Bagaimana rasanya jatuh dari ketinggian 131,25 meter? Apakah seseorang akan langsung mati? Apakah aku akan langsung mati?
Seratus tiga puluh satu koma dua lima meter. Itu adalah ketinggian gedung apartemen Parahyangan Residence. Angka itu aku hitung sendiri berdasarkan info di internet tentang total lantai yang dimiliki gedung itu dan ketinggian rata-rata satu lantai bangunan. Menurut Wikipedia, gedung itu adalah gedung tertinggi di Bandung.
Namun, aku tidak sedang berada di atap Parahyangan Residence. Kami tidak sedang berada di atap gedung apartemen Parahyangan Residence. Meski begitu, dia telah berhasil meyakinkanku bahwa ini adalah tempat paling tinggi di Bandung. Embusan angin yang kian dingin memaksanya merapatkan badan dan menarik ritsleting jaketnya sampai habis. Asap rokok berembus dari hidung dan celah kecil di antara bibirnya yang nampak terkatup. Mungkin untuk melegakan tenggorokannya yang sejak siang tadi seperti tersumbat makanan sisa pelanggan.
Aku pertama kali mengenalnya sebagai helper di kitchen tempatku bekerja. Dia sudah di sana lebih lama dariku.
“Saya lagi ngumpulin uang. Kalau udah cukup, mau kursus masak dan cari kerja ke Jepang,” katanya begitu saja tanpa aku bertanya. Itu kali pertama jam rehat kami beririsan. Dia kembali ke dapur setelah tahu aku tak mengantongi korek. Begitu dia datang lagi dengan rokok yang telah mengepul, aku mengajukan pertanyaan itu. “Di mana tempat paling tinggi di sini?” Dia mengedikkan bahu kemudian mulai bersenandung, mengikuti musik yang hanya bisa ia dengarkan sendiri.
Dia bukan orang pertama yang kutanyai tentang hal itu.
Jawaban pertama atas pertanyaan itu kudapat dari seorang teman sekelas. Bedanya, dia lebih sering main daripada aku yang hanya tahu rumah, sekolah, dan masjid. Saat itu, bangunan paling tinggi yang pernah kulihat langsung cuma rumah tetangga yang berlantai dua dan aku tahu siapa pun tidak akan mati jika melompat dari atapnya. Karena itu, aku mencari jawaban lain.
“Menara Masjid Agung,” katanya sambil lalu.
“Tingginya berapa meter?” tanyaku. Itu yang paling penting.
Dia nampak tidak yakin tapi tetap menjawab, lima belas meter. Bagaimana rasanya jatuh dari menara masjid setinggi lima belas meter? Apakah kita akan langsung mati? tanyaku lagi. Tidak ada jawaban, tapi sejak itu kami jadi sering bertukar pertanyaan beserta jawaban-jawabannya.
Beberapa tahun kemudian, dia balik bertanya. “Kenapa kamu terobsesi dengan tempat-tempat tinggi?” Waktu itu sebuah tower operator seluler baru saja dibangun tak jauh dari rumahku dan kami sudah beberapa kali berciuman meski belum tahu bahwa sepasang laki-laki bisa berpacaran.
Angin berembus lembut saja ternyata. Permukaan air danau yang tenang nampak seperti lapisan kaca. Langit yang bersih hampir tanpa awan terpantul nyaris sempurna. Aku bisa melihat bayangannya yang sedang duduk di atas batu. Sambil melihat dia melamun, aku bercerita tentang tower operator seluler yang kuyakini lebih tinggi dari menara Masjid Agung.
“Dulu, kata guru ngajiku, hukuman buat orang-orang yang mengikuti perbuatan kaum Nabi Luth adalah dijatuhkan dari tempat tinggi.”
Jawabanku itu disambut oleh angin yang berembus lebih kencang dari sebelumnya. Langit yang sejajar dengan pijakan kakiku mulai bergelombang, begitu pula siluet bayangan lelaki muda yang sedang duduk di atas batu. Suara deru mesin perahu, yang akhirnya mendapat cukup turis sebagai penumpang, jadi pengisi kekosongan kata-kata, meski sekadar sayup-sayup di kejauhan.
