sekali, anak SMA pun tidak pacaran sepagi ini.”
Dua nelayan yang berjalan agak jauh di depan berhenti. Mereka berbalik dan ikut tertawa.
“Yah, nikmati saja,” balas ayahku riang. “Toh, ini hari terakhir aku bersamanya.”
“Astagfirullah, Daeng Sira’ pelan-pelan kalau bicara,” kata nelayan yang lain. “Ucapan jelek biasanya lebih mudah terwujud. Tidak kasihan kah kau kepada istrimu. Kalau kau mati…”
“Tololnya,” potong ayahku sambil terkekeh. “Aku tidak sedang bercanda. Bukan aku yang bakal mati. Kalian mesti ke sini dan lihat sendiri.”
Ayahku menunjuk ibu yang berada di sampingnya. Duduk tenang seperti Siddhartha tapi tak menunjukkan ekspresi apa-apa. Kedua matanya sudah tertutup. Nelayan paling muda di antara mereka—yang juga masih sepupuku—yang pertama kali menyadari bahwa posisi duduk ibuku sedikit bersandar ke dinding rumah. Pandangannya pun sedikit mendongak ke atas. Yang paling aneh, ia sejak tadi seperti tidak sedang memedulikan pembicaraan orang-orang ini.
“Astaga,” kata anak muda itu. Ia menurunkan sepasang baskom berisi ikan yang ditandu kayu di pundaknya dan berlari naik ke atas rumah. Ia memeriksa nadi dan menjulurkan jari ke bawah hidung.
“Oh Tuhan, tanta Bebo’ sudah tidak ada,” jeritnya.
Aku mendengar berita kematiannya setelah delapan hari berlalu. Waktu itu tahun 2012, usiaku dua puluh dua tahun saat aku masuk ke Lembaga Permasyarakatan kelas II Makassar. Tempat itu jauhnya sekitar dua jam setengah perjalanan menggunakan angkutan antara kabupaten dari rumah orang tuaku. Saking tidak percayanya, aku sampai meminta dengan nada membentak kepada para penjenguk itu untuk mengulangi cerita berkali-kali, berharap ada bagian-bagian yang aku salah pahami. Kepalaku mendidih dan hampir menghajar mereka. Orang-orang ini memohon untuk tidak disalahkan, karena ayahku-lah yang meminta untuk tak buru-buru memberitahuku. Tapi kenapa? Tanyaku. Mereka pun tak tahu. Ketika kembali ke selku hari itu aku memukuli dua tahanan baru yang mencoba berbasa-basi dengan mengajakku bicara.
***
Oleh karenanya, semalam aku pertama-pertama harus memikirkan cara terbaik untuk bunuh diri. Tentu saja yang juga tidak begitu menyusahkan orang banyak. Aku mempertimbangkan dua yang paling umum: antara gantung diri atau meminum racun. Gantung diri nampaknya lebih dramatis tapi itu cukup menyiksa. Di televisi, para pelaku yang menggunakan cara ini sepertinya tidak begitu menikmati saat-saat lepasnya jiwa dari tubuh. Membayangkan adegan tersedak dan kaki melayang-layang, seolah pelakunya berusaha untuk kabur dari maut sungguh membuat nyaliku ciut. Mereka seperti orang yang baru saja melihat mahluk menyeramkan di ujung gang dan memutuskan kembali tapi sudah terlambat. Tidak mungkin aku menemui Tuhan di akhirat dan mengatakan bahwa aku sebenarnya tidak bermaksud begitu. Jadi yang ini harus kusingkirkan dulu, kecuali aku punya cara terbaik untuk melawan rasa takut itu.
