Redaksi Omong-Omong

Tembok Kena UU ITE, Pak Polisi?

Moch Aldy MA

1 min read

Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan (30/8) menyatakan mural yang berlebihan bisa dipidana dengan UU ITE dan pasal pencemaran nama baik. Mural yang berlebihan itu seperti apa? Apa tolak ukur sebuah mural bisa dikatakan berlebihan dan mencemari nama baik?

Katanya, mural yang dianggap berlebihan adalah mural yang menyudutkan pemerintah dan berpotensi menebar kekacauan. Kekacauan itu apa? Apa ukuran sesuatu dianggap sebagai kekacauan? Bagaimana jika negara memang sedang dalam keadaan kacau bahkan sebelum adanya mural yang dianggap berlebihan? Sebut saja kekacauan karena pandemi Covid-19 dan kekacauan karena korupsi. Juga kekacauan karena korupsi saat pandemi Covid-19.

Pernyataan Polda Sulsel ini kian memundurkan perjuangan kebebasan berekspresi khususnya terkait penghapusan mural-mural kritis di berbagai daerah. Setelah pembuat mural Jokowi 404 diburu, kita sempat memiliki harapan ketika keluar pernyataan dari Presiden Jokowi bahwa mural adalah karya seni dan tak perlu tindakan berlebihan. Tapi harapan itu langsung pupus ketika pembuat mural Jokowi yang matanya tertutup masker di Bandung lagi-lagi diburu polisi.

Kini, pernyataan Polda Sulsel semakin membuktikan bahwa pernyataan Presiden Jokowi tidak memiliki arti apa-apa. Saya tidak akan mengatakan bahwa Presiden Jokowi adalah “The King of Lip Service” seperti yang pernah diutarakan BEM UI. Saya juga tidak akan mengatakan bahwa Presiden Jokowi adalah “The God of Lip Service”. Saya hanya sedikit berharap, semoga Presiden Jokowi mampu merealisasikan ucapan dan kebijakannya dengan nyata, baik, serta bijak.

Kita semua setuju, pandemi COVID-19 membuat keadaan, harapan, dan perut menjadi carut-marut. Di lubuk hati, kita juga mendapati bahwa pemerintah kedodoran menangani krisis ini. Kita tahu, pandemi COVID-19 semakin memperlebar kesenjangan sosial. Di dalam rumah, kita menyadari beberapa orang tidak bisa keluar rumah untuk mencari nafkah. Di luar rumah kita memahami bahwa negara sedang tidak baik-baik saja. Tapi kita dibuat takut untuk menyuarakannya. Mural adalah medium yang paling pas untuk menyuarakan suara-suara bawah tanah, ketika suara di media sosial dengan mudah akan dijerat dengan UU ITE yang lengket seperti karet. Tapi apa jadinya kini jika suara di tembok yang jelas bukan bagian dari teknologi internet pun bisa dikenai UU ITE? Masih adakah ruang-ruang untuk sekadar mengemukakan pendapat dan gagasan?

Pernyataan Polda Sulsel itu jelas mengandung begitu banyak Logical Fallacy (kesalahan dalam menyusun logika). Bagaimana bisa tembok dengan mural di atasnya, dijerat dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik? Alangkah lebih bijak jika UU ITE digunakan untuk mengurusi kejahatan siber, seperti penyalahgunaan indentitas, penipuan berbasis IT, judi daring, penyebaran konten pornografi, SARA melalui media elektronik, hingga pemerasan dan teror di media elektronik. Dengan kata lain, mengayomi dan menghadirkan keamanan bagi masyarakat di dunia maya atau warganet.

Di antara kegamangan kita terhadap kejahatan siber yang kian merajalela—mereka malah membawa urusan realitas ke semesta maya. Seyogianya, polemik liar di tengah pernyataan bahwa mural dapat dipidana UU ITE mampu menjadi renungan bagi aparat yang bersangkutan. Kiranya juga Menteri Komunikasi dan Informatika beserta jajarannya untuk lebih serius lagi dalam mencegah kebocoran data yang tentu merugikan kita semua. Sekian, semoga aroma dari kebebasan berekspresi dapat kita cium dan rasakan dengan nyata.

Moch Aldy MA
Moch Aldy MA Redaksi Omong-Omong

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email