Tatanan Keluarga

mutiara anggi

10 min read

Di sebuah gang sempit dan remang, berdiri sebuah toko buku kecil. Papan namanya usang, berderik-derik ditiup angin, dan tulisannya kabur tak lagi dapat dibaca.

Di dalam toko, rak-rak buku berdiri sesak menutupi dinding. Tumpukan buku menggunung hampir menutup lantai. Hawa pengap dan debu tebal memenuhi ruangan.

Pemilik toko buku ini adalah seorang wanita setengah baya. Dia terlihat sedang duduk terkantuk-kantuk di ujung ruang. Tampaknya, semua buku yang dijual di sini adalah buku bekas dan ditata dengan aturan khusus buatan si pemilik toko. Aturan penataan buku itu diberi nama “tatanan keluarga”.

Menurut tatanan keluarga, semua buku dikelompokkan menjadi keluarga-keluarga kecil. Di setiap keluarga, ada buku yang berperan sebagai ayah, ibu, anak pertama, anak kedua, dan seterusnya. Lalu apa yang menentukan satu judul buku layak menjadi seorang ayah? Atau ibu? Atau juga anak? Entahlah, semua itu sesuka hati si pemilik toko.

Aku sendiri, termasuk salah satu buku yang diberi keluarga di sana. Namun, prosesnya tidak mudah. Aku bukan buku yang datang dari penerbit, tubuhku tidak berjilid, juga tak berjubah sampul cantik. Si pemilik toko sendiri yang menciptakanku, novel pertama dan satu-satunya yang pernah dia tulis. Butuh sebelas tahun sampai dia yakin di keluarga mana aku akan ditempatkan.

Pada hari yang spesial itu, aku diletakkan—dijejalkan, lebih tepatnya—di salah satu rak buku yang sangat tersembunyi, tempat di mana keluarga baruku tinggal. Kulirik dengan cepat, keluargaku berjumlah empat buku. Bisik-bisik dari buku lain terdengar riuh melihatku datang. Gawat, kurasa ini akan menjadi gawat.

“Lihat! Ada buku yang masuk ke keluarga itu!”

“Wah, wah, dia masuk ke keluarga favorit si pemilik toko.”

“Siapa dia?”

“Isinya pasti sangat bagus!”

“Coba kita tebak, dia buku fiksi atau nonfiksi?”

“Tapi, apa kau yakin dia buku? Kenapa bentuknya seamburadul itu?”

“Berani taruhan, dari bentuknya dia pasti hasil fotokopi diktat kuliah.”

Tiba-tiba terdengar deham yang sangat keras dari salah satu anggota keluargaku. Deham darinya seketika meredakan kegaduhan toko.

“Apa judulmu, Nak?” tanyanya. Semua buku menatapku.

“Judulku… Wani Ati.”

Buku itu tersenyum hangat. “Selamat datang di keluarga kecil kami, Wani Ati. Mari kuperkenalkan. Di ujung sini ada ayahmu, Kanvas karangan Seymour Wood. Lalu aku—kamu boleh memanggilku Ibu—judulku adalah Suatu Hari Kita Menanam Pohon di Tangan Kiri, karangan Fujiwara Maiko. Dan ini anak pertama di keluarga kami, ditulis oleh Soenjoto, judulnya Madame Bleu. Kamu boleh memanggilnya Madam Bleu atau Kak—”

“Madam Bleu lebih baik,” sahut Madam sambil mencoba menyingkirkan debu di ujung atas sampulnya.

Si Pohon Kiri—eh, maksudku Ibu, melanjutkan, “Lalu ini anak terakhir kami, Galonku Ada Lima, buku kumpulan puisi dari Ara Cengho…”

“Galon. Panggil aku Galon,” Galon tersenyum lebar padaku.

“Ah, karena kamu diletakkan di antara Madam Bleu dan Galon… berarti sekarang Wani yang jadi anak kedua di keluarga kita!” Oh, rupanya Wani jadi nama panggilanku sekarang.

“Eh, tak apa ‘kan kupanggil Wani? Atau kamu punya nama panggilan lain?” Oh, benar rupanya! Konon seorang ibu bisa membaca pikiran anak!

“Wani…,” sahutku sambil mengangguk pelan. Ibu pun tersenyum semakin cerah, tapi seketika wajahnya berubah bingung. Perhatian dari seluruh buku di toko masih terpaku pada kami.