Aku harus mencari racun. Tapi di mana aku akan mendapatkan benda seperti itu pada pukul dua malam. Aku membutuhkan sesuatu yang bekerja cepat dan tak begitu menyiksa. Membayangkan muntah-muntah hebat setelah menegak Baygon cair lalu dilarikan ke UGD rumah sakit dengan mulut berbusa hanya untuk sekarat dua hari dua malam sebelum meninggal sungguh tak kalah menyeramkannya buatku. Jelaslah perkataan para filsuf itu bahwa manusia sebenarnya tidak takut terhadap kematian, kita hanya takut kepada prosesnya. Meskipun aku bukan orang yang religius amat, tapi membayangkan malaikat maut perlahan-lahan menarik ruh keluar melalui pusar rambut di kepala sudah membuatku pengin kencing di celana. Lagi pula sudah lama orang-orang tidak memakai Baygon cair untuk mengusir nyamuk. Jadi aku masuk ke dalam wc, menggoyang-goyang botol cairan pembersih lantai yang tersisa tidak lebih dari dua sendok makan. Sangat tidak meyakinkan, bisa-bisa yang ada aku muntah darah tapi tidak mati-mati.
Aku tidak mau berakhir konyol seperti itu. Aku pergi ke jendela untuk berpikir sambil memandangi si Patrick Star tersangkut di kabel listrik dan nampak semakin menyedihkan. Pemutar musik sialan di suatu tempat entah di mana itu masih memutar lagu yang sama, dan kini refrain lagu tersebut berputar-putar di kepalaku seperti sekawanan nyamuk. Itu sepertinya ter-setting otomatis untuk mengulang lagu yang sama sepanjang waktu sementara orangnya sudah tertidur. Seseorang, aku mohon, pergilah ke sana dan beritahu pemilik mp3, radio, atau tape itu untuk berhenti. Aku beranjak ke kasur, berbaring sebentar untuk berpikir. Tapi tidak bisa, aku melonjak untuk bangkit kembali. Ini adalah sesuatu yang tak bisa ditunda-tunda lagi. Kehidupan sialan ini, orang-orang bajingan ini, kemiskinan yang tak tertanggungkan, semua prasangka, sikap curiga berlebihan orang-orang kepadaku sudah membuatku sangat muak. Orang bilang kau tidak bisa hanya duduk memikirkan cara mengakhiri hidup tanpa pernah benar-benar menusukkan belati ke perutmu.
Ah, itu dia. Aku menghambur ke dapur, membuka laci di bawah konter, menemukan pisau kecil yang selalu digunakan Fathia memotong sayur. Gagasan itu kini mendatangiku secerah lampu imajiner yang muncul dan menyala terang di atas kepala karakter licik film kartun. Bukankah lebih mudah kalau aku memutus nadiku dengan benda ini. Sekali goresan, yang dalam dan mantap, dan aku hanya perlu menutup mulut menahan sakit sebelum kesadaranku pelan-pelan menghilang. Aku mengambil kulit jeruk nipis di tempat sampah dan memotongnya menggunakan pisau itu. Sialan, pisau ini bahkan lebih tumpul dari gigi-gigiku. Aku membuangnya ke tempat sampah dan mengambil jaket. Jalan-jalan keluar sebentar mungkin bisa merenggangkan saraf sedikit.
Di lantai dasar rusun aku melihat pak tua Nambung yang baru saja menudungi gerobak jualannya dengan terpal plastik. Sehari-hari lelaki berusia enam puluh tahun ini jualan mainan anak-anak. Dengan gerobaknya, ia berkeliling dari lorong ke lorong menjajakan mobil mainan plastik jelek dan ketinggalan zaman itu. Setahuku, bisnis ini tidak begitu mendapatkan untung. Orang bilang kadang ia pulang tanpa uang sepeser pun. Aku tidak begitu dekat dengannya secara pribadi tapi dari cerita orang ia agak sedikit tidak nyambung jika diajak bicara.
Ia pasti mendengar langkah kakiku menuruni tangga. Lelaki tua itu berbalik dan menunjukkan tampang tak mengenakkan, seperti seorang pembenci.
Aku menyapanya dengan senyum. Ia tak menanggapi, kedua tangannya sibuk mengalungkan tali ke sekeliling gerobak.
“Susah tidur lagi?” setelah menyadari keberadaanku yang berdiri diam di belakangnya.
“Sudah terbiasa seperti ini, Om,” jawabku.
“Orang bilang kamu histeris lagi,” ia berbalik dan memberiku tatapan menuduh. “Teriak-teriak semalaman.”
