.

Terjaga di Garis Batas Mimpi

Gilang Bina

14 min read

Rewang masih terjaga di garis batas antara mimpi dan perjuangan. Dari kemeja tempurnya yang berwarna hijau kecokelat-cokelatan tercium aroma keringat yang teramat busuk bercampur dengan bau darah kering, darah dari rekan seperjuangannya. Celananya yang berlumur lumpur terasa lembap di bagian selangkangan. Sisa-sisa ketegangan pertempuran tadi siang seakan tak berbekas di wajahnya, disaput oleh rasa kantuk yang mulai menggelayuti kedua kelopak matanya. Ia terduduk di ambang pintu gubuk yang sengaja dibiarkan dalam keadaan terbuka dengan posisi mencangkung. Kakinya ditekuk, kedua tangannya memeluk lutut, dan wajahnya merunduk.

Tiap kali mendapati dirinya tak sengaja tertarik ke dalam garis mimpi, ia akan mengusap-usap wajahnya. Bukan salahnya, lagi pula bukan hal yang mudah untuk menjaganya tetap seimbang, ia harus tetap terjaga sedang badannya telah lama memendam rasa lelah. Ditambah kesunyian tanpa ujung nyaris menguasai isi kepalanya. Hanya suara nyamuk yang berdenging di samping telinganya dan suara dengkuran diselingi rintihan dari rekannya yang setia menemaninya. Kadang, semilir angin malam tak sengaja melewati depan gubuknya, menimbulkan suara gesekan di antara ranting pohon, dan membuat rasa kantuk yang mengelayutinya bertambah besar. Oleh karena itu, ia lebih suka menundukkan wajahnya, menghindari sapuan angin malam itu.

Siang sebelumnya, tentara Belanda telah melancarkan aksinya. Mereka mengangkangi perjanjian yang telah disepakati, menangkap beberapa tokoh Republik, lalu mengerahkan seluruh kekuatan militer. Sedikit telah terjadi kontak senjata yang tak berarti. Dengan mudah, kota-kota penting dapat diduduki. Beberapa tentara Belanda memang kedapatan terluka, tetapi lebih banyak jumlah rekannya yang terluka.

Bersama rekan-rekannya, Rewang terpaksa menarik diri ke dalam hutan. Dalam keadaan terjepit, mereka tercerai berai. Walau sebelumnya telah diberitahukan kalau mereka akan bertemu dengan beberapa unit pasukan lain yang memutuskan untuk bergerilya di sekitaran kaki Gunung Wilis, medan yang sulit karena mesti menerobos hutan belantara, mendaki bukit, menyeberangi sungai dan rawa-rawa, membuat perjalanan tidak semudah yang dibayangkan olehnya. Bersama Karjo, rekannya, beberapa kali Rewang harus tersungkur karena membuka jalur baru yang memutar menghindari penyergapan tentara Belanda.

Matahari telah tergelincir ke arah Barat ketika mereka berdua mendapati sebuah gubuk kecil di dalam hutan yang tidak berpenghuni. Mungkin saja berpenghuni, tetapi sang penghuni telah lebih dulu mengungsi ke wilayah Republik. Dengan badan yang letih, Rewang mencoba mengecek ke dalam. Pintu gubuk itu tak terkunci. Di dalam gubuk itu terdapat sebuah ranjang dan beberapa perlengkapan rumah tangga, termasuk sebuah lentera yang menempel di dinding. Rewang menaruh senapan, helm dan tas selempangnya di salah satu sudut gubuk. Ia mulai menyalakan lentera dan membiarkan Karjo merebahkan dirinya di ranjang. Sementara Karjo beristirahat, ia akan berjaga di ambang pintu kalau-kalau ada patroli tentara Belanda yang hendak menyergap.

Sebenarnya, sikapnya yang seperti itu tak bisa dipisahkan dari pemberian nama yang diberikan oleh bapaknya. Bapaknya sering kali bercerita tentang asal-usul namanya hingga cerita itu terus terkenang di dalam kepalanya. Semasa kecil, Rewang sering kali mengalami sakit. Tidak seperti anak seusianya, penyakit Rewang sering kali mampir tanpa diduga-duga dan akan sembuh dalam waktu yang cukup lama. Karena merasa khawatir, bapaknya memutuskan untuk membawa Rewang kecil ke orang pintar kenalannya untuk mengetahui sumber penyakit itu.

