Amang teman sekelasku. Amang juga teman sekelas abangku. Dia juga teman sekelas pamanku. Amang tak pernah naik kelas. Kelas satu terus. Tapi Amang tak malu. Dia sekolah terus. Dia murid yang rajin. Sangat rajin. Dia selalu datang paling pagi. Membersihkan ruang kelas dan papan tulis. Menyiapkan kapur tulis. Merapikan taplak meja guru. Merapikan bangku-bangku. Bahkan dia juga membersihkan kakus sekolah. Rajin sekali dia. Hari Minggu pun dia masuk sekolah.
Aku duduk sebangku dengan Amang, karena tak ada yang mau sebangku dengan dia. Aneh sekali memang, ada seorang berbadan besar di antara kami, anak-anak kecil. Padahal Amang tak jahat. Dia tak mengganggu siapa-siapa. Amang mengikuti pelajaran dengan tertib dan tenang. Tapi sepertinya tak ada yang bisa dia ingat. Dia belum bisa membaca. Menulis juga tak bisa. Aku membacakan untuknya apa yang ditulis guru. Aku juga membantunya menulis.
ini Budi
ini Ibu Budi
ini Bapak Budi
Amang menghapalnya. Aku juga menuliskan angka-angka dan jawaban soal hitungan yang diberikan guru. Amang senang. Waktu pemilihan ketua kelas dia mengusulkan aku. Dia bilang agar semua teman sekelas harus memilih aku. Tak ada yang berani membantah dia. Tak ada juga yang tak patuh padaku, karena Amang akan marah kalau ada yang tak menurut.
Tahun itu Amang naik kelas. Di kelas dua Amang duduk sebangku lagi denganku. Di kelas tiga kami sebangku lagi. Di kelas empat juga. Guru membiarkanku membantu Amang menjawab soal-soal ulangan. Mungkin guru-guru kasihan sama dia. Kalau tak dibantu dia tak akan pernah naik kelas, seperti dia bertahun-tahun duduk di kelas satu.
Pada catur kedua di kelas empat Amang berubah. Burungnya keras sendiri. Amang tak nyaman. Kalau burungnya tegang Amang memukul-mukulnya supaya berhenti tegang.
“Amang, kamu pernah mimpikah?” tanyaku.
“Mim… mim… mimpi apa?” tanya Amang.
“Mimpi sama perempuan?”
“Tid.. tid … tidak pernah,” kata Amang. “Kam.. kam… kamu pernahkah, Wan?”
“Tidak. Aku juga belum pernah,” kataku.
Amang sangat disayangi ayah dan ibunya. Juga oleh kakak-kakaknya. Semuanya tiga orang. Semuanya perempuan. Ayahnya Amang kerja di kapal. Makanya Amang suka pakai pakaian pelaut. Gaji ayahnya sebagai pelaut sangat besar. Makanya dia bisa bikin rumah besar. Rumah paling besar di kampung kami. Ayahnya juga punya beberapa rumah sewa.
Pada suatu hari ada satu keluarga pindah ke kampung kami. Orang Sunda, seorang perempuan tanpa suami, dengan lima anak perempuan. Mereka datang dari kota. Anak-anaknya cantik semua, secantik ibunya. Kata orang kampung perempuan itu janda, ditinggal suaminya kawin lagi. Kami tak peduli, kami terpesona dengan kecantikan anak-anaknya.
Keluarga tanpa ayah itu menyewa rumah ayahnya Amang. Tak jauh dari rumah Amang. Untuk menafkahi keluarganya, Ibu Janda itu – begitu orang-orang menyebutnya – berjualan gado-gado. Ia membuka warung kecil di depan rumahnya. Dia dibantu anak-anaknya. Warungnya langsung ramai. Kami menyebutnya: gado-gado Ibu Janda. Aku sering diajak Amang makan gado-gado di situ. Aku rasa gado-gadonya memang enak. Tapi menurutku tak seenak gado-gado ibuku. Ibuku berjualan gado-gado tiap hari Jumat di halaman masjid. Sejak Ibu Janda berjualan gado-gado ibuku tak berjualan lagi. Ibuku mengalah, kasihan Ibu Janda itu, kata ibuku.