“Om pasti salah orang,” bantahku. “Itu Si Malik. Orang gila di lantai tiga.”
“Kau lantai tiga juga, bukan?” ia kini selesai mengikat gerobak jualannya. Pak tua menepukkan kedua tangan ke celananya dan berkacak pinggang dengan nafas tersengal-sengal.
Aku menggeleng. “Lantai empat. Dan aku juga gak punya hubungan apa-apa dengan orang itu.”
“Oh, begitu,” ekspresinya berubah, nampak kecewa. “Kurasa sebentar lagi ia bakal bunuh diri.”
Mendengar itu aku seperti kejatuhan batubata satu tongkang di pundakku. Orang ini punya bakat merusak suasana hati orang lain tanpa perlu merasa bersalah.
“Hei, hei, tunggu dulu,” aku buru-buru menahannya ketika beranjak pergi.
“Itu sisa tali tambangmu,” kataku agak grogi, menunjuk gulungan tali di atas tumpukan kardus. “Kau sudah tidak memakainya atau bagaimana?”
“Jadi kau ya yang selalu mengambil barang-barang orang,” nada suaranya berubah, kini tampak seribu kali lebih menjengkelkan. “Tergeletak bebas begitu bukan berarti bisa kau ambil seenaknya.”
Aku merasa menyesal sudah meladeni tua bangka ini. Tapi rugi juga meninggalkannya tanpa mendapat apa-apa. Jadi aku menolak tuduhannya dengan menyebut satu nama. Seseorang yang sebenarnya tidak ada. Bocah pemulung usia lima tahun, dari rusun sebelah.
“Awas saja kalau aku sampai ketemu anak itu,” gerutu pak tua.
“Apa aku boleh pakai talinya?” Tanyaku tidak yakin. “Aku ada perlu dengan tali. Besok akan aku kembalikan.”
Ia tidak percaya. Ia bilang orang-orang di sini menggunakan bahasa yang sama ketika berjanji. Dan semua tahu barang yang sudah pergi tak perlu diharap kembali lagi.
“Percayalah padaku. Aku tidak akan lari ke mana. Jika aku tak mengembalikannya sampai pukul satu siang kau boleh datang ke tempatku dan mengambil paksanya.”
“Memangnya kenapa sampai harus jam satu siang,” tanyanya lagi. “Kau bikin apa sama tali selama itu?”
“Apa tidak bisa kau berikan saja tanpa banyak tanya?” Aku mulai kesal juga.
Lelaki tua itu berdehem, memerhatikanku curiga dengan sudut matanya. “Saya lupa namamu.”
“Aco.”
“Lantai empat. Begitu ya?”
Kujelaskan detail tempat tinggalku. Berada di sayap sebelah kanan paling ujung dan pintunya ada stiker kampanye calon walikota yang gagal kemarin. Aku mengatakannya sedetail itu, selain agar pak tua ini tidak salah paham lagi juga aku begitu tenang mengetahui bahwa mereka tak perlu menunggu sampai berhari-hari untuk menemukan mayatku. Pak tua ini tak akan membiarkanku membusuk selama itu.
***
Demikianlah ceritanya sehingga aku menemukan tali yang saat ini sedang melilit di atas ventilasi pintu kamarku. Hawa siang begitu panasnya sampai aku bisa merasakan uap keluar dari pori-pori kepalaku. Aku melompat turun dari kursi plastik yang kupijaki. Aku mengambil ceret dan menuang air ke dalam gelas dan meminum sebanyak tiga kali. Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas lebih seperempat. Waktuku semakin sedikit sebelum pak tua itu muncul dan meminta talinya. Aku membuka dua kancing kemeja paling atas dan baru menyadari bahwa aku masih mengenakan baju semalam. Tidak, ini baju kemarin pagi. Karena kepikiran upaya bunuh diri ini aku sampai lupa bersalin. Kemeja putih dan celana kain hitam adalah baju yang beberapa hari terakhir kugunakan untuk membawa surat lamaran kerja.