Orang pintar itu mulai merapalkan doa-doa di hadapan sebuah kendi yang berisi air. Selepas mendoakan air itu, ia menyuruh Rewang untuk meminumnya. Lalu, ia menyarankan kepada bapaknya untuk mengganti nama Rewang kecil. Karena menurutnya, anak itu mengalami keberatan nama. Iya, dulu nama  kecilnya bukanlah Rewang. Nama kecilnya adalah Kunconegoro, yang artinya adalah Kunci Negara. Mungkin bapaknya bermaksud baik, ia berharap jika sudah besar anaknya akan menjadi salah seorang tokoh yang penting, seperti sebuah kunci. Namun, nama itu terlalu berat jika harus diletakkan pada pundak anak-anak seusianya.

Sepulangnya dari sana, keesokan harinya bapaknya langsung menggelar syukuran. Ia memotong seekor kambing sebagai bentuk pengorbanan. Kemudian ia mengganti nama anaknya menjadi Rewang, yang artinya adalah teman. Ia berharap anaknya menjadi teman bagi siapa saja yang akan berjumpa dengannya. Sejak itu, Rewang kecil tidak lagi sering mengalami sakit. Kalau pun sakit, itu hanyalah sakit biasa yang sehari dua hari akan lekas sembuh.

Sikap itulah yang terus dibawanya sampai ia memutuskan untuk bergabung menjadi prajurit PETA. Di sana sikap itu kembali dipupuk dengan ideologi solidaritas yang ditanamkan oleh Shodanco-nya. Ditambah dengan umur yang tidak terlampau jauh dan desa tempat tinggal yang bersebelahan dengan para rekannya, sikap kesetiakawanannya tumbuh dan mekar bak kelopak bunga mawar. Hampir selama 2 tahun mereka hanya dilatih baris-berbaris. Meski tak cakap dalam menggunakan senapan. Namun, bak bumerang, kesatuan mereka ikut bergerak melucuti bala tentara Jepang ketika terdengar desas-desus kekalahan Jepang di fron Perang Asia Timur Raya.

Dan ketika proklamasi dikumandangkan, kesatuan mereka menjadi cikal bakal tentara Republik yang ikut menjaga negara. Namun, tugas mereka tidak hanya sampai di situ. Kedatangan Sekutu dengan membonceng Belanda menjadi awal perjuangan mereka mempertahankan negara. Pertempuran demi pertempuran telah dialami oleh mereka. Satu persatu rekan gugur. Tertangkap lalu dieksekusi, atau tertembak di medan tempur. Perjuangan panjang selama hampir 5 tahun perlahan membentuk ikatan persaudaraan di antara mereka, termasuk di antara Rewang dan Karjo.

Hampir berjam-jam ia dalam posisi seperti itu, walaupun ia sendiri tak yakin karena tak ada ukuran waktu yang bisa jadi acuan selain menunggu matahari merekahkan sinarnya. Hingga pada suatu titik keheningan benar-benar menguasai kepalanya. Tiba-tiba saja, desiran angin yang teramat kencang memasuki gubuknya, membuat badannya menggigil, dan api di dalam lentera berkedap-kedip seakan orang yang sekarat. Ia merasa sesuatu mulai mengusik dirinya. Ditandai dengan bulu kuduknya yang berdiri bak sepasukan laskar yang siap untuk bertempur. Disusul bau wewangian yang tak sengaja diendusnya. Wewangian itu masuk ke dalam tubuhnya. Menjalari sekujur tubuhnya, dan memberikan rasa gelisah di dalam dadanya. Kemudian dirasainya sebuah tangan mulai mengusap-usap kepalanya yang tak terlindungi oleh helm tempurnya. Rasa gelisah itu makin menggerayanginya.

Akhirnya ia memutuskan untuk mendongak ke atas, mencari tahu apa yang tengah menerbitkan rasa gelisah di dalam dadanya. Jancok! Bak tersengat listrik, ia lantas mengumpat dalam hati seraya terlonjak ke belakang ketika mendapati seorang perempuan berada di hadapannya. Seketika kesadarannya pulih seutuhnya. Ia tidak sempat mengusap kepalanya yang terasa sakit akibat terantuk oleh pintu gubuk. Tubuhnya terasa membeku. Seketika ia ingin sekali merapalkan doa-doa yang dihafalnya ketika dulu mengaji di langgar. Namun, lidahnya terasa kelu dan hafalan doa itu seakan tak pernah tersimpan di dalam kepalanya. Perlahan-lahan ia merasa tak berdaya seakan tulang-tulang di tubuhnya telah terlepas dari tempatnya.