“Eh… sekarang apa lagi ya yang harus kita lakukan untuk menyambut Wani?”

Terdengar teriakan dari ujung toko, “Hei, suruh dia ceritakan isi bukunya pada kita!” Semua pun kembali hening menunggu suaraku.

“Eh… Wani,” Ibu mencoba menengahi karena aku tak kunjung bicara. “Maaf, mungkin yang lain terlampau tertarik padamu karena kami dengar si pemilik toko sendirilah yang menulismu. Belum pernah sebelumnya kami lihat si pemilik toko meletakkan hasil karyanya di sini. Bahkan melihatnya menulis pun tidak pernah!”

Ibu diam sebentar untuk memperhatikan reaksiku, “Kamu mau… menceritakan sedikit tentangmu?”

Bolak-balik kucoba membuka mulut, tapi tak ada satu pun kata yang berhasil keluar. Bagaimana aku harus menceritakannya pada mereka?

Wani Ati… judulmu itu berasal dari bahasa Jawa, ‘kan?” Madam Bleu sepertinya menangkap kegugupanku. Aku mengangguk cepat untuk menjawabnya.

Wani artinya berani. Ati artinya hati. Kalau begitu, hati yang berani?” tanyanya lagi.

Aku mengangguk kembali seperti orang bodoh, lalu sekuat tenaga memberanikan diri untuk menyahut, “Dan… wanita. Permainan kata dari wanita. Wanita… wani ati.”

“Oh… wanita yang berhati berani!” timpal Galon bersemangat. Seisi toko mulai gaduh kembali. Mereka ramai membahas judulku.

“Aneh, ya. Ada kata berani di judulnya, tapi kenapa dia setakut itu untuk bercerita?” Mereka bertanya-tanya penuh keheranan. Aku pun ikut bertanya-tanya, kapan neraka ini akan berakhir?

“Begini saja,” Madam Bleu berkata padaku dengan suara yang sengaja dikeraskannya agar bisa didengar oleh yang lain. “Sepertinya kita sudah terlalu lancang meminta Wani bercerita, tanpa lebih dulu memberikan sambutan yang ramah padanya,” Madam Bleu melirik tajam ke arah buku-buku yang lain. “Wani, apakah kamu sudah pernah mendengar isi cerita kami sebelumnya?” tanya Madam. Aku menggeleng cepat.

“Kalau begitu,” lanjut Madam, “sebagai hadiah sambutan untukmu,  bagaimana kalau kami saja, keluarga barumu, yang menceritakan tentang isi buku kami padamu? Setelah itu, kalau kamu sudah merasa nyaman, kamu bisa menceritakan isimu pada kami semua di sini. Atau hanya pada kami, keluargamu. Kalaupun tidak mau sama sekali juga tidak apa-apa.”

Ibu dan Galon mengangguk setuju, sementara buku-buku lain mengeluh kecewa. Aku mengangguk pasrah. Setidaknya, aku bisa tahu isi cerita dari buku-buku favorit si pemilik toko.

“Tapi, Ayah…,” Galon memandang khawatir ke arah Ayah.

“Biar Ibu saja,” sahut Ibu sambil melirik ke arah Ayah, seolah sedang meminta persetujuan darinya. Sementara yang sedang diperhatikan masih saja bergeming. Aku baru sadar buku itu—Ayah, maksudku—sedari tadi, di tengah kegaduhan seisi toko, dia hanya diam dan melamun dengan pandangan yang jauh. Apa dia tidak menyukai kedatanganku?

“Jadi, Wani…,” kata Ibu, “kita mulai dari cerita ayahmu, ya. Judul ayahmu adalah Kanvas, novel karangan Tuan Seymour Wood. Kanvas bercerita tentang sepasang suami istri yang berprofesi sebagai pelukis. Si istri merupakan seorang pelukis yang sangat terkenal. Namanya dikenal luas sampai ke banyak negara. Pameran lukisannya selalu dinanti dan dipenuhi oleh begitu banyak peminat seni. Sedangkan suaminya, dia adalah seorang pelukis amatir. Si suami baru belajar melukis sejak menikah dengan si istri. Di tengah pernikahan…,” Ibu melirik ke arah buku-buku lain yang kini mulai bosan dan mengindahkan dirinya. Dia tersenyum lega lalu melanjutkan, “Di tengah pernikahan mereka, si suami tiba-tiba berubah menjadi sangat aneh. Dia tidak lagi mau berbicara, satu kata pun tidak. Membisu sepanjang hari, pandangannya selalu saja kosong. Dia juga punya hobi baru, tiap sore memandangi kanvas-kanvas kosong di rumahnya. Hanya dipandangi saja, tidak disentuhnya sama sekali.”