Gawat juga kalau mereka menemukanku mati dalam pakaian seperti ini. Opini pasti akan mengerucut kepada kegagalanku menemukan pekerjaan. Memang kondisi hampir dua bulan menganggur adalah salah satu alasannya, tapi itu bukan yang utama. Ada banyak pertimbangan lain seperti rasa tidak suka terhadap hidup masyarakat atau kekecewaan karena ditinggalkan kekasih. Semuanya seperti kerikil-kerikil kecil yang jika dikumpulkan menjadi satu kesatuan besar dan solid akan mewujud pada satu kesimpulan: keengganan untuk terus-menerus eksis di dunia ini.
Aku melepas baju dan celanaku, sehingga hanya menyisakan singlet putih dan celana bokser. Aku berpikir sebaiknya menyelesaikan ini cepat-cepat sebelum berubah pikiran. Jadi aku kembali naik ke kursi. Kali ini perasaanku lebih baik dari tadi. Aku menarik nafas panjang dan mengembuskannya. Aku membebaskan kedua tangan dan kakiku agar bergerak-gerak. Aku kembali memasukkan kepalaku ke dalam simpul tali, siap untuk mati betulan. Namun, tepat sebelum aku menendang kursinya terdengar ketukan di pintu.
Aku kira itu di apartemen tetangga. Aku berusaha fokus pada tujuanku sendiri. Aku menutup mata, tapi kali ini terdengar ketukan sekali lagi. Lebih keras, disusul terdengar seseorang memanggil namaku.
Dengan kesal aku harus menunda lagi. Aku keluar ke ruang depan dan mengintip lewat gorden jendela. Di depan pintu kamarku berdiri Tante Tasya, tetangga di apartemen nomor 22-B. Ia datang bersama anak laki-lakinya yang berusia sebelas tahun.
“Apalagi ini?” gerutuku. Tapi mau tak mau aku harus buka pintu juga.
Aku menjulurkan kepala melalui pintu yang setengah terbuka.
“Benar kan, kamu lagi di rumah. Ini tante bawakan makanan untukmu,” katanya ramah. Ada nada genit dalam suaranya, seperti biasa.
Ia membawakanku semangkuk kapurung, makanan yang jujur saja tidak pernah bikin aku berselera. Aku menerima mangkuknya dengan setengah hati. Sambil mengangguk mengucapkan terima kasih, aku bersiap-siap untuk menutup pintu tapi perempuan itu masih berdiri di sana. Ia nampaknya ingin mengatakan sesuatu. Dengan canggung aku bertanya ada apa.
“Anu, pria di lantai tiga itu,” Tante Tasya memelankan suaranya, nyaris berbisik. “Kau tahu kan? Yang nomor 27 itu…”
Ya, semua orang tahu siapa yang dimaksud ketika berbicara tentang pria-di-lantai-tiga. Siapa lagi kalau bukan Si Malik, pengangguran stres itu. Namun aku hanya mengangkat bahu, menampilkan ekspresi pura-pura tidak tahu.
“Itu loh, yang kemarin memukuli sekelompok anak SMP sewaktu jam pulang.”
“Oh, si Malik,” dengan nada kubuat-buat, seolah baru ingat. “Katanya bocah-bocah itu mengganggu anak perempuannya yang bisu dan tuli. Menurutku wajar jika ia marah.”
“Memang sih. Tapi bukan itu maksudku. Aku mau bilang kalau apakah kau bisa menyuruhnya mematikan musiknya? Suaranya sungguh mengganggu. Ia terus-terusan memutar lagu yang sama sejak kejadian itu. Kami tetangga di lantai yang sama tidak bisa tidur dibuatnya. Beberapa orang mencoba mengetuk pintunya tapi tak dipedulikan. Ia bahkan tak menyalakan lampunya menjelang malam. Kami kira ia marah kepada semua orang terkait hal itu. Mungkin ia berpikir satu rusun melawannya.”
Jadi suara musik itu berasal dari tempatnya Si Malik. Pantas saja tidak ada seorang pun yang mau menegurnya. Orang seperti itu, kalau kita marah ia bakal lebih marah.
“Tunggu dulu,” aku memprotes. “Kalau kalian tahu ia marah dengan semua orang di rusun ini kenapa malah menyuruh aku?”
