Di ruangan ini, aku kehilangan memori dan waktu.
Aku tak tahu sudah berapa lama atau kenapa aku di sini. Waktuku tidak dibagi dalam detik, menit, atau jam. Kini aku menghitung waktu dengan cahaya matahari yang masuk lewat celah papan yang dipakukan ke jendela, bunyi macam-macam binatang ketika malam menjelang, dan waktu ketika payudaraku berdenyut-denyut minta disedot oleh bayiku yang mungil.
Lelaki itu datang setiap hari, dua atau tiga kali sehari. Kini ia sudah tidak lagi menghampiriku, berbasa-basi menanyakan keadaanku, atau sandiwara lainnya yang dulu menipuku habis-habisan. Wajahnya telanjang sudah. Ia masuk dengan raut wajah kaku, meletakkan baki berisi makanan hangat, mengambil baki berisi makanan dingin dan basi karena banyaknya tak kusentuh, lalu keluar. Kadang, mata kami bertemu. Dinginnya tatapan itu mampu membekukan.
Tiap kali melihatnya, suara sepupu-sepupuku kembali bergaung ramai di telingaku. “Dia hanya memanfaatkanmu!” Mereka pasti sedang bersorak-sorai kini ketika mereka tahu tebakan mereka benar. Sebagai putri semata wayang, ayahku memberikan seluruh kendali atas imperium bisnisnya. Dan aku, dengan tololnya, luluh dalam pelukan laki-laki ini, dan memberikannya seluruh kekuasaan. Aku mundur, tidak ke latar belakang, tapi jauh lagi ke belakang. Aku menjadi ibu rumah tangga yang baik. Menyambutnya saat ia pulang kerja, memasak makanannya, menyiapkan kebutuhannya. Kehidupan kami baik-baik saja saat itu.
Dokter lalu mengumumkan kehamilanku selang enam bulan dari pernikahan kami. Suamiku menangis saking bahagianya. Aku bisa merasakan ia lebih menyayangiku, menjagaku. Ia selalu bilang, anak kami akan cantik sepertiku.
“Bagaimana kalau ia laki-laki?” tanyaku waktu itu. Suamiku menggeleng mantap.
“Tidak. Perasaanku mengatakan bahwa ia adalah gadis kecil yang manis.”
Ketika bayiku lahir, kebahagiaan kami runtuh.
Persalinannya sulit. Dan sakit. Sakit bukan main. Kepingan-kepingan memoriku terserak tak beraturan. Darah, teriak-teriakan, lampu terang yang bikin mata nyaris buta, banyak orang di ruangan. Sisanya sakit, sakit, sakit, lalu gelap.
Ketika aku terbangun, yang pertama kulihat adalah wajah suamiku. Wajah pucat pasi itu barangkali hanya kalah oleh kertas. Tubuh kecil bayi melekat di dadaku. Air mataku tumpah. Kalau tak ingat betapa makhluk ini rapuh, ingin aku memeluknya erat-erat. Membawanya keluar dan memamerkannya pada siapapun yang melihat. Suamiku duduk di sebelahku, mengelus rambutku dengan ekspresi yang tak bisa kujelaskan karena mataku mengabur dan kesadaranku bahkan lebih kabur. “Namanya Evan,” ujarnya. “Anak kita laki-laki.
Setelahnya, suamiku jadi gila.
Ia tak pernah barang sekali pun menimang Evan seperti yang kulakukan setiap hari. Anakku manis. Ia tak banyak menangis. Kalau sedang terbangun, matanya jelalatan ke sana kemari, seperti haus mereguk dunia baru yang jauh lebih semarak ketimbang rahim tempatnya dulu bersemayam. Kadang bibir kecilnya tersenyum. Tangan kecilnya menggapai-gapai wajahku. Kakinya menendang-nendang, seperti yang ia dulu lakukan di perutku. Barangkali ia heran hanya udara yang tertendang, bukan lagi dinding daging yang memeluknya selama sembilan bulan. Aku tak pernah bosan memeluk Evan. Rasanya berat jika aku harus meletakannya di kasur. Kalau ia tidur, aku akan bergelung di sebelahnya. Kadang, aku kuat menonton ia tidur sampai ia terbangun lagi. Aku tak ingat waktu. Tak ingat siang atau malam. Aku tak punya memori apa pun selain Evan dan segala tingkah lakunya yang lucu.