Perempuan itu hanya bergeming seraya memandangi tubuhnya yang tengah dijalari oleh rasa takut. Rewang dapat melihat jelas wajah perempuan itu yang disinari oleh cahaya rembulan. Wajahnya memang tidak menampakkan kengerian. Malah perawakannya sepintas tampak terlihat ayu. Layaknya seorang perempuan yang biasa ditemuinya di desa, perempuan itu mengenakan kebaya putih, sarung batik dan selendang sutra yang dililitkan di lehernya. Hanya saja, bau melati yang menguar dari tubuhnya memberikan perasaan yang mencekam bagi siapa saja yang tak sengaja mengendusnya.

Lama mereka saling bertatap-tatapan, sampai-sampai Rewang merasa lesu, seakan tenaganya perlahan-lahan disedot oleh mata perempuan itu. Lalu tiba-tiba perempuan itu mulai menunjuk ke arah luar gubuk. Rewang lantas mengikuti arah yang ditunjuk oleh perempuan itu. Dari jauh terlihat sebuah cahaya yang teramat terang tengah melayang dan menyorot-nyorot di dalam hutan. Samar-samar ia dapat menangkap suara derap langkah kaki yang ditimbulkan oleh ujung sepatu lars, dan suara orang yang berteriak dengan bahasa yang terdengar agak asing. Ketika ia membalikkan kembali pandangannya ke arah depan, perempuan itu sudah tidak berada di hadapannya. Ia tahu sekarang bukan waktunya untuk terkejut. Ada perasaan lain yang tengah mencengkeram dadanya. Degup jantungnya berdetak tak keruan. Dengan sisa-sisa tenaga, ia segera bangkit untuk mengambil perlengkapan tempurnya, dan membangunkan Karjo dari ranjangnya.

Sebenarnya, tak sampai hati ia membangunkan Karjo yang tengah beristirahat. Karena ketika mereka berdua membuka jalur di dalam hutan, Karjo tak sengaja terperosok ke dalam jurang dangkal. Kaki kanannya terkilir. Sore tadi ia masih bisa berjalan dengan terpincang-pincang. Entah, sekarang bagaimana keadaannya.

“Bung, bangun, Bung,” ucap Rewang dengan nada yang pelan seraya mengguncang-guncang tubuh Karjo dengan perlahan.

Karjo mengerang ketika membalikkan tubuhnya, seperti bayi yang baru saja terbangun dari tidurnya.

“Bangun, Bung. Patroli tentara Belanda telah memasuki hutan.”

Ia kembali mengguncang-guncang tubuh Karjo. Namun, Karjo masih saja mengerang tanpa berusaha sedikit pun beranjak dari ranjang. Melihat itu, ia lantas merapatkan tangannya ke arah dahi Karjo. Panas! Terasa seperti cerek yang terisi air mendidih. Karjo terserang demam. Keadaannya yang seperti ini tidak memungkinkannya untuk melakukan perjalanan.

Rewang merasakan pening menghantam kepalanya. Suara asing itu kembali terngiang-ngiang di dalam kepalanya. Keringat dingin perlahan mulai membasahi punggungnya. Dadanya berdebar-debar. Bayang-bayang eksekusi yang sering dibicarakan oleh sesama rekannya terlintas di dalam kepalanya. Tentara Republik yang tertangkap biasanya akan disuruh menggali liang kubur mereka sendiri, lalu setelah liang selesai digali, baru mereka akan dihabisi dengan sebutir timah panas. Tak ada pilihan lain, pikirnya, ia mesti mengangkat tubuh Karjo. Dengan perlahan, ia mulai mengangkat tubuh Karjo dan memapahnya di bahu kanannya.

Sebelum pergi, ia mematikan api yang menjilat-jilat di dalam lentera dan berjalan ke arah luar. Di ambang pintu ia berhenti dan memperhatikan ke arah sumber cahaya. Samar-samar cahaya itu semakin besar seakan-akan hendak menghampiri gubuknya. Hatinya terasa sesak. Akhirnya ia memutuskan untuk menengok ke arah yang berlawanan. Dari arah yang berlawanan, ia mendapati perempuan berkebaya putih itu sedang berdiri seraya melambai-lambaikan tangan ke arahnya. Sosoknya terlihat jelas. Tubuhnya memancarkan pendar yang teramat terang, layaknya seekor kunang-kunang yang terbang di antara pekatnya malam. Bulu kuduknya kembali merinding. Tetapi kali ini ia merasakan sesuatu di dalam hatinya yang mendorongnya untuk mengikuti perempuan itu.