Anak-anak Ibu Janda satu per satu dilamar dan dikawini orang kampung. Ibu janda tak pilih-pilih. Asal ada yang mau, dia kawinkan anaknya. Tinggal si kecil. Namanya Si Ening. Dia paling cantik dibanding kakak-kakaknya. Hanya Ening yang sekolah. Dia sekelas dengan kami.
Sejak ada Ening di kelas kami, Amang memakai kacamata.
Matanya sejak lahir bermasalah. Tak tahan silau. Kalau melihat lampu, atau cahaya terang, matanya jadi mengernyit-ngernyit. Makanya dia selalu pakai topi. Sejak lama dia juga sudah dibuatkan kacamata oleh ayahnya. Tapi Amang malas memakainya.
“Hi… hi… hidungku capek,” kata Amang.
“Kenapa sekarang kamu pakai kacamata, Mang?” tanyaku.
“Ak… ak… aku mau lihat En… en… ening lebih jelas,” kata Amang.
Tidak ada yang berani mengganggu Ening. Ening di bawah perlindungan Amang. Dia mengancam siapa saja yang mengganggu Ening.
“En… en… ening itu tunanganku. Ca… ca… calon istriku,” kata Amang.
Ening anak yang manis. Ramah. Cenderung pemalu. Kalau bicara, suaranya seperti berbisik. Kalau tertawa jadi merah mukanya. Bibirnya mengkilap seperti buah ceri pas matang-matangnya. Matanya seperti kerlap-kerlip lampu kapal di tengah laut pada malam hari. Rambutnya panjang, hitam, ikal besar-besar, selalu ia ikat dengan sapu tangan.
Tak ada anak yang tak suka pada Ening, kecuali yang sedang tak waras. Bahkan Si Enot Gila, yang tiap malam jadi penunggu jembatan kampung itu pun suka pada Ening. Dia kirim salam sayang lewat aku. Ini kalau sampai Amang tahu, bisa jadi perkelahian besar.
Ening anak yang pintar. Tulisan tangannya bagus sekali. Dia juga pandai menggambar. Menggambar bunga-bunga. Dia suka sekali membuat kruistik. Pada jam istirahat dia mengerjakan itu. Dia katanya sedang menyelesaikan satu kruistik yang mulai dia kerjakan sejak dia tinggal di kota dulu, sebelum ayahnya pergi meninggalkan ibunya. Kawin dengan perempuan lain.
“Jadi gambar apa itu, Ning?” tanya seorang teman perempuan.
“Gambar dua anak kecil. Laki-laki dan perempuan. Seperti ini,” kata Ening menunjukkkan pola gambar yang ia contoh, dengan tanda berbeda untuk warna benang yang berbeda. Ening mengajari teman-teman perempuan bagaimana menusukkan jarum dan menghitung pola.
Sekarang ada sainganku, yaitu Ening. Biasanya nilai ulangan harian di kelas selalu aku yang paling tinggi. Sekarang ada dua orang yang selalu dapat ponten 100. Saya dan Ening. Sesekali aku dapat 80 atau 90. Ening tetap dapat 100. Aku senang saja karena yang mengalahkanku adalah Ening. Senang rasanya bisa membuatnya bahagia. Tapi tampaknya Ening biasa saja.
Aku tak berani menyukai Ening, karena aku tahu Amang suka sama dia. Ening tak suka surat-suratan. Banyak teman laki-laki kirim surat cinta buat Ening. Dia tak pernah membacanya, apalagi membalasnya. Dibuka pun tidak. Semua surat itu dia berikan padaku.
Kata Ening, “aku tak berani bawa pulang. Nanti ibuku marah. Kata Ibu, aku harus sekolah. Semua kakakku tak ada yang sekolah. Semua sudah kawin. Kamu saja yang simpan, Wan.”
“Buang saja, Ning. Robek, atau bakar.”
“Jangan. Aku mau kamu simpan. Boleh ya?” aku tak bisa menolak Ening, kalau dia sudah mengiba begitu.
Aku jadi tahu siapa yang paling gombal di antara kawan-kawan pengirim surat cinta itu, siapa yang suratnya menyontek mentah-mentah dari buku 100 Contoh Surat Cinta yang dijual di pasar malam kampung tiap Jumat malam.