Mungkin suamiku cemburu. Atau mungkin, ia memang tak pernah ingin punya anak laki-laki. Atau lebih mungkin lagi, ia tak pernah ingin punya anak denganku. Ia membenci Evan dengan intensitas yang membuatku ngeri. Kebencian itu terlihat dari caranya menatap Evan yang berselimut biru di pelukanku. Kebencian itu makin lama makin kuat hingga rasanya menguar dari pori-pori kulitnya. Ia tidur memunggungiku. Evan tak pernah disapanya lebih dari tatapan sambil cemberut.
Setelah tubuhku tak lagi terlalu sakit, aku meletakkan Evan di kereta bayinya, dan membawanya keluar untuk berjalan-jalan di taman depan komplek. Aku tak bertemu banyak orang. Namun, ketika kuceritakan pada suamiku tentang pelesir siangku dengan Evan, matanya melotot marah. Ia memaksaku menyebutkan siapa saja yang kujumpai, yang tentu saja sudah hilang sama sekali dari ingatanku. Ia terlihat begitu murka.
Lalu besoknya, ketika aku terbangun dan meraih Evan ke dalam pelukanku, kusadari bahwa jendela kamarku ditutup papan. Aku bangkit dan meraih pegangan pintu, hanya untuk mendapati bahwa pintu itu dikunci dari luar.
Aku kebingungan. Kukira suamiku mungkin pergi sebentar, dan ia mengunci pintu kamar supaya aku dan Evan aman. Sayangnya, aku harus menunggu berjam-jam. Suamiku pulang dengan kemeja yang kusut, dan raut wajah yang lebih masai. Aku menatapnya dengan bingung. “Kenapa pintunya dikunci?” tanyaku heran. Ia tidak menjawab. Sama diamnya seperti pintu yang hari-hari berikutnya juga menolak terbuka. Suamiku menyediakan makanan, minuman, dan semua kebutuhanku. Ia pulang kantor lebih cepat untuk menyediakan semua itu tepat waktu. Tapi tiap kali aku bertanya, ia hanya diam.
Suatu hari, suamiku akhirnya bisa berkata-kata. Suaranya aneh. “Berikan… dia padaku.”
Aku tahu siapa yang dia maksud. Rasa ngeri merayapi hatiku. Wajah suamiku yang tampan kini datar dan tegang. Ada sesuatu yang buas di balik air mukanya yang biasanya cerah. Diam-diam, dengan cemas, aku melirik Evan yang sedang tidur dengan damai. Aku menoleh pada suamiku lagi, lalu bertanya dengan lagak pilon, “Siapa?”
Suamiku menghela napas. Ia melirik Evan. Wajahnya mengernyit, seakan ia jijik pada anaknya sendiri. Rasa marah membakarku. Sudah cukup ia tidak membantuku mengurus Evan, sekarang ia malah menunjukkan sikap seperti ini. “Dia,” kata suamiku dengan suara serak, “aku akan membawanya.”
Aku menggeleng. “Tidak,” aku berkata tegas, “aku ibunya.”
Ia menatapku. Sudut matanya berkedut. Kelelahan merayapi bola matanya yang dulu tak pernah gagal membuatku terkesima. “Aku… ayahnya,” balasnya. Ada ragu yang terselip dalam bantahan itu.
Aku menggeleng kuat-kuat. “Tidak. Kita rawat dia bersama.”
Lalu, aku menepuk-nepuk Evan dengan sayang. Evan membuka matanya pelan-pelan. Aku tersenyum lebar. Kuraih ia dalam pelukanku. “Lihat, ia bangun. Tidak bisakah kau menunjukkan sikap yang agak manis?” Aku berkata pada suamiku.
Lelah di wajah suamiku itu berubah jadi muak. Tiba-tiba, ia menyambar Evan dengan kasar dari pelukanku. Tubuhku bereaksi dengan cepat. Mulutku membuka mengeluarkan jeritan. Aku melayangkan tangan dan mencakar wajahnya dengan membabi buta. Kurebut Evan kembali. Suamiku meraung kesakitan. Evan menangis. Ruangan itu sejenak penuh jeritan.
Aku beringsut ke sudut terjauh ruangan, sebisa mungkin menciptakan jarak dengan suamiku yang masih menangkup wajahnya sambil merintih kesakitan. Ketika ia menemukanku meringkuk di pojok kamar, ia bangkit. Kudekap Evan sedekat mungkin ke dada. Aku akan melindunginya, apa pun ganjarannya. Takkan kubiarkan seorang pun menyakitinya.