Meskipun tubuh Karjo tidak terlalu besar, tetapi jika dibandingkan dengan tubuhnya yang kurus, tentu saja ia akan berjalan dengan susah payah. Kepalanya menunduk ke bawah, sesekali mendongak ke depan, memastikan perempuan itu tetap ada di tempatnya. Langkahnya terasa berat. Sedikit-sedikit kakinya akan bergetar. Keringat bak air hujan yang membasahi tiap lekuk tubuhnya. Suara asing itu kembali terdengar olehnya. Kali ini asalnya dari arah belakang.

Dalam keadaan yang serba susah, sekonyong-konyong terdengar suara tembakan dari arah belakang, hampir saja ia tidak sengaja mengeluarkan air kencingnya di dalam celana. Sedang Karjo yang mendengar suara tembakan itu sempat menangis seraya berceracau, “Tinggalkan saya saja, Bung. Saya sudah tidak kuat untuk meneruskan perjalanan.”

“Wedus! Sekarang bukan waktunya untuk menangis,” umpatnya dalam hati.

Rewang naik pitam. Ingin sekali ia menggampar Karjo, menyadarkannya dari igauannya. Namun, keadaannya sekarang tidak memungkinkannya untuk melakukan perbuatan itu. Dengan tersuruk-suruk, ia terus berusaha menghampiri tempat perempuan itu berdiri. Ketika sudah dekat, perempuan itu lantas membalikkan badannya dan mulai berjalan, memasuki hutan yang ditumbuhi oleh ratusan pohon jati. Perempuan itu berjalan dengan perlahan, seakan tahu beratnya beban yang tengah dipanggul oleh Rewang.

Ketika berhasil mengekor perempuan itu dari belakang, semerbak wangi melati kembali memasuki kerongkongannya. Tetapi kali ini wangi itu tidak menerbitkan rasa ngeri di dalam dadanya. Wangi itu malah memberikannya sebuah tenaga tambahan untuk memapah rekannya, ia merasa tubuh Karjo berubah seringan kapas. Kini, kakinya tak lagi bergetar, bagai cakar kakinya kokoh mencengkeram tanah. Kepalanya juga tak lagi merunduk, ia bisa terus berjalan seraya mendongakkannya ke arah depan. Kejadian ajaib itu disaksikan oleh para penghuni hutan, serangga pohon yang sedang bersahut-sahutan, burung hantu yang bertengger di dahan, kelelawar yang beterbangan, macan tutul yang sedang mencari makan.

Sesampainya di dataran yang agak tinggi, Rewang sempat menengok ke arah belakang, memastikan keadaan gubuk yang baru saja ditinggalkannya. Samar-samar terlihat nyala kemerahan dan asap yang mengepul tak beraturan. Bunyi gemertak kayu gubuk yang habis dilumat api membelah kesunyian hutan.

***

Rewang terus berjalan tanpa mengetahui sudah berapa jauh perjalanannya. Keringat telah membasahi lekuk-lekuk tubuhnya, hingga pada bagian pantatnya. Celananya yang lembap sudah mengering diterpa oleh embusan angin malam. Perempuan itu masih menuntunnya sampai keremangan mulai menelusup ke dalam celah-celah rerimbunan hutan. Ketika membelok ke salah satu pohon, perempuan itu menghilang tanpa jejak, bersamaan dengan hilangnya tenaga luar biasa yang dirasai oleh Rewang sedari malam. Untungnya, tak butuh waktu lama, ia berhasil keluar dari dalam hutan. Perlahan matahari mulai memancarkan sinarnya. Membelai rimbunan pepohonan dan membasuh wajahnya. Kini di hadapannya terbentang deretan sawah yang teramat luas. Tunggul padinya menguning keemasan, dibanjiri oleh kilauan cahaya mentari.

Dengan tertatih-tatih, ia kembali melanjutkan perjalanannya, menyusuri jalan setapak yang membelah sawah di tepi kiri dan kanannya. Tak jauh dari sana, ia mendapati sebuah rumah berada di pinggir jalan setapak. Ia kembali berjalan seraya mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Sebelum ia sampai di sana, seorang pria paruh baya keluar dari rumah itu. Pria itu mengenakan celana hitam yang digulung sebetis, dan baju putih polos yang agak menguning karena sudah sering dipakai, tak lupa topi capingnya untuk menghalau hawa panas. Ia menenteng cangkul layaknya orang yang hendak pergi ke sawah. Dari perawakannya tampak terlihat badannya yang kokoh karena sering melakukan kerja berat. Kulitnya yang berwarna sawo matang pun terlihat semakin matang karena setiap hari ditimpa oleh cahaya mentari.

Ketika melihat kedatangannya, pria itu lantas menaruh cangkulnya dan berlari menghampirinya.