“Karena kau berbeda dengan kami,” Tante Tasya memberikan penekanan pada ‘berbeda’ sehingga itu terdengar seperti ejekan buatku.
“Maksudnya?”
“Jangan tersinggung dulu, Aco. Kami semua sudah memikirkan ini. Si Malik itu orangnya kepala batu dan tidak tahu diri. Ia memandang curiga pada semua orang di rusun ini. Setiap tindakan, meskipun itu untuk kebaikannya akan dilihat sebagai hinaan buat dia. Beberapa orang bilang hanya kau yang bisa menangani orang seperti itu. Pertama, karena kau tak pernah membuat masalah dengannya dan kedua, orang pikir si Malik itu tidak akan berani macam-macam denganmu.”
Kata orang. Siapa orang itu? Mengapa kita harus memercayai kata orang? Tidak politisi, tidak orang kere, manusia di mana-mana paling suka berlindung di balik konsep abstrak untuk memperhalus sikap pengecut mereka. Kata orang inilah, itulah. Mengapa mereka tak bilang saja kalau statusku sebagai mantan narapidana kasus pembunuhan ini bisa jadi alat bagus buat menakut-nakuti mahluk sinting seperti Malik.
Aku berpikir, merasa tertekan. Semakin besar saja kemauanku untuk bunuh diri segera. Aku menutup mata sekian detik dan membukanya lagi. Tante Tasya masih di depanku, dengan tatapan genit yang memuakkan, seperti yang selalu dilakukannya ketika menggodaku ke apartemennya sementara suaminya yang sopir truk itu sedang tidak di rumah.
Seseorang pernah bilang, dunia tidak akan berubah hanya karena kau menutup mata. Itu benar. Dengan berat hati aku mengiyakan permintaan dari sebuah konsep tolol bernama orang-orang itu.
Aku menutup pintu apartemenku dan segera turun. Beberapa tetangga yang sedang duduk di bangku kayu sepanjang koridor memerhatikanku dan tersenyum ketika aku lewat. Mata mereka terus mengikutiku sampai ke pintu apartemen nomor 27, seperti menyaksikan pemadam kebakaran yang hendak menerjang heroik ke dalam api untuk menyelamatkan seekor kucing. Sementara aku sendiri masih bingung apa yang mesti kulakukan setibanya di sana. Di depan pintu aku berbalik ke belakang, tapi para pecundang ini berlomba membuang muka. Ada yang pura-pura menyapu, ada yang sedang mengintip di jendela segera menarik gordennya. Ketika aku berbalik kembali aku tahu mereka juga kembali mengamatiku.
Bajingan. Jika orang-orang ini mengharapkan perkelahian antara dua orang sinting atau semacamnya tentu mereka salah besar. Karena apa yang akan mereka lihat selanjutnya adalah sesuatu yang lebih menyeramkan dari itu.
***
Aku mengetuk pintu apartemen Si Malik. Tak ada jawaban, sementara musik terus mengalun dari dalam sana. Aku ikut mengulang-ulang refrainnya sambil mengetuk pintu dengan ritme drum untuk menciptakan suasana bersahabat kalau saja akhirnya si pemilik rumah keluar.
Fly away on my zephyr
I feel it more than ever
And in this perfect weather
We’ll find a place together
Namun, tetap saja tak ada tanggapan apapun. Juga tak ada tanda-tanda aktivitas di dalam sana. Jika kita coba mengabaikan musik tersebut maka tempat ini seperti terabaikan. Seperti memang pernah ada seseorang di dalam sana yang sedang memutar musik lalu keluar karena karena baru saja kepikiran satu urusan mendesak dan kemudian tak kembali lagi.
Aku terus mengetuk, dari pelan ke keras. Dari sopan hingga jengkel memanggil-manggil namanya. Percuma saja. Aku bergerak ke jendela. Di rusun kami, jendela-jendelanya masih menggunakan model nako yang memiliki tuas untuk buka tutup. Kadang di beberapa tempat seperti apartemenku, tuasnya sudah aus dan kau bisa membuka jendela hanya dengan menyelipkan jari-jarimu di sela kaca dan mengungkitnya naik. Jadi itulah yang kulakukan. Dan ternyata tidak begitu sulit. Kaca-kaca terangkat dan memberiku celah untuk melihat masuk.
