Petualang hal-hal baru. Saat ini sedang berpetualang di isu pangan, tetapi tidak melupakan isu yang terus digelutinya, yaitu kelompok minoritas dan gerontologi.

Tertelan di Antara Pasar: Lansia dan Pengetahuan Lokal

Theresia Pratiwi Elingsetyo Sanubari

2 min read

Perjalanan menyusuri komunitas ternyata membawa banyak refleksi, termasuk terhadap ruang-ruang yang biasa dikunjungi, yaitu pasar.

Saat itu, kami sedang berkunjung ke Gunung Kidul dan seorang ibu tiba-tiba menyeletuk, “Nginap saja di sini, besok bisa ke pasar. Kebetulan besok ada pasar pon wage.” Kami menyambut anjuran itu. Esoknya kami bangun jam 05.00 pagi, agar bisa berkunjung ke pasar pon wage. Sudah jarang rasanya pergi ke pasar yang hanya ada di saat hari pasaran Jawa tertentu, seperti pasar pon wage, pasar kliwon, pasar legi.

Ketika berkeliling pasar, kami seperti menyusuri kembali tulisan Christian Coff dalam bukunya The taste of ethics (2006) yang mengatakan bahwa pasar adalah representasi dunia dalam berbagai macam kuliner. Di  pasar pon wage, kami temukan berbagai makanan lokal Gunung Kidul yang sudah jarang ditemukan lagi. Kebanyakan terbuat dari singkong, kelapa, dan berbagai kacang-kacangan.

Makanan dan bahan pangan lokal yang membuat kami terkesima itu hampir semuanya dibuat dan dijual oleh warga lanjut usia (lansia). Para penjual lansia itu juga mengajari pembeli seperti kami cara mengolah bahan pangan yang ingin dibeli atau menjelaskan makanan dan jajanan yang kami beli. Sayang, pandemi membuat kami harus membawa pulang semua makanan dan jajanan pasar, tidak bisa lagi nongkrong dekat pasar untuk menikmatinya.

Posisi Lansia

Perjalanan itu membawa kami merefleksikan kembali posisi lansia yang selalu dianggap rentan di dalam masyarakat. Asumsi sebagai kelompok rentan membuat lansia cenderung mengikuti kemauan dari kelompok usia produktif. Padahal, tidak jarang lansia tetap memenuhi kebutuhan pangannya sendiri dan memiliki banyak pengetahuan atas pangan. Masalahnya, ruang bagi lansia untuk berjualan produk buatannya apalagi menyebarkan pengetahuannya, semakin terbatas.

Industrialisasi yang terjadi membuat tren pangan lokal menjadi pudar dan keberagaman produk pangan menjadi terbatas. Pasar tradisional induk yang seharusnya bisa menjadi jendela pertemuan berbagai rasa pangan pun banyak dipenuhi dengan produk-produk pangan berlabel atau bahan pangan impor. Pertemuan antara konsumen dan bahan pangan menjadi tidak utuh untuk memahami proses munculnya pangan itu.

Kondisi itu menjadikan lansia sebagai kelompok rentan yang hanya memiliki imajinasi pemenuhan pangan untuk mengisi perut. Berbagai diskusi yang kami lakukan dengan lansia berkali-kali hanya mendengar “yang penting bisa makan” atau “ya begini saja sudah cukup. Disyukuri saja”.

Padahal makanan bukan hanya tentang apa yang masuk ke dalam tubuh tetapi merupakan subjek yang menghubungkan antara komunitas, lingkungan, dan manusia. Pangan lokal adalah bagian penting dari pengetahuan lokal.

Pengetahuan lokal lebih sering dianggap sebagai pengetahuan yang hanya berlaku di wilayah tertentu sehingga sulit untuk dipahami. Anggapan itu menyebabkan pengetahuan lokal semakin sulit dilestarikan. Padahal, sebagaimana diungkapkan peneliti J Briggs,  pengetahuan lokal yang lebih sering mengalami proses perubahan dapat menjadi peluang untuk bertahan dalam globalisasi dibanding dengan pengetahuan Barat.

Pengetahuan lokal yang mulai memudar itu mengakibatkan lansia tidak lagi memiliki otoritas untuk mengatur makanannya. Terlebih, adanya jurang pengetahuan antara lansia dan kelompok umur lain yang memposisikan lansia sebagai orang yang tidak memiliki hak untuk menentukan makanannya. Hilangnya kemampuan untuk memproduksi pangan yang mereka konsumsi memutuskan ikatan lansia terhadap lingkungan dan masyarakat. Hubungan itu semakin terbatas ketika promosi gizi dan kesehatan hanya menganjurkan bahan-bahan hasil industrialisasi.

Berkaca dari narasi itu, industrialisasi seharusnya juga memberikan ruang bagi pemenuhan pangan lansia. Apalagi, menurut Coff, adanya pangan lokal bisa menjadi solusi bagi permasalahan konsumsi yang muncul saat ini.

Toh, gerakan-gerakan untuk kembali pada pangan lokal sudah mulai ada, seperti upaya yang dilakukan oleh lakoat.kujawas atau bakudapan food studies yang mengembalikan narasi-narasi pangan lokal. Atau, gerakan seperti slow food dan urban farming.

Pemerintah Indonesia pun perlu lebih tegas untuk melirik kerja-kerja produksi pangan lokal itu. Industrialisasi yang belum mampu untuk melihat peluang tersebut akan semakin membuat posisi lansia terdiskriminasi. Hal itu tentu saja tidak mendukung wacana internasional dalam SGDs (sustainable development goals) maupun nawacita yang menginginkan adanya kemandirian lansia.

Theresia Pratiwi Elingsetyo Sanubari
Theresia Pratiwi Elingsetyo Sanubari Petualang hal-hal baru. Saat ini sedang berpetualang di isu pangan, tetapi tidak melupakan isu yang terus digelutinya, yaitu kelompok minoritas dan gerontologi.

One Reply to “Tertelan di Antara Pasar: Lansia dan Pengetahuan Lokal”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email