“Wah, ada apa ini?” tanya pria itu seraya memapah Karjo di bahu kirinya.

Rewang hanya bergeming. Ia terlalu lelah untuk menjawab pertanyaan pria itu.

Mereka berdua akhirnya memapah tubuh Karjo ke dalam rumah. Ketika memasuki rumah, Rewang sempat dibuat terkejut. Namun ia sadar sekarang bukan waktunya untuk terkejut, ia mesti memapah Karjo ke dalam kamar.

Di ruang depan, pria itu sempat berteriak kepada istrinya yang berada di dapur, “Bu, tolong bawakan handuk dan air hangat.”

“Lho, Bapak tidak jadi berangkat?” balas istrinya dari arah dapur.

Tanpa membalas pertanyaan istrinya, buru-buru Karjo dibawa memasuki salah satu kamar yang terletak di sebelah kiri ruang depan. Di sana terdapat sebuah ranjang yang dilapisi oleh seprai berwarna putih kusam. Dengan perlahan, mereka membaringkan tubuh Karjo di ranjang itu. Rewang melepas sepatu Karjo dan merentangkan kakinya ke atas ranjang. Setelah itu ia hanya berdiri seraya termangu. Dadanya terasa sesak melihat keadaan Karjo yang cukup mengenaskan. Air matanya mengenang tertahan oleh kelopak matanya. Disekanya dengan lengan kemejanya.

“Sudahlah, biar nanti istri saya yang mengurusnya,” ucap pria itu seraya menepuk-nepuk bahunya.

Tak lama, seorang perempuan memasuki kamar. Ia membawa sehelai handuk lusuh dan baskom yang berisi air hangat. Direndamnya handuk itu ke dalam baskom, lalu diperas. Kemudian ditempelkannya handuk yang sudah basah itu ke dahi Karjo.

Rewang masih termangu. Hatinya terasa teraduk-aduk. Karena tak sanggup lagi melihat keadaan Karjo, akhirnya ia pergi meninggalkan kamar. Dengan langkah gontai, ia berjalan keluar. Sebuah balai kecil yang ada di depan rumah menjadi tujuannya. Di sana ia duduk memandang ke depan dengan tatapan yang nanar. Seluruh perlengkapan tempurnya ditaruh di sudut balai. Waktu itu tubuhnya terasa goyah. Bola matanya memerah. Garis hitam membekas di bawah kelopak matanya. Dan perlahan matanya mulai terasa berat. Ia menarik napas panjang. Ketenangan memasuki rongga dadanya. Sedikit membuat hatinya terasa hangat. Kemudian ia melipat kedua tangannya ke belakang dan merebahkan badannya di balai. Kini, ia sepenuhnya berada di dalam garis mimpi, walaupun ia tidak bermimpi. Ia terlalu lelah untuk bermimpi.

Rewang baru terbangun ketika senja mulai merekah, menyinari tubuhnya yang tengah meringkuk di balai. Dengan setengah tersadar, ia menggeliat dan meregangkan kaki dan tangannya. Lalu, matanya tak sengaja menangkap sosok pria tengah duduk di sampingnya. Ketika sadar pria itu adalah orang yang tadi membantunya, ia lantas terbangun dan mencoba mengatur posisi duduknya di balai. Pria itu sempat ingin menahannya, tetapi Rewang sudah sepenuhnya bangun dari tidurnya, meski matanya masih terasa sedikit berat.

“Maaf, Pak. Kami merepotkan Bapak dan keluarga,” ucapnya.

“Ah, tidak apa. Silakan dilanjutkan saja tidurnya jika masih merasa lelah.”

“Oh, tidak, Pak. Saya sudah merasa cukup beristirahat,” ucapnya seraya mengucek-ngucek matanya.

“Jika mau mencuci muka ada sebuah bilik dengan pancuran yang berada di belakang rumah.”

“Oh, iya, biar nanti saja, Pak.”

Pria itu menatap wajah Rewang lekat-lekat seraya berkata, “wajahmu terlihat pucat. Ah, iya, kau belum makan seharian, kan? Biar nanti istriku buatkan makanan dan minuman untukmu.”

“Tidak perlu, Pak. Setelah istirahat kami akan melanjutkan perjalanan.”

“Kalian mau pergi ke mana?”

“Kaki Gunung Wilis, Pak.”

“Wah, tempat itu masih jauh. Engkau perlu tambahan tenaga untuk sampai ke sana. Tunggu di sini sebentar,” ucap pria itu seraya masuk ke dalam.

Tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa nampan. Di atasnya terdapat sepiring singkong rebus dan segelas teh hangat.