Aku menggeser gorden dan menemukan kegelapan yang memekakkan mata di dalam sana. Aroma busuk seperti campuran minyak goreng dan bau kecut terbawa keluar bersama debum soundsystem yang mengentak telinga. Aku memanggil dan mencari-cari si Malik dalam kegelapan. Namun, suaraku tenggelam oleh musik dan tetap tak ada jawaban dari sinting sialan itu.
And in this perfect weather, lirik lagunya mengatakan demikian.
Sialan, cuaca sempurna apanya? Keringat mengucur dari dahi turun ke mataku. Aku baru menyadari kaos singlet yang kugunakan telah basah di sekujur punggung.
Aku lalu memasukkan penuh tanganku dan meraba-raba ke tepi pintu, berusaha mencari gerendel atau semacamnya. Lama aku melakukannya hingga akhirnya aku menemukan tuasnya. Aku berusaha mendorongnya hingga lepas dari kait. Berhasil. Aku berlari ke depan pintu mendorong masuk, tapi pintunya bergeming. Aku berbalik kesal ke orang-orang yang menonton di belakang punggungku, meledak. “Memangnya bajingan ini punya harta sebanyak apa sampai harus pakai kunci ganda segala? Di rusun miskin seperti ini hanya pencuri tolol yang mau bersusah payah masuk ke rumah seorang pengangguran seperti dia!”
Aku melihat wajah ketakutan orang-orang mendengarku berteriak seperti ini. Tak ada seorang pun yang berani menjawab. Citra sebagai narapidana pasti membuat mereka gentar. Sudah lama aku menyadari ini. Entah bagaimana kesan tentangku tergambar di kepala mereka. Anak-anak akan langsung lari ketika melihatku, pemuda rusun akan berlaku sopan dan menawari rokok setiap aku lewat, dan penghuni baru sebisa mungkin mencari muka dengan membawakan oleh-oleh ke tempatku. Aku sendiri tak bisa melakukan apa-apa untuk merubah itu.
Aku memukul-mukul pintu lagi. Kesabaranku sudah benar-benar habis. Kalau si sinting itu keluar dan marah aku akan memukulinya tanpa ampun. Tak peduli jika selama ini aku selalu bersimpati kepadanya dan berusaha membelanya dari serangan orang-orang. Tak peduli jika aku diam-diam mengagumi sikap blak-blakan dan tanpa komprominya pada pandangan orang lain, sesuatu yang tak kumiliki. Tak peduli jika hidupnya semengenaskan itu. Tak peduli jika ia memiliki seorang putri berusia lima tahun dan bisu juga tuli.
Ah, tiba-tiba aku teringat. Di mana gadis itu. Ia pasti ada di dalam sana. Malik tak pernah membawa putrinya pergi menggelandang. Anak itu selalu tinggal di rumah. Saat itu juga aku menyadari sesuatu. Aku merasakan sejenis suara ikut merambat bunyi musik yang keluar. Seperti nada yang melenceng, atau mungkin interupsi ritmis. Sesuatu yang berbeda. Itu adalah nada yang tidak berasal dari musik. Itu seperti suara orang!
Aku memusatkan pendengaranku. Berusaha berkonsentrasi.
“Hey,” aku memukul-mukul pintu. “Nak, kau ada di dalam, kan? Mana papamu? Buka pintunya.”
Aku terbawa sugesti untuk meyakini ada orang di dalam sana. Itu karena cahaya satu-satu yang menembus ventilasi dan jatuh di lantai muncul tenggelam. Sesuatu sedang bergerak di dalam sana! Tapi tak membuatku cukup yakin perihal apa itu. Aku meminta senter kepada orang-orang. Seseorang remaja muncul membawakan lampu dari sebuah ponsel. Aku mengarahkan cahaya ke dalam dan terkejut seketika, sewaktu cahaya menimpa wajah gadis kecil itu. Ia berdiri di ruang tengah, menghadang cahaya dengan satu tangan di depan wajahnya.