“Gak bakal ada yang dijatuhkan dari tempat tinggi,” katanya setelah membuang rokok yang masih cukup panjang ke tanah berlapis rumput. “Kita gak mengikuti perbuatan Nabi Luth,” lanjutnya. Aku menyerahkan bagianku dalam percakapan itu pada suara mesin dari perahu yang makin terasa dekat dan nyaring.
“Aku bukan pengikut kaum Nabi Luth,” katanya lagi sambil beranjak pergi.
Setahun berikutnya, beberapa hari sebelum ulangan umum semester pertama, aku mengajukan pertanyaan lain melalui SMS—sejak obrolan di pinggir danau, kami merenggang seperti tanah lumpur ditimpa kemarau: itu pacarmu? Iya, katanya. Meski dia tidak pernah mengajakku berpacaran, tapi aku mengganggap saat itu adalah tanggal kami putus. Bukan. Dia bukan pengikut kaum Nabi Luth dan dia tak perlu terobsesi pada tempat-tempat tinggi.
Dari sini, bintang terlihat begitu dekat, seperti hamparan bohlam yang menggantung di langit-langit kamar mahaluas yang dicat hitam pekat. Namun tidak hanya menjadi dekat, di sini langit juga seolah menjadi kembar. Di bawah kaki kami, bohlam-bohlam betulan yang berkumpul di ceruk wajan raksasa bernama Bandung juga tampak seperti bintang. Bahkan lebih dekat, lebih terang. Tetapi kami berada di antara kedua langit itu, dan di tempat kami duduk menghadap secangkir kopi hitam yang kian dingin, cahaya hanya sampai sebagai remang, seperti gema terakhir dari sebuah percakapan.
Ciuman pertama kami terjadi kira-kira satu setengah tahun yang lalu. Di kamar kosku yang beraroma apel hijau, aku merasakan sisa-sisa bau tembakau dari bibirnya. Bau itu tak sepenuhnya mengganggu. Aku juga bisa menghirup aroma parfum yang telah bercampur keringat tepat dari bawah rahangnya. Kami melakukannya tanpa kata-kata, meski lampu dibiarkan tetap menyala. Orang-orang seharusnya sudah tidur, dan mereka akan lebih peka pada suara, bukan cahaya. Dalam diam, kami aman.
Setelah beberapa lama kami berpacaran, aku kembali mengajukan pertanyaan yang sama: di mana tempat paling tinggi di sini?
“Kenapa kamu begitu terobsesi pada tempat-tempat tinggi?” tanyanya.
“Dalam cerita-cerita yang aku baca, banyak sekali tokoh gay yang patah hati karena ditinggal menikah oleh pacarnya atau diusir oleh keluarganya setelah dia coming out dan lantas bunuh diri. Menggantung atau menjatuhkan diri dari tempat tinggi.”
“Tidak akan ada yang mati, apalagi karena bunuh diri.”
Orang-orang datang ke tempat ini untuk melihat bintang. Seribu tiga ratus meter saja di atas permukaan laut. Tetapi di sini tak ada gedung—kantor, pasar, maupun apartemen. Hanya ada pepohonan yang batangnya ramping, hamparan ladang sayuran, serta warung-warung yang menjual pemandangan—dan kopi. Mereka mencari sesuatu yang hanya mungkin dilihat berkat ada kekosongan.
Janjinya untuk memboncengku ke sini sudah berumur enam bulan.
“Kita akan pergi ke tempat paling tinggi di Bandung. Bukan untuk mati, tapi untuk pacaran. Sama kayak yang lain.” Dia mengatakan itu sambil mengisap rokok di ambang pintu kamar kosku yang terbuka.
Namun, nyatanya baru sekarang aku sampai di tempat ini, tempat paling tinggi di Bandung pilihan pacarku. Langit kembar di hadapan kami masing-masing menghamparkan semua stok bintang yang dikandungnya. Meski begitu, kami tak tahu apakah bisa tetap berpacaran semalam suntuk seperti rencana semula.