“Untuk sekadar mengisi perutmu yang kosong,” ucapnya seraya menaruhnya di atas balai.

“Terima kasih banyak, Pak.”

“Silakan dimakan, jangan diliat-liat saja.”

Rewang mengambil dan memakan singkong itu dengan malu-malu. Namun, perutnya tak bisa dibohongi. Tak sampai 5 menit, singkong rebus dan teh hangat itu segera tandas dari tempatnya. Kemudian pria itu menyodorkan rokok ke arahnya. Kali ini ia sudah tidak malu-malu untuk menerimanya. Ia lantas menaruh rokok itu di bibirnya, dan menyalakannya dengan geretan yang diambil dari sakunya. Asap mengebul ketika ia mengisapnya beberapa kali untuk memastikan baranya sudah menyala.

Ketika Rewang tengah menikmati tarikan dari asap rokok itu, pria itu sekonyong-konyong memberikannya pertanyaan, “apa benar kabar itu?”

“Kabar apa, Pak?” tanyanya balik dengan sedikit tersentak.

“Aku dengar di radio para pemimpin di Jogja tertangkap.”

Rewang diam sejenak. Setelah satu tarikan asap, ia baru berbicara.

“Benar, Pak. Seperti biasa, pihak Belanda kembali mengingkari isi perjanjian yang telah disepakati,” ucapnya dengan mulut yang berlumuran asap.

Lalu, dengan antusias ia mulai bercerita tentang situasi di kota kemarin. Tentang kota yang hendak dibakar, namun rencana mereka gagal karena tentara Belanda keburu datang. Tentang pertempuran kecil-kecilan yang dengan mudah dapat dipatahkan. Tentang Panglima Besar Jenderal Soedirman yang memutuskan untuk memasuki hutan, ikut bergerilya bersama para prajuritnya.

“Kalau mendengar dari ceritamu, sepertinya keadaan pemerintahan semakin sulit.”

“Begitulah, Pak. Tapi, kami tidak akan tinggal diam. Setelah semua unit bergabung di kaki Gunung Wilis, kami akan merencanakan serangan balasan,” ucapnya dengan nada yang terdengar optimis.

Pria itu hanya mengganguk-anggukan kepalanya, seakan paham rencana yang akan dilakukan oleh Rewang dan rekan-rekan seperjuangannya.

Sambil menikmati rokok yang terselip di tangannya, tiba-tiba saja Rewang teringat dengan sesuatu yang mengejutkannya di ruang depan.

“Oh, iya, Pak. Kalau boleh tahu, saya mau bertanya tentang foto perempuan yang terpasang di ruang depan.”

“Foto perempuan yang menggendong anak itu?” tanya pria itu sekadar untuk memastikan.

“Iya, Pak. Saya merasa pernah melihatnya.”

“Tidak mungkin engkau pernah melihatnya,” bantah pria itu.

“Kenapa, Pak?”

“Itu foto mendiang Ibu saya yang sudah lama meninggal.”

Rewang sempat tertegun. Rokok yang terpancang di mulutnya jatuh ke celananya dan meninggalkan bekas lubang sebelum ia sempat menyekanya.

“Maaf, Pak.”

“Ah… tidak apa.”

“Saya pikir semalam saya melihatnya.”

“Kau melihatnya di mana?”

“Saya melihatnya semalam di hutan. Ketika saya hampir tertidur beliau membangunkan saya dan memberitahu tentang kedatangan patroli tentara Belanda.”

Pria itu hanya bergeming mendengar jawabannya. Tatapannya nanar lurus ke arah depan. Sepintas Rewang dapat melihat perubahan dalam raut wajah pria itu.

Setelah jeda yang agak lama, pria itu baru angkat bicara.

“Mendiang ibu saya memang meninggal di dalam hutan itu. Ia sempat menghilang beberapa hari sebelum ditemukan oleh para pencari kayu bakar di dalam gubuk yang biasa mereka singgahi. Di sana mereka menemukan jasadnya dalam kondisi yang mengenaskan. Kebaya dan kain yang dipakainya koyak tak beraturan,” ucapnya dengan nada yang terdengar getir.

“Entah, siapa yang tega melakukannya. Tapi beberapa warga yakin, kematiannya ada hubungannya dengan seorang tentara Belanda berkulit putih yang ditolak cintanya olehnya. Kebetulan waktu itu Ibu saya sedang dalam keadaan menjanda setelah kepergian Ayah saya,” tambahnya.

Rewang kembali tertegun. Ia rasai bulu kuduknya kembali berdiri. Alih-alih merasa iba, perasaan takut kembali mengerayangi benaknya. Sepintas ia kembali mencium aroma melati seperti yang menguar dari tubuh perempuan itu.