Sampai saat ini, setiap aku mengingat-ingatnya, tergambar jelas kengerian yang menjalari tengkukku setelahnya. Sepasang matanya yang kecil dan pipinya yang kusam memandang tanpa harapan ke arahku. Gadis itu menggigit bibir bawahnya lalu terisak. Ia lalu mengarahkan cahaya senter dengan telunjuknya ke sebuah tempat.
Di lorong yang menghubungkan ruang depan dan koridor kamar, di bawah sebuah balok melintang dari kamar tidur ke wc, aku melihat tubuh Malik tergantung tak bernyawa di atas sana. Tali menjerat lehernya kuat. Sepasang tangannya terkulai di samping tubuhnya dan kakinya melayang satu meter di atas lantai.
Untuk sesaat aku merasakan dadaku sesak. Aku tidak bisa memercayai apa yang tengah aku saksikan. Bajingan ini sedang melakukan bunuh diri. Aku menyerahkan senter ke anak muda yang berdiri dan bertanya-tanya di sampingku, menyuruhnya melihat sendiri ke dalam. Aku mundur ke belakang. Dengan penasaran anak itu melakukannya dan segera ia menjerit-jerit, membangunkan seisi rusun pukul dua belas siang itu. Selanjutnya yang ada hanya mati rasa di sekujur tubuhku.
***
Aku duduk bersandar, mencoba menata pikiranku. Orang-orang berlarian, menendang pintu, beberapa berteriak menyuruh yang lain mengambil linggis, mereka akan mendobrak paksa. Aku menyaksikan itu semua dari jarak penonton dan tak mampu berkata-kata. Orang berduyun berdatangan, memenuhi pintu depan. Perempuan, laki-laki, dewasa, dan anak kecil mendorongku keluar dari kerumunan yang semakin membesar. Pintu akhirnya terbuka, beberapa lelaki menghambur masuk ke dalam dan sesaat kemudian kulihat bocah perempuan itu diarak ke luar di atas kepala orang-orang, disambut oleh ratapan para perempuan.
Aku masih tetap tak bisa lepas dari keadaan statis ini. Aku menggunakan kekacauan ini untuk menjauh tanpa membiarkan satu pun kejadian berlalu di depan mataku. Di saat yang sama aku merasakan diriku mengerucut kecil, semakin kecil hingga sampai ke kekosongan pikiran. Aku jatuh terduduk di sebuah bangku panjang.
Lama setelah itu seseorang datang dan berjongkok di dekatku dan menawarkan sebotol air dingin. Itu adalah anak yang membawa senter tadi. Aku ucapkan terima kasih dengan penuh emosional. Aku tak tahu mengapa tapi rasanya aku sangat ingin menangis saat itu. Ia mengatakan bahwa mayat si Malik telah diturunkan dan saat ini sedang dibaringkan di ruang tengah. Orang-orang terus memenuhi tempat itu. Aku ingin mendekat ke sana tapi hatiku begitu lemah. Tungkai kakiku rasanya mau lepas dari lutut.
“Tadi itu rasanya kaget sekali ya, Om,” ia berkata.
Aku mengangguk tanpa melihatnya. Aku sedang berjuang memadamkan gejolak dalam diriku sendiri. Di kejauhan, mesjid mengumumkan peristiwa kematian ini dan itu berarti berita akan menjangkau semakin jauh dan semakin banyak pula orang yang akan datang untuk menonton. Aku pamit sebentar kembali ke kamarku.
“Aku mengerti, Om,” katanya dengan nada bersahabat. “Kalau orang tanya, aku akan bilang kalo Om tidak ingin diganggu dulu.”
Anak ini pintar juga. Aku tak mengatakan apa-apa lagi. Aku menyeret kedua kakiku yang lemah menaiki tangga, menghindari tatapan orang-orang yang melintas di dekatku. Aku tak ingin mendengar pertanyaan-pertanyaan apapun.