Tangan lelaki itu terjulur meraihku. Diguncangkannya bahuku sambil meneriakkan kata-kata entah apa yang semuanya tak bisa masuk ke telingaku. Aku terlalu dicekam ketakutan. Kulihat wajahnya yang merah dan dihiasi baret dari kuku-kuku jariku. Matanya memerah, seakan ikut berdarah juga. Setelah berteriak-teriak di wajahku, ia mundur. Lalu tiba-tiba ia duduk sambil memeluk lututnya sendiri. Ia menangis terisak-isak. Tubuhnya terguncang-guncang. Aku menatapnya dengan nanar. Aku tak peduli padanya. Ia ingin menyakitiku dan bayiku. Anak dan istrinya sendiri!
Ketika tangisannya reda, ia menatapku lagi. Tatapan ketakutanku bertemu dengan matanya yang basah. Ia merangkak menghampiriku, memeluk lututku, sementara aku mengkerut ketakutan. Kini ia berbicara dengan nada sendu, betapa ia mencintai aku dan Evan, betapa ia merindukan aku dan Evan, betapa ia ingin memelukku dan Evan. Ia memohon padaku untuk memberikan Evan padanya. “Kumohon, Sayang, kumohon. Berikan ia padaku. Nanti, kita akan punya anak lagi. Anak perempuan manis.”
Kenapa ia begitu terobsesi dengan anak perempuan? Apa yang salah dengan anak lelaki? Apa yang salah dengan Evan? Lalu kata-kata beracun yang dulu kuterima dari saudara-saudaraku menggema kembali di ingatanku. Segalanya jadi terasa lebih masuk akal.
“Kau takut Evan akan mengambil alih perusahaan itu darimu. Kau tahu ia pewaris yang sah,” ucapku pahit. Suamiku menatapku dengan mata membelalak. Tatapannya begitu penuh dengan ketidakpercayaan, melawan tatapanku yang penuh tuduhan. Ia mundur sejenak, lalu terkekeh. Kekehannya berubah jadi tawa. Terbahak-bahak sampai ia batuk dan menyemburkan ludah. Di sela-sela tawa mengerikannya aku masih bisa mendengar isak. Ia tertawa sambil menangis. Suamiku benar-benar sudah gila.
Setelahnya, ia pergi meninggalkan kamar. Suara pintu yang dikunci membuatku sedikit lega. Aku membuai Evan dengan sayang. Berbisik minta maaf karena ayahnya tak waras. Kuletakkan Evan di kasur, dan aku meringkuk di sisinya. Kugumamkan lagu yang dulu sering ibuku nyanyikan ketika aku kecil.
Hal itu terjadi berulang kali selama hari-hari berikutnya. Suamiku akan masuk ke kamarku, memohon agar aku sudi memberikan Evan, lalu ia akan marah, menangis, tertawa. Kadang-kadang, ia akan meninju dinding, menendang pintu, membentur-benturkan kepalanya ke kasur dengan marah, disertai suara mengerikan macam binatang terluka. Kalau ia menyentuhku, bahkan dengan lembut sekalipun, aku akan menjerit sekuat yang kubisa. Akhirnya, lama-lama, kami saling membiarkan.
Aku kehabisan akal dan tenaga untuk membuat aku dan bayiku bisa keluar dari ruangan terkutuk ini. Tak ada benda apa pun yang cukup berguna untuk kugunakan mencongkel pintu atau menusuk suamiku kalau dia datang. Semuanya sudah ia singkirkan dengan cermat. Cermin di kamarku dilepas. Jendela dilapisi satu papan lagi. Aku mati kutu.
Yang kulakukan setiap hari hanya menimang bayiku. Aku terhibur oleh tingkahnya yang lucu dan manis. Evan adalah satu-satunya jangkar yang kupunya untuk bertahan hidup. Untuk tetap makan sesuap-dua suap demi memberinya air susu. Untuk tetap menahan kecamuk keinginanku untuk melakukan sesuatu yang ekstrem dan membahayakan diriku sendiri.
Suatu hari, celah yang kunanti itu tiba. Kuduga, suamiku memberiku obat tidur dalam susu yang ia bawakan tiap pagi sebelum ia berangkat kerja. Minum susu itu membuatku mengantuk dan tertidur lama. Tapi hari itu, selepas meminum susu, aku muntah-muntah hebat. Susu yang sekarang berakhir di toilet tak lagi membuat mataku berat. Saat itulah, aku mendengarnya.