Siang tadi, kami dipanggil berdua oleh manajer resto. Hanya ada kami dan Pak Manajer di ruangan kantor setelah dua orang admin yang biasa bekerja di situ disuruh keluar. Meski itu baru pertama kali terjadi, aku sejujurnya bisa menduga apa yang tengah terjadi. Namun, tetap saja, ketika dugaanku terbukti benar, kerongkonganku tercekat seperti disumpal makanan sisa pelanggan. Melihat rahangnya yang mengeras, aku menduga pacarku juga merasakan hal yang tak kira-kira sama.
Pak Manajer menyodorkan sebuah telepon genggam. Layarnya yang selebar telapak tangan itu lantas berubah menjadi cermin. Di sana, ada kami yang sedang berciuman. Rupanya itu bukan pantulan, melainkan sebuah gambar. Foto lama dari tahun lalu, ketika kamar kosku masih jadi tempat menginap banyak anak-anak resto lain setiap kali mereka malas pulang. Foto yang dari beberapa hari sebelumnya juga telah membuat mereka jadi cerewet.
Gambar yang dikirim oleh sebuah akun anonim ke direct message atasan kami itu tak bersuara. Saat itulah kami belajar bahwa bahkan dalam diam, bahaya tetap mengintai. Kami langsung diminta menyerahkan surat pengunduran diri. “Saya sebenarnya tidak keberatan, tapi HRD sudah keburu tahu, dan mereka gak kayak saya,” katanya.
Aku menunggu di luar selagi pacarku masih berusaha membela diri. Membela kami. Semakin lama, suaranya kian meninggi. Aku kembali ke dalam ruangan dan merangkulnya. Dia melawan. Tubuhnya masih tak rela, tapi aku berhasil membawanya keluar. Sejak itu dia tak berhenti merokok, tanpa berkata apa-apa.
Di kamarku, dia terus terlihat seperti orang linglung. Karena tak betah melihatnya begitu, aku mengambil kunci motor dari jaketnya yang tergantung di balik pintu. Meski tak begitu percaya pada Google Maps, petang itu aku pasrah mengimaninya. Kubonceng pacarku ke tempat ini. Seribu tiga ratus meter di atas permukaan laut. Tempat paling tinggi di Bandung. Tempat kami berencana pacaran semalam suntuk agar yang kuingat tentang tempat-tempat tinggi bukan lagi cerita hukuman mati atau bunuh diri, melainkan genggaman tangan dari seorang pacar yang tak menyangkalku.
“Apa yang kami lakukan bukan urusan HRD. Kami mau pacaran, mau kawin, gak ada pengaruhnya sama perusahaan,” katanya di ruangan Pak Manajer sore tadi. Kami mungkin memang tengah dijatuhi hukuman, meski bukan dari tempat yang tinggi-tinggi amat. Aku hanya seorang runner dan dia helper dapur. Namun berkat apa yang dikatakan pacarku, aku tak merasa sakit meski sempat terkejut.
Dari tempatku duduk, aku melihat wajahnya yang sekusut asap rokok. Mata itu mungkin sedang memikirkan banyak hal. Kemungkinan-kemungkinan buruk. Jelas bagiku, bahwa ucapannya yang di punggungku berubah jadi parasut, tak mempan untuk menenangkan dirinya sendiri. Bibirnya yang memperkenalkanku pada bau tembakau masih mengisap rokok dengan tergesa-gesa, entah rokok yang keberapa. Lantas entah dari bagian mana kepalaku, aku mencium aroma apel hijau.
Dalam porsi yang pas, kegelapan yang tak sepenuhnya dihalau cahaya menjadi selapis tabir yang bisa kujadikan pelindung. Di balik remang itu, aku menggenggam tangannya yang masih sedikit gemetar. Itulah caraku meyakinkannya bahwa di tempat ini, tidak akan ada yang jatuh, apalagi mati. Aku tidak akan jatuh, apalagi mati. Tidak juga dia. Karena aku percaya bahwa pertemuan kami adalah hadiah, bukan jebakan. Bahwa aku mencintainya.
Melalui satu genggaman balik, aku mendapatkan sebuah “aku juga”.
Matanya masih jauh di antara bintang-bintang, tetapi aku tahu, aku bisa percaya.