“Kesurupan,” ujar Galon yang langsung disambut lirikan tajam dari Ibu. “Mirip kesurupan, ‘kan? Tapi ini bukan cerita horror,” kata Galon lagi sambil menggelengkan kepala.

Ibu melanjutkan bercerita, “Si suami mulai bertingkah aneh seperti itu sejak tahu bahwa istrinya suka berselingkuh. Si istri sering sekali bepergian jauh ke banyak tempat untuk melukis. Dan di setiap perjalanan, dia selalu membawa pria lain. Selingkuh menjadi satu-satunya sumber inspirasi untuk melukis.”

“Kalau si istri pulang dengan membawa kanvas kosong, itu artinya hubungan perselingkuhannya baru saja kandas. Kanvas kosong itu tidak diperbolehkan oleh si suami untuk dibuang. Sayang jika dibuang begitu saja, katanya. Si suami berjanji, dia yang akan memakai kanvas-kanvas itu untuk berlatih melukis. Tapi, pada akhirnya si suami tidak mampu memenuhi janjinya. Kanvas-kanvas kosong itu hanya mampu dia tatap setiap sore. Semakin hari jumlahnya semakin menumpuk, semakin menyesaki ruang, dan semakin hening pula sisa sore milik sang suami. Tidak tahan dengan semua kesesakan dan keheningan itu, di akhir cerita si suami memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.”

Kami semua terdiam dan melirik ke arah Ayah. Dia masih saja bergeming, raut wajahnya tidak menunjukkan satu pun perubahan. Aku mengerti sekarang, Ayah memang kesurupan. Kesurupan si tokoh suami di ceritanya.

“Tuan Seymour Wood, penulis cerita Ayah, apakah… di akhir hidupnya, dia juga…?” tanya Madam Bleu.

“Tidak,” jawab Ibu cepat, “tentu tidak. Bagaimanapun juga karya ini hanyalah fiksi, walaupun banyak juga yang lebih bisa berkata jujur lewat fiksi. Tapi, ada yang bilang bahwa menulis Kanvas adalah salah satu cara Tuan Wood untuk ‘membunuh’ sebagian dari dirinya. Setelah menerbitkan Kanvas, karya-karya selanjutnya dari Tuan Wood memang masih banyak bernuansa muram. Tapi, akhir ceritanya selalu mengandung harapan. Nah, sekarang sudah siap untuk mendengarkan cerita Ibu?”

Kulirik ke arah buku-buku lain, mereka sama sekali sudah tidak memperhatikan kami. Ibu terlihat merapikan lekukan-lekukan kecil di ujung sampulnya sebelum mulai bercerita.

“Judul Ibu adalah Suatu Hari Kita Menanam Pohon di Tangan Kiri. Ditulis oleh Nona Fujiwara Maiko. Kisahnya… kita mulai dari mana, ya? Oh, dimulai dari seorang gadis muda yang sedang berjalan-jalan tidak jauh dari rumahnya. Gadis itu suka sekali berjalan kaki sambil melamun.”

“Suatu hari, di tengah perjalanan, dia berpapasan dengan seorang anak kecil, laki-laki berumur sekitar sembilan tahun. Ketika menyadari kehadiran si gadis, anak kecil itu tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dia berdiri diam dan memandangi si gadis dari seberang.”

“Si gadis bertanya-tanya, kenapa anak itu malah mematung setelah melihatnya? Apakah mereka saling kenal? Karena penasaran, gadis itu pun ikut menghentikan langkah dan berdiri dalam diam. Kedua orang itu saling menatap untuk waktu yang cukup lama.”

“Tiba-tiba, si anak kecil berlari menghampirinya. Mengucapkan permisi, lalu meraih tangan kiri milik si gadis. ‘Lihat Nona,’ kata anak itu, ‘ada pohon yang sedang tumbuh di sini.’ Anak kecil itu menunjuk pergelangan tangan kiri si gadis. ‘Pohon?’ tanya si gadis keheranan. Bagaimana mungkin bisa ada pohon di tangannya? ‘Iya, pohon! Sekarang masih kecil, tapi nanti dia akan tumbuh, tumbuh, dan tumbuh. Ada pohon yang tumbuh di tangan kiri Nona!’ Anak kecil itu berseru riang lalu segera berlalu pergi.”

