World Economic Forum (WEF) memperkirakan ada 85 juta pekerjaan hilang di tahun 2025. Pada waktu yang sama, 95 juta lapangan kerja baru akan tumbuh di mana sektor yang bersinggungan dengan teknologi, kecerdasan buatan, serta otomatisasi mengambil alih. Ramalan ini diamplifikasi para pesohor ekonomi, pelaku bisnis, motivator bisnis, hingga content creator di beragam platform media sosial.
Disrupsi yang terjadi seiring perkembangan dunia membuat shifting ini terkesan “alami” sesuai kodratnya. Pandemi Covid-19 pun ikut andil menstimulan akselerasi transisi. Kebijakan social distancing dan work from home membuat orang bertumpu pada teknologi dan akses internet agar tetap terkoneksi dengan dunia sekitar.
Baca juga:Kolaborasi Manusia dan Mesin
Kecenderungan teknologi (gawai, internet, hingga perangkat virtual reality) sudah seperti gaya hidup bukan saja menimbulkan adiksi berbahaya, pun menjadikan dunia yang makin terpolarisasi. Dekade ’90-an orang masih membayangkan apakah robot akan mengambil alih pekerjaan mereka. Saat ini, komunitas di dunia bersepakat bahwa bahan bakar masa depan adalah kecerdasan buatan.
Revolusi industri kali pertama terjadi ketika James Watt membuat mesin uap yang mendisrupsi cara kerja tradisional. Bertahap kemudian komputer pertama muncul. Disusul fase internet dan ke depan adalah dunia robotik.
Setelah era taipan minyak, raksasa teknologi mengambil alih kemudi utama. Wall Street membuat indeks khusus untuk Apple, Amazon, dkk. Apa yang Bill Gates omongkan adalah rujukan, bahkan bila ia bukan virolog. Anak-anak bercita-cita menjadi YouTuber karena era ini melahirkan selebriti di beragam bidang yang tidak perlu justifikasi atau kedalaman pengetahuan atas konten-kontennya. Elon Musk punya space rocket. Dan, tentu saja, Mark Zuckerberg membuat dunia riuh karena tak cukup mendirikan “negara” di dalam negara bernama Facebook, ia membuka wacana lahirnya universe baru memadukan realita dan virtual.
Masyarakat masa depan di-drive oleh teknologi. Semuanya akan serba instan, cepat, lebur. Tidak ada lagi barrier. Dunia tak memiliki sekat. Semua punya kesempatan, menjadi apa saja, dan akses yang sama. Menjanjikan.
Terdengar futuristis dan… agak di luar jangkauan, bukan?
Di negara berkembang seperti Indonesia hal itu bisa saja masih halusinasi. Banyak sarkasme terlontar bahwa bagaimana kita menjelajah Metaverse kalau Pak Camat saja masih minta fotokopi e-KTP; kebocoran data yang tak ditindak serius; scamming dunia maya; dan, utamanya, akses internet yang tidak merata.
Tapi paradoksnya netizen Indonesia paling cepat termakan kata-kata bombastis dari teknologi. Tanpa pengetahuan yang mencukupi, orang-orang dengan gampang terjun ke pasar crypto yang amat volatil atau ikut membeli NFT dengan harga tak wajar sambil berharap akan ada penawar bodoh lain yang membeli jauh lebih mahal.
Pejabat pemerintah ikut mencekoki narasi Metaverse dan Industri 4.0. Seolah dengan kata sakti itu kita telah siap menghadapi industri high class, menjadi bagian society yang sama sekali baru dan liar.
Baca juga: Jika PNS Diganti Robot
Tak Punya Pilihan
Booming teknologi sebenarnya telah lahir beberapa tahun silam. Namun, selama hampir dua tahun pandemi, para miliarder baru terus lahir. Sebagian besar adalah taipan teknologi yang kapitalisasi perusahaannya bahkan jauh di atas APBN. Mereka kelompok beyond country. Boleh dibilang pemilik modal inilah sponsor sekaligus penggerak akan ke mana arah masa depan.
Mayoritas dari kita adalah manusia yang kadang tidak punya banyak pilihan. Kita bekerja pada ladang usaha yang telah ditentukan baiknya di sektor apa. Seorang sarjana psikologi harus menjadi banker karena industrinya lebih available. Pilihan fashion tahun ini adalah hasil diskusi desainer Paris, Milan, atau New York. Langkah investasi tergantung hubungan Amerika dan Cina. Perang dagang atau tidak; tapering atau inflow ke emerging market; cetak Dolar baru atau pakai Bitcoin. They control everything.
Negara dunia ketiga tak punya banyak opsi karena ekonomi mereka tergantung apa yang dirapatkan di Washington. Ibarat penyakit, jika Washington sakit banyak negara ikut merasakan demamnya.
Begitu pula ekonomi dan pekerjaan di masa depan. Kesepakatan WEF men-drive angkatan kerja harus lebih tech-minded dan otomatisasi. Pada tahun 2050 tidak akan ada lagi lowongan telemarketer, akuntan, penjaga bioskop, apoteker, bahkan dokter. Seolah hanya itulah pilihan di tengah gelombang disrupsi.
Bagi negara yang sudah advance, tentu gap skill itu tidak akan terlalu lebar. Namun negara berkembang bahkan miskin tentu harus ekstra kerja menutup lowong yang kadung lebar. Posisi human capital belum mencapai level di atas teknologi. Revolusi teknologi terlalu cepat untuk diimbangi manusia. Banyak yang masih berusaha memahami (atau mengendalikan). Idealnya ketika teknologi sudah cerdas butuh kebijaksanaan dan nalar kritis manusia agar mesin tidak “buta.”
Hal yang terjadi sekarang manusia harus mengejar bahasa teknologi. Tidak sempat menguasai wisdom karena tuntutan jangka pendek harus paham konsep digital marketing, coding, atau data science. Arus ini tidak bisa ditolak. Mau tak mau orang dipaksa beradaptasi dengan apa yang telah dipilihkan bagi mereka. Disparitas pengetahuan akan tetap ada.
WEF tidak bersepakat profesi paling menjanjikan pada 2025 adalah petani. Biarkan negara di Amerika Selatan atau Asia Barat yang memproduksinya. Pekerjaan yang bersinggungan dengan lingkungan tak lagi menjadi prioritas karena hunian berikutnya sudah di angan: Mars. Uang hanya mengalir ke sektor yang menjanjikan keuntungan.
Baca juga: Petani Milenial: Meringis di Negeri Agraris
Tak heran alur perkembangan lahan basah ini selalu dinamai Revolusi Industri. Sistem yang tetap langgeng selama berabad-abad karena dalam tiap fase disrupsi selalu ada yang diuntungkan. Siapa? Tentu bukan grass root seperti masyarakat kebanyakan.
Disrupsi ini bukan hal yang bisa kita kendalikan. Darwin mengatakan hanya organisme yang bisa beradaptasilah yang akan selamat. Masa depan akan makin materialistis. Uang masih menjadi “ilusi” yang disepakati dunia. Investasi berharga hari ini adalah menemukan kebijaksanaan. Tidak memandang segalanya hanya hitam-putih. Merasa cukup. Menjadi manusia, bukan mesin.