Karena Ening tak mau surat-suratan, maka aku jadi juru pesan antara Amang dan Ening. Ening tak pernah menunjukkan bahwa dia tak suka pada Amang. Biasa saja. Dia berusaha ramah, seperti dia ramah pada siapa saja.
Amang semakin jatuh cinta pada Ening. Dia sekarang belajar main gitar. Ayahnya membelikannya di kota. Katanya Ening suka menyanyi. Amang ingin mengiringi Ening menyanyi.
Lagu yang paling disukai Ening itu lagunya Heidy Diana Bintangku Bintangmu.
“Wan, bi… bi… bintangku apa, ya?”
“Leo…,” kataku.
“Bintang Leo….” Amang bernyanyi sambil jreng jreng jreng. Lalu dia terdiam.
“Wan, ak… ak… aku semalam mimpi, Wan,” kata Amang.
“Mimpi apa?”
“Ya… ya… yang kamu bilang itu.”
“Mimpi basah?”
“I… i… iya, Wan.”
“Sama siapa?”
“Sa… sa… sama Ening.”
Amang lalu menceritakan bagaimana mimpinya. Aku tak suka mendengar ceritanya itu. Aku jadi berharap bagaimana aku juga bisa bermimpi seperti itu. Tapi aku belum sunat. Kata ibuku, nanti kalau naik kelas enam baru aku akan disunat.
“Wan, a… a… aku mau kawin sama Ening,” kata Amang.
“Nanti kalau sudah lulus,” kataku.
“A… a… aku sudah bilang sama bapakku, Wan.”
“Apa kata bapakmu?”
“Na… na… nanti kalau sudah lulus. Ta… ta… tapi kan aku su… sudah tua, Wan. Sudah sunat. Sudah mimpi basah. Sudah bo… boleh kawin.”
“Tapi Ening masih muda, Mang.”
Amang diam. Ia melepas dan memasang kaca matanya berkali-kali. Saya lihat batang hidungnya merah dan lecet. Amang gelisah.
“Bilang ke E… E… Ening aku tunggu dia be… be… besar…. Bi… bilang ya, Wan.”
“Iya,” kataku.
Tiap hari, Amang cerita padaku dia mimpi basah. Katanya sebelum tidur dia lihat-lihat kartu bergambar perempuan tak berpakaian. Kartu itu dia curi dari kamar bapaknya. Kartu dari kapal, katanya.
“Wan, a… a… aku mimpi basah lagi.”
“Sama Ening lagi?”
“Iya,” kata Amang. Ia tersenyum mesum. Aku tak suka melihat senyumnya itu. Tapi dia Amang temanku. Teman yang berjanji akan meminjamkan aku kartu yang bikin dia mimpi basah tiap malam.
“Wan… a… aku bisa menulis sekarang,” Amang keluarkan kertas dari saku bajunya. “Li… lihat, Wan.”
Kertas itu bertulisan nama: Amang dan Ening. Aku tak suka melihat tulisan itu. Tak suka melihat nama Ening disandingkan dengan nama Amang.
“Wan, a… aku mau ngo… ngomong sama Ening, mau bi… bilang ke Ening. Bi… bilang aku suka sama di dia.”
“Kan sudah kubilang ke dia, Mang.”
“A… aku mau bi… bilang langsung. Ki… kita… kita ke rumahnya, yuk, Wan.”
Aku dan Amang datang ke rumah Ening. Ibunya tidak berjualan. Rumahnya sepi. Sejak kakak-kakaknya menikah, Ening hanya tinggal berdua di situ. Ening sedang duduk menerawang. Kruistiknya ia biarkan terhampar di lantai. Ia melamun. Seperti hendak menangis. Aku bicara pada Ening bahwa Amang mau bicara dengannya. Amang menunggu di teras.
“Ngomong aja di sini,” kata Ening. “Aku tak boleh ke mana-mana, aku jaga rumah.”
“Kamu sendiri? Ibumu ke mana?”
“Ibu ke kota. Katanya ada orang yang mau ketemu sama dia.”