Obrolan itu usai ketika lantunan suara azan mulai terdengar dari arah langgar. Matahari hampir sepenuhnya tenggelam. Sisa-sisa cahayanya yang memantul di awan membuat gradasi warna antara ungu dan jingga. Sekelompok kelelawar beterbangan di atas awan, sekarang waktunya mereka untuk mencari makan.

Pria itu lantas beranjak dari balai seraya berkata, “kalian menginap di sini saja dulu. Keadaan kawanmu pun masih belum kelihatan membaik.”

Ia membereskan dan menaruh piring serta gelas kosong bekas Rewang pakai di atas nampan. Kemudian ia masuk ke dalam rumah diiringi dengan lantunan suara azan. Terlihat langkahnya goyah dan lemah, seakan tubuhnya yang kokoh baru saja kehilangan separuh jiwanya.

***

Rewang belum tidur. Matanya masih meraba-raba di dalam kegelapan kamar, karena lentera hanya terpasang di ruang depan. Ia berbaring di alas tikar yang dibentangkan di samping ranjang Karjo. Kepalanya dipenuhi oleh nyanyian katak di saluran irigasi yang sayup-sayup menyelinap ke dalam kamar. Entah, karena ia sudah kenyang tidur seharian di balai, atau karena terkenang dengan perempuan berkebaya putih di hutan. Barang sedikit pun ia tidak bisa mengatupkan matanya. Suatu perasaan nelangsa sedang menyelimutinya.

“Bung, kau sudah tidur?” suara Karjo menyentakkannya dari lamunan. Berangsur-angsur perasaan nelangsa itu mulai meninggalkan hatinya. Hatinya terasa sedikit ringan. Satu bebannya telah terangkat.

“Belum,” jawab Rewang datar.

“Terima kasih banyak, Bung.”

“Untuk apa?”

“Karena telah menyelamatkan nyawaku.”

“Ah, tak perlu. Kita sudah berjuang bersama-sama hampir 3 tahun. Sudah menjadi kewajibanku sebagai rekan seperjuanganmu untuk membantumu dalam kesusahan.”

Karjo tak lagi berbicara. Namun terdengar suara kayu yang berdecit, ia hendak beranjak dari ranjangnya.

Refleks, Rewang lantas bertanya, “mau ke mana, Bung?”

“Kudengar di belakang rumah ada sebuah bilik dengan pancuran. Aku mau membasuh badan. Sudah berapa hari aku tidak mandi, aku merasa tidak nyaman dengan badan yang lengket seperti ini.”

“Mau kutemani?”

“Tak perlulah. Dari kemarin aku sudah sering menyusahkanmu.”

Terlihat siluetnya beranjak dari ranjang, lalu berjalan dengan agak terpincang-pincang meninggalkan kamar.

Rewang kembali tenggelam oleh perasaan nelangsa. Matanya kembali meraba-raba dalam kegelapan kamar. Namun tak lama, karena terdengar nyalak tembakan dari arah belakang rumah. Ia terlonjak, lalu diam sejenak, memastikan kejadian yang terjadi barusan. Sayup-sayup ia kembali menangkap teriakan yang terdengar asing dari arah belakang rumah. Lantas diraihnya senapan di sudut kamar, dan dikenakannya helm di kepalanya. Tanpa mengenakan sepatu, ia segera melakukan manuver, mengambil jalan memutar rumah melewati pintu depan. Dalam gelap, ia mengendap-ngendap di antara rumpun ilalang yang bergerak gemulai ditiup angin malam. Nyanyian katak terdengar jelas, bagai doa yang menyertai misi penyelinapannya. Namun, semakin dekat ke belakang rumah, nyanyian itu diredam oleh suara teriakan yang terdengar asing.

Sesampainya di belakang rumah, ia lantas berlindung di balik dinding. Dalam samar ia melihat siluet seorang pria berperawakan tinggi. Pria itu mengenakan topi pet militer dan berseragam rapi dengan tanda pangkat di pundak kanan dan kiri. Ah, seorang letnan KNIL, pikirnya. Ternyata suara teriakan itu berasal dari mulutnya yang besar. Letnan itu menghadap ke arah pintu bilik yang sudah terbuka. Rewang sedikit bergidik, ia lantas mengangkat senapannya dalam posisi bersiap. Jaraknya tak terlalu jauh. Ia yakin jika ia menarik pelatuknya, letnan itu akan tewas oleh sebutir peluru yang menghantam pelipisnya. Namun, ia tidak melakukannya. Ia menunggu. Ia tahu letnan itu tidak sendirian. Karena dari suara yang dilontarkannya, letnan itu seperti sedang berbicara dengan seseorang yang berada di dalam bilik.