“Walaupun merasa bingung, si gadis tidak memedulikan percakapan itu. Hanya celotehan anak kecil, pikirnya. Keesokan hari, entah suatu kebetulan atau tidak, tangan kiri si gadis terbakar saat sedang memasak. Untunglah api dapat segera dipadamkan, si gadis juga tidak mengalami luka yang serius. Tapi, terdapat luka bakar yang meninggalkan bekas di sepanjang tangan kirinya.”

“Selepas kejadian itu, si gadis tiba-tiba merasa seolah dirinya seperti sebuah tempayan yang sangat dipenuhi oleh air. Kalau tidak lekas dikurangi, si gadis merasa air itu akan segera meledakkannya, membuat tempayannya hancur berkeping-keping. Alhasil, air yang berlebihan itu dialirkannya ke tempat lain, yaitu ke atas kertas.”

“Si gadis kini suka sekali menulis. Sepanjang hari yang dilakukannya hanyalah menulis. Apa pun yang dilihatnya, dipikirkannya, dilamunkannya, dan dipendamnya, semua dituliskannya di atas lembar demi lembar kertas. Kertas-kertas di kamarnya pun semakin menumpuk. Dia tidak tega membuangnya begitu saja. Terlebih lagi, dia malu jika ada orang lain yang membaca tulisannya.”

“Akhirnya dia pergi ke sebuah hutan yang tidak begitu jauh. Di dalam hutan, ada satu pohon besar yang diyakini warga setempat sebagai pohon tertua di desa. Di bawah pohon besar itu, si gadis menyembunyikan kertas-kertas tulisannya. Dia memasukkan kertas-kertasnya ke dalam sebuah kotak, lalu mengubur kotaknya di bawah pohon, di sela akar-akar tebal yang timbul. Setiap seminggu sekali, si gadis akan datang untuk melakukan hal yang sama.”

“Namun, suatu hari, si gadis terkejut karena mendapati isi kotaknya kosong. Semua kertas-kertas tulisannya raib entah ke mana. Aneh, pikir si gadis. Kejadian itu pun terus berulang selama berminggu-minggu.  Semua kertas selalu sudah hilang setiap kali si gadis datang dan membuka kotak.”

“Karena semakin penasaran, gadis itu pun memutuskan untuk melakukan sesuatu. Kali ini, dia bersembunyi di balik semak tebal selepas mengubur kertas-kertas tulisannya. Diawasinya pohon itu sepanjang malam, tapi tak ada satu pun hal yang terjadi. Kotak rahasianya tetap aman terkubur di dalam tanah.”

“Saat fajar mulai menyingsing, si gadis menyerah dan beranjak untuk pulang ke rumah. Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara dari arah pohon besar. Terlihat sesosok manusia yang sedang membungkuk, mengais-ngais tanah, lalu membuka kotak milik si gadis.”

“Si gadis sangat terkejut. Dengan tubuh yang gemetar ketakutan, dia menghambur keluar dari balik semak dan menghampiri sosok itu. Tangannya berusaha menjulur cepat untuk merebut kotak berharganya, namun gerakannya tiba-tiba terhenti. Ditengoknya lekat-lekat, sosok misterius itu memiliki wajah yang tidak asing baginya.”

Ibu terdiam sebentar, menarik napas panjang, lalu berkata, “Nah, Madam Bleu, sekarang giliranmu. Kamu mau menceritakannya sendiri atau Ibu yang ceritakan?”

Eh? Tunggu sebentar! Ceritanya sudah selesai? Hanya sampai situ?

Melihat wajahku yang kebingungan, Ibu berujar, “Nona Fujiwara menulis Ibu sebagai novela terakhirnya. Ketika ajal menjemput, beliau belum sempat menyelesaikan cerita ini.”

“Ah… sayang sekali,” kata Galon, “kira-kira siapa orang yang mengambil isi kotak si gadis?”

“Entahlah, Ibu juga tidak pernah tahu. Tapi, setahu Ibu, memang ada seseorang yang selalu mengikuti semua tulisan Nona Fujiwara, bahkan sebelum buku Nona dikenal oleh banyak orang. Dia juga satu-satunya orang yang dipercaya Nona untuk menjadi pembaca pertama bagi semua naskah bukunya, sebelum naskah-naskah itu diserahkan pada penerbit. Novela ini sepertinya ditulis dan dipersembahkan untuk orang itu.”