Tadi rencananya Amang mau bicara sama Ening di pantai. Kami sering main ke sana. Pantai teduh, banyak pohon pinus di sana.
“Gimana, Mang?”
“Ka… kasih aja ini,” kata Amang memberikan kertas dengan tulisan dia tadi. Amang lalu pulang lebih dahulu. Aku kembali menemui Ening.
Sejak itu, Ening berubah jadi makin pendiam. Warung gado-gado ibunya lebih sering tutup. Berarti ibunya sering pergi ke kota.
Ening juga menjauhi aku dan Amang. Ia selalu menghindar kalau kuajak bicara. Kalau dia sedang sendiri di rumah, dia juga tak mau ditemui.
Sebulan setelah kenaikan kelas, kami kelas enam sudah, dan Ening pindah sekolah. Ibunya pindah ke kampung yang jauh dari kampung kami, kampung yang lebih dekat ke kota.
“Alamatmu di mana? Atau alamat sekolahmu? Boleh aku kirim surat nanti?” tanyaku saat ia bilang mau pindahan. Ening bilang dia tak tahu, nanti dia yang akan kirim surat padaku.
“Kirim aja ke sekolah ya.”
“Jangan. Aku kirim ke rumahmu.” Dia mencatat alamat rumahku.
Sejak Ening pindah, Amang tak mau sekolah. Dia bolak-balik saja dari sekolah ke rumah milik ayahnya yang tadinya disewa Ening dan ibunya. Bolak. Balik. Kalau capek, dia duduk di teras. Main gitar. Nyanyi lagu cengeng.
“A… a… a… aku nunggu Ening. Kami mau kawin,” kata Amang kalau ditanya sedang apa di teras itu. Kepada semua orang dia tanya siapa yang tahu ke mana Ening pindah. Di pasar malam kampung Jumat malam, Amang juga berteriak-teriak, “E… e… e… ning mana Ening… Ening mana, kami mau kawin. Si… si… siapa yang tahu Ening di mana?” Amang bahkan pernah bikin pengumuman di masjid.
Amang kehilangan Ening. Aku juga merasakan itu. Seperti anak ayam yang tertinggal sendiri di kandang. Berkeciap sedih memanggil induk. Seperti bebek sakit yang disungkup tak bisa ke mana-mana.
Surat Ening datang beberapa bulan kemudian. Ia selipkan fotonya. Ia cerita juga tentang sekolah barunya. Teman-temannya. Dia tanya apa kabarku. Tapi yang paling mengejutkan dari suratnya adalah hal terkait Amang. Dia tulis begini:
“…apa kabar Amang? Aku takut kalau dia tahu apa yang terjadi. Aku kasihan padanya. Diam-diam, ayahnya rupanya menikahi ibuku. Aku tak suka tapi aku tak bisa apa-apa. Makanya kami pindah. Tak mungkin tinggal di sana….”
Aku berhenti membaca. Dadaku penuh dengan perasaan yang jelas. Sesak. Terkejut. Tak percaya. Terbayang wajah Amang, Ening, Ibu Ening, Ayah Amang, Ibu Amang.
“…balas suratku ya, Wan. Kirim fotomu juga. Beberapa bulan di sini aku tak menemukan teman sebaik dan sepintar kamu….”
Demi temanku Amang, rasanya aku tak akan pernah membalas surat Ening. Aku masih simpan kertas dengan tulisan tangan Amang yang hari itu tak kuberikan pada Ening.
Sejak Ening pergi, Amang tak pernah masuk sekolah lagi, dan sejak itu di kampung kami ada dua penunggu jembatan: Enot dan Amang. Mereka selalu bertukar cerita tentang mimpi basah, dan bertengkar siapa di antara mereka yang lebih mencintai Ening.
Jakarta, 8 Oktober 2022
***
Editor: Ghufroni An’ars
Cerita yang menyedihkan. Kasihan si Amang yang menjadi gila karena ayahnya sendiri. Tetapi orangtua hanya manusia biasa yang tidak bisa mengontrol emosi dan kebutuhan hidup mereka. Namun di sisi lain, anak menjadi korban mereka. Semoga tidak ada Amang – Amang lainnya di dunia nyata.