Benar saja, tak lama kemudian, dari dalam bilik keluar siluet 3 orang berperawakan pendek. Dengan kompak, mereka seperti sedang menyeret suatu benda keluar dari dalam bilik. Rewang kembali bergidik. Seketika badannya terpaku. Diturunkannya senapannya. Ia mencoba mengatur napasnya yang bergerak tak keruan. Bayang-bayang yang tak diinginkannya tergambar jelas di dalam kepalanya. Remang-remang cahaya bulan menyorot benda yang diseret itu. Ia mencoba untuk menajamkan penglihatannya. Dengan samar, ia melihat tubuh Karjo terkulai bertelanjang dada. Tubuhnya terlihat mengkilap ditimpa sinar rembulan.

“Asu!” umpat Rewang dalam hati seraya mengertakkan giginya.

Darahnya terasa mendidih, namun jantungnya berdegup teramat kencang. Di dalam dadanya bercampur perasaan antara marah dan gentar. Bapaknya menamakannya Rewang yang artinya adalah teman. Dan kini di hadapannya, orang yang sudah dianggapnya sebagai saudara sedang dalam kesusahan, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Lalu, kejadian yang tak diperkirakannya pun terjadi. Dari pintu belakang, pria pemilik rumah itu keluar seraya bertanya, “ada apa ini?”

Mungkin ia juga terbangun karena mendengar nyalak tembakan. Namun ia tak melanjutkan pertanyaannya, dan hanya terpaku di ambang pintu ketika mendapati Karjo tergeletak di bawah dengan wajah berlumuran darah. Tubuhnya terlihat mengkilap seperti dibaluri minyak.

Letnan kulit putih itu pun datang menghampirinya. Ditemani oleh salah seorang prajurit yang menenteng sepucuk senapan.

“Minggir!” ucap prajurit yang menghampirinya.

Pria itu tidak memegang senjata dan paling banter tingginya tidak sampai sebahu letnan yang ada di hadapannya, namun nyalinya tak bisa diukur dengan kasat mata. Dengan kekeh, ia mencoba menghalau prajurit yang mencoba untuk memasuki rumahnya. Mungkin pria itu berpikir kalau Rewang masih berada di dalam kamarnya, sedang prajurit itu berpikir kalau masih ada beberapa tentara Republik yang bersembunyi di dalam rumah itu.

Melihat tingkah pria itu, letnan itu lantas memaki dengan mulutnya yang besar, “Godverdomme!

Buk! Suara benda tumpul saling beradu. Sekonyong-konyong prajurit itu menghantamkan popor senapannya ke kepala pria itu. Pria itu lantas tersungkur di ambang pintu. Dengan memegang kepalanya, ia mencoba untuk bangkit. Namun, serangan itu tak hanya berhenti sampai di situ. Letnan kulit putih itu lantas menganyunkan ujung sepatu larsnya. Sepakannya mengenai wajah pria itu, membuatnya tergeletak tak berdaya di bawah. Terlihat darah segar keluar dari lubang hidungnya. Kemudian, salah seorang  prajurit masuk ke dalam rumah dengan melangkahi tubuh pria itu.

Rewang sudah tak kuat lagi menahan rasa geram yang berkecamuk di dalam dadanya. Walau udara terasa dingin, namun sejak tadi keringat telah merembes di sela-sela tubuhnya, di ketiaknya, di tengkuknya, di dahinya. Ia tidak mungkin lari. Garis batas perjuangan terbentang luas di hadapannya. Kali ini diangkatnya lagi senapannya. Diarahkannya ke arah letnan itu. Matanya tajam lurus ke depan, bagai seekor burung hantu yang tengah membidik mangsanya di dalam gelap. Jarak mereka tak terlampau jauh. Ia yakin tembakannya tak akan meleset. Diburu nafsu ia lantas menarik pelatuknya dengan segera. Dor! Suara nyalak tembakan kembali memecah keheningan malam. Disusul suara burung-burung yang memekak, mencari tempat perlindungan yang aman. Lalu bunyi benda jatuh ke tanah. Buk! Tubuh letnan yang tegap itu roboh dengan sebutir peluru bersarang di lehernya. Tendengar ia mengerang kesakitan, memanggil para prajuritnya. Sedang Rewang tandas—sudah tidak ada di tempatnya—ditelan oleh pekatnya malam.

 

Cibubur, 13 Maret 2022

Gilang Bina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email