“Tapi,” Madam Bleu buru-buru menimpali, “Nona Fujiwara terkenal sedikit aneh—maaf, Ibu. Dia hidup sendiri dan sepanjang hidupnya seringkali berbicara dengan pohon di pekarangan rumahnya. Bisa jadi orang kepercayaannya itu adalah sebatang pohon! Lagipula cerita ini banyak sekali bercerita tentang pohon, ‘kan?”

“Ya… bisa jadi,” jawab Ibu setengah melamun. “Ah, entahlah, ini juga masih menjadi teka-teki yang besar bagi Ibu. Sekarang giliranmu bercerita, Madam Bleu—eh, tidak! Bagaimana kalau Galon saja yang lebih dulu bercerita?” Ibu kembali memperhatikan raut mukaku. “Ibu rasa cerita Ibu cukup membingungkan karena tidak selesai. Puisi Galon selalu bisa menghibur hati yang bingung, ‘kan?”

Galon mengangguk dua kali. Dia berdeham kecil lalu berujar, “Salam! Salam! Salam kenal, Kak Wani! Judulku Galonku Ada Lima.” Dia membusungkan bagian judulnya agar terlihat sangat jelas.

“Dirangkai oleh pujangga wanita: Ara Cengho. Namanya aneh? Tentu saja! Karena itu nama pena. Nama asli dirahasiakan. Bisa jadi nama aslinya lebih aneh, hahaha!”

“Sebelum tulis puisi,” lanjut Galon, “Ara Cengho bikin tokoh khayalan dulu. Yaitu, nona penjaga galon! Nona kerja jaga galon. Tiap hari. Di sebuah kampus. Bareng mahasiswa-mahasiswi kece. Cendekiawan petentengan necis. Kalau mereka haus, datang ke galon Nona! Kalau galonnya habis, Nona lari pasang yang baru. Wanita rajin!”

“Belasan tahun Nona sudah kerja jaga galon. Bisik-bisik orang juga ikut kencang. Kerja jaga galon mana mentereng? Nona sudah tua, seharusnya kerja di menara! Seharusnya menikah! Punya anak! Kaya raya dan wangi! Kenapa pilih bau galon?”

“Ah, tapi Nona tidak peduli. Tidak dengar! Air sumber kehidupan! Nona yang jaga sumber kehidupan! Biar cendekiawan itu makin pintar, harus banyak minum air! Air pencerdas bangsa! Semua itu Nona yang jaga.”

“Tapi, ada satu rahasia Nona. Diam-diam, kepala Nona suka berpuisi. Saat patroli isi galon, Nona bikin puisi. Saat istirahat minum teh di samping galon, Nona bikin puisi. Saat lari kejar galon menggelinding, Nona juga bikin puisi. Puisi apa yang Nona bikin? Ara Cengho yang jawab, di buku puisi Galonku Ada Lima!” Galon kembali membusungkan judulnya.

“Kak Wani, mari dengar satu puisinya. Yang satu ini, terinspirasi dari lagu anak-anak, Balonku Ada Lima. Eh, siapa yang buat lagu ini? Pak Kasur atau A. T. Mahmud? Ah, bunyinya begini.”

“Galonku Ada Lima

Galonku ada lima,
rupa-rupa mereknya.
Tiap hari galon sapa,
‘Glung, glung, glung!’

Galonku punya susah,
tidurnya tidak nyenyak.
Hatiku ikut kacau,
kupeluk erat-erat.

Galonku ulang tahun.
Kuberi kado istimewa,
lima ekor ikan mas.
Semoga bisa berkawan.

Galonku bergembira.
Kini tidurnya nyenyak,
ngoroknya lantang terdengar.
‘Glung, glung, glung!’

Besoknya aku susah.
Galonku tak lagi laku.
Galonku ramai tahi ikan.
Amboi, pusingnya!

Tapi galonku tak susah.
Ikan mas haha-hihi berenang.
‘Blukutuk, blukutuk, blukutuk!’
‘Glung, glung, glung!’”

“Sekian dan terima kasih,” kata Galon menutup puisinya. Ha? Puisi apa ini? Ibu jelas salah. Puisi Galon sama sekali tidak bisa menghibur hati yang bingung. Yang ada malah makin bingung!