Suara seorang wanita bersenandung. Awalnya lirih, lama-lama makin nyaring, lalu lirih lagi. Sepertinya ia berjalan hilir mudik. Lalu terdengar suara barang yang diseret, disusul dengung sesuatu. Wanita itu sedang membersihkan rumah, dugaku. Insting pertamaku adalah bertanya-tanya mengenai kehadiran wanita itu, namun ketika mataku menemukan Evan, aku sontak menggedor pintu yang terkunci. Aku berteriak minta tolong dengan histeris. Suara dengungan dan senandung itu berhenti.
Lirih, namun pasti, kudengar suara langkah yang mendekat. Bukan langkah berdentam-dentam dan cepat milik suamiku, tapi langkah berjingkat-jingkat. Wanita itu datang. Wanita itu datang! Aku menempelkan sebelah mataku di lubang kunci. Kulihat bayangannya di lantai.
“Tolong,” ujarku lemah di sela isak. “Tolong, saya tahu kamu di sana. Tolong saya. Saya janji saya akan berikan apa pun untukmu.”
“Eh, maaf, Nyonya? Ada yang bisa saya bantu?” Suara wanita itu gugup.
“Ya, ya, tolong. Saya disekap suami saya. Saya dan anak saya. Kami dikurung di sini entah sudah berapa lama. Tolong kami… demi Tuhan, tolong saya…” Aku memohon dengan suara tergugu.
Terdengar suara napas tersentak. “Apakah… apakah ada bayi di dalam sana?” tanyanya lirih, menyerupai bisikan.
Aku mengangguk kuat-kuat, lupa wanita itu tak bisa melihat. “Ya. Ya. Anak saya. Tolonglah ia. Suami saya gila. Ia ingin membuang anak saya supaya tak punya keturunan anak lelaki.”
Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Lubang kunci ini membatasi pandanganku hanya sampai lehernya. Tapi, aku bisa merasakan keraguannya. Aku mulai memohon lagi padanya. “Tolong saya. Saya hanya ingin melindungi anak saya.”
Gerak-gerik wanita itu gelisah. Akhirnya, ia berkata, “Kenapa kalian dikurung, eh, Nyonya?”
“Saya tidak tahu. Demi Tuhan, saya tidak tahu. Suami saya datang setiap malam untuk mencoba merebut bayi saya. Saya tahu ia mau membuang… bayi saya… anak kami…”
Lalu tangisku pecah lagi. Tubuhku sampai terguncang-guncang dan tenggorokanku perih.
Wanita itu mengetuk pintu dengan halus. “Nyonya? Saya akan kembali ke sini. Dengar? Saya akan membawa polisi. Ya? Bertahanlah, Nyonya. Saya harus melakukan ini ketika suami Nyonya ada di sini, supaya ia bisa ditangkap. Saya berjanji saya akan kembali.”
Sedu sedanku berangsur-angsur tenang. “Saya akan menunggu. Tapi, demi Tuhan, bantulah saya. Saya nyaris gila disekap di sini.”
Wanita itu menenangkanku kembali, setelah itu ia pamit. Suamiku akan pulang dua jam lagi, begitu katanya. Ia akan segera pergi ke kantor polisi. Kebebasanku bergantung pada wanita itu. Wanita asing yang sama sekali tidak kukenal, tapi berjanji akan membantuku keluar dari penjara sialan ini.
Sesuai perkataan wanita itu, suamiku pulang tak lama kemudian. Aku meringkuk di sudut kasur. Evan tertidur dengan damai di sebelahku. Kususun bantal dan selimut sedemikian rupa mengelilinginya agar ia nyaman. Harapanku, wanita itu benar-benar datang membawa bala bantuan. Tapi jika tidak, aku sudah bertekad kali ini aku akan memberi kejutan pada suamiku.
Ketika pintu itu terbuka, suamiku melangkah masuk dengan baki di tangan. Ia menghindari tatapanku dan melangkah menuju meja kerja, tempat ia biasa meletakkan makanan. Saat itulah aku melompat dan serta merta menarik baki di tangannya. Serangan tiba-tiba itu membuat gelas dan piring plastik yang ia gunakan jatuh ke lantai. Makan malamku berhamburan di lantai, bersama dengan teh hangat yang tumpah ke mana-mana. Aku menarik baki itu lepas dari tangannya dengan mudah, dan kubantingkan baki alumunium itu ke kepalanya.