Aku menutup pintu apartemenku, meninggalkan suara-suara riuh di belakang. Aku bersandar pada pintu dan memikirkan kembali adegan sepuluh menit pertama ketika menemukan Malik tergantung. Bahkan jika pelakunya adalah orang yang selama ini menjadi musuh satu rusun, reaksi orang sama saja. Aku melihat perempuan-perempuan menangis, para lelaki panik, semua orang bergerak. Mereka adalah orang-orang yang sama dan terus-terusan menyumpahi Malik selama ini. Namun, saat ini semua prasangka, kebencian, desas-desus menguap di hadapan adegan seorang lelaki malang yang mengakhiri hidupnya.
Aku jadi berpikir, mungkin saja karena mati bunuh diri tidak sama dengan jenis kematian lainnya. Seseorang yang mati tertembak di medan perang, karena sebuah penyakit ganas, kecelakaan, atau kehendak Tuhan adalah korban alami dari sebuah proses berakhirnya kehidupan. Itu tak ada bedanya dengan jam yang berhenti berdetak karena mati baterai atau bola lampu yang putus. Kita tahu itu akan terjadi dan memang seharusnya terjadi. Namun, seorang yang memilih mengakhiri hidupnya dengan seutas tali tambang mewakili dua wajah yang tak bisa didamaikan dalam kehidupan: heroisme dan pengkhianatan. Malik jelas telah mengkhianati kehidupan. Ketika tetangga-tetangga sekitarnya bertahan keras dari hantaman kemelaratan hidup dan melihat kemiskinan di bawah langit rasa syukur, Malik adalah anomali cara pandang seperti itu. Di sisi lain, kematiannya adalah jalan heroik yang tak semua orang seperti kami bisa tiru. Ia mewakili perasaan putus asa manusia-manusia yang tersingkir secara ekonomi dan sosial, yang seperti ingin bilang, jika kehidupan tak punya tempat buatku di dunia ini maka lebih baik aku menghilang saja. Itu adalah jalan paling mudah tapi sayangnya tidak semua orang memiliki keberanian untuk melakukannya. Malik adalah satu-satunya di kerumunan yang melangkah maju ke depan untuk memprotes ketika yang lain hanya bisa mengeluh dengan takut-takut. Tindakannya adalah ultimatum pada si pemberi kehidupan, aku berhenti, aku menolak, aku tak mau lagi berurusan dengan kehidupan macam ini. Bisa jadi, untuk alasan itulah orang-orang menangisinya.
Aku pergi ke kamar dan menaiki kursi untuk melepas tali tambang yang tergantung di ventilasi pintu. Aku sudah tidak memiliki dorongan hati untuk bunuh diri lagi. Saat itu juga sebuah perasaan geli dan konyol menghampiriku. Jika saja aku tidak pergi menemui Malik dan memutuskan untuk melakukan urusanku sendiri, bayangkan betapa susahnya pengelola rusun ini mengetahui dua warganya melakukan bunuh diri pada hari yang sama. Si Malik telah mengambil peluang terakhirku. Dan kini ia meninggalkanku sendirian di sini dengan sebuah rencana gagal. Aku tak tahu harus melakukan apa lagi.
Aku membuka jendela dan berbaring telentang di ruang depan menghadap langit-langit. Aku membiarkan suara-suara di luar sana berlalu-lalang di dinding kesadaranku. Entah sirene ambulans atau mungkin polisi patroli sedang mendekat masuk ke lingkungan kami. Apa mereka akan meminta kesaksianku. Sialan, aku lelah sekali. Aku tidak tidur semalaman memikirkan rencanaku sendiri yang malah harus berakhir seperti ini. Aku seperti aktor yang ditendang dari panggungnya dan dipaksa menonton orang lain melakonkan pertunjukan miliknya. Memang bajingan si Malik itu.
Rasa kantuk merayap perlahan dari ubun-ubun dan turun mengusap mataku. Aku biarkan tubuhku berguling menggeliat. Aku menekuk punggungku, dengan lutut nyaris mencapai dagu dan kepala berbantal lengan. Aku menutup mata dan segera terisap ke dalam kondisi tidur paling damai dalam hidupku selama beberapa bulan terakhir.
*****
Editor: Moch Aldy MA
Malik adalah seorang anarki dikehidupan sosial dan religius