“Waaah, pujangga kita!” Ibu dan Madam Bleu bersorak senang. Galon berbangga hati tersenyum lebar.

“Cepat bacakan puisi lainnya,” pinta Ibu.

Galon menolak cepat, “Besok lagi saja,” katanya. “Satu hari, satu puisi, hehehe.”

“Baiklah, giliranku bercerita kalau begitu,” ujar Madam Bleu, “sudah mulai larut malam, sebaiknya kita segera selesaikan sesi bercerita ini.”

Benar juga, sekarang toko sudah sangat sunyi. Buku-buku lain sama sekali tidak mengindahkan kami lagi. Mereka sudah mulai nyenyak dalam tidurnya.

“Eh, kamu sudah lelah, Wani? Atau mau kuceritakan besok saja?” tanya Madam Bleu.

“Sekarang saja,” pintaku cepat. Mumpung tak ada lagi buku yang terbangun selain kami. Madam Bleu mengangguk.

“Judulku Madame Bleu, novel yang ditulis oleh Soenjoto. Orang-orang lebih sering memanggilnya Madam Soenjoto.” Eh? Madam? Kukira penulisnya laki-laki.

“Madam Soenjoto adalah seorang transpuan. Aku—novel ini, maksudnya—berkisah tentang seorang transpuan bernama Madame Bleu. Dia tinggal dan membuka toko buku kecil di sebuah gang lokalisasi. Karena koleksi bukunya yang menarik—ah, gawat. Aku sudah sangat mengantuk sekarang. Kamu yakin Wani, tidak mau mendengarkan ceritaku besok saja?”

“Ceritakan sedikit lagi saja,” pinta Ibu. Madam Bleu menghela napas.

“Karena koleksinya yang menarik,” lanjutnya terpaksa, “toko buku Madame punya beberapa pelanggan setia. Kalau dilihat dari luar, Madame seakan menjalani hidup sendirinya dengan sangat tenang di dalam toko bukunya. Tapi, semua orang yang mengenalnya tahu, Madame memendam amarah yang sangat besar di dalam hatinya. Nah, cukup sampai di sini saja ceritaku. Janji besok akan kulanjutkan,” kata Madam Bleu dengan wajah yang sedikit memohon.

“Sebenarnya,” kata Galon yang tidak mengindahkan Madam, “Madame Bleu ini mirip si pemilik toko. Ya, ‘kan? Keduanya punya toko buku kecil. Apa si pemilik toko suka sama Madame Bleu karena itu?”

“Grok, grok, groook!” dengkur Madam Bleu mengagetkan kami.

“Bisa jadi,” sahut Ibu sambil tertawa kecil, “selain itu, mereka juga punya kesamaan lain. Keduanya memendam amarah yang besar. Ah, Wani, maafkan kami. Madam rupanya sudah terlalu lelah. Kita lanjutkan besok saja, ya? Ah, tapi, bisa jadi buku-buku itu akan ribut lagi besok.” Ibu menghela napas panjang.

“Sebenarnya,” lanjut Ibu ragu-ragu, “banyak buku di sini yang tidak suka ditata dengan tatanan keluarga. Tidak suka dengan peran yang mereka miliki. Ada ayah buku yang lebih ingin menjadi ibu. Ada anak buku yang merasa lebih pantas untuk menjadi ayah. Ada pula buku yang sama sekali tidak ingin berkeluarga. Wani, kamu satu-satunya buku di sini yang punya hubungan begitu erat dengan si pemilik toko. Mungkin buku-buku itu hanya melampiaskan kekesalannya padamu.”

“Aku penasaran,” kata Galon, “selama ini, siapa yang lebih berperan sebagai keluarga untuk si pemilik toko? Keluarga aslinya atau kita, keluarga buatannya?” Galon menatapku dan Ibu bergantian. Ibu menggeleng bingung.

“Wani, kita lanjutkan besok lagi, ya…,” kata Ibu sambil memejamkan mata.

Aku terdiam pasrah. Matilah aku. Bagaimana cara memberi tahu mereka? Kemarin, sehari sebelum aku dibawa ke sini, si pemilik toko itu mencabut semua halaman tulisan yang ada padaku. Semua halaman yang sudah susah payah dia tulis selama belasan tahun. Entah dia apakan kertas-kertas itu. Yang tersisa padaku sekarang hanyalah lembaran kertas kosong.

mutiara anggi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email