Ia berteriak marah. Tangannya yang kekar meraih kedua tanganku, mencoba menghentikan seranganku itu. Aku balas berteriak. Kukeluarkan semua makian terkasar yang pernah kutahu. Jeritan kami yang tumpang tindih membuat kami tak mendengar suara yang menuju ke arah kami. Yang kutahu, tiba-tiba seseorang meraih tanganku dan menarikku menjauh dari suamiku. Seorang lain melakukan hal yang sama padanya.
Masih gemetar karena marah, aku melihat sosok pria berseragam di balik suamiku, mengatakan sesuatu dengan tegas agar suamiku mengontrol emosinya. Aku melihat seorang pria dengan seragam yang sama di pintu, dengan seorang wanita di sampingnya. Butuh beberapa saat bagiku untuk mengingat bahwa wanita itu adalah wanita yang tadi kulihat sosoknya dari balik lubang kunci.
Bantuanku datang! Terima kasih, Tuhan!
Suamiku menyadari bahwa ia sudah kalah. Ia menunduk, lalu tiba-tiba menangis tersedu-sedu tanpa malu. Aku menatapnya dengan angkuh. Terkuaklah kini lelaki seperti apa ia sesungguhnya.
“Tolong… Jangan bawa istri saya pergi, saya mohon. Saya akan menjaganya dengan baik… Ia akan sembuh, ia akan sembuh, saya bersumpah…”
Aku menangkap apa yang ia katakan dari balik sedu sedannya dan gelegak emosi kembali memenuhi dadaku. “Kau yang akan dibawa pergi! Kau menyekapku! Aku dan Evan!” semburku galak.
Para pria berseragam itu meminta kami tenang dengan suara tegas. Kami dibawa ke ambang pintu, dan berhadapan dengan pria yang kurasa adalah pemimpin mereka.
“Nyonya, mohon tenang, Nyonya! Saya perlu tahu apa yang terjadi…”
“Yang terjadi? Dia menyekap saya! Dia memperlakukan saya seperti tahanan! Saya berhari-hari diam di sini bersama bayi saya, tanpa tahu apa salah saya!”
Suamiku masih tersedu. Pipinya basah oleh air mata. Aku sama sekali tak merasa iba padanya. Kurasa, cintaku padanya habis sudah.
Wanita yang sedari tadi diam menonton keributan itu dengan gugup. Aku menatapnya. Wajahnya sederhana dan lugu. Ia balas menatapku takut-takut. “Saya… saya hanya berusaha menyelamatkan bayi itu…” ujarnya lemah.
Suamiku, menyadari kehadiran wanita itu, mendongak. Ia menatapnya dengan mata bengkak dan berair. Tak jelas apakah ia menyesal, tapi raut wajahnya tak berubah terkejut atau apa. Ia masih menangis, entah kenapa.
“Bayi itu, di mana ia?” tanya si pemimpin. Aku menoleh ke kasur, melihat tumpukan bantal dan selimut yang melindungi Evan.
Mengikuti arah pandangku, si pemimpin berkata pada wanita itu, “Boleh bantu saya amankan anak itu, Nona?”
Dengan gugup, wanita itu bergegas ke arah kasur. Aku melihat dengan cemas ketika ia membongkar jalinan selimut untuk mendapatkan Evan. Isakan suamiku tiba-tiba makin keras, ia nyaris melolong ketika mengatakan, “Ersa… Sayang… Kenapa kamu tidak mau mendengarkanku…”
Wanita itu sudah meraih tubuh Evan yang terbalut selimut biru, menariknya ke dekapan, dan terpekik kaget. Evan jatuh begitu saja, tubuhnya terbalik. Aku menjerit marah. Reaksi wanita itu membuat semua orang terkejut, dan dengan mudah aku memberontak dari tangan petugas yang menahanku. Aku memburu wanita itu, mendorongnya dengan kasar, dan meraih Evan ke dalam pelukanku.
Anakku yang malang! Apa yang dilakukan wanita gila itu?
“Dasar tidak becus! Pegang bayi saja tidak sanggup…”
Wanita itu menatapku dengan tatapan horor. Ia menekap mulutnya dengan satu tangan. Matanya membelalak ketakutan.
“Apa yang terjadi?” tuntut si pemimpin. Mereka bergegas menghampiri kami, dan entah kenapa aku merasa terancam. Aku berjalan mundur dengan Evan di pelukanku. Aku menatap mereka semua dengan marah, tak lagi merasa mereka adalah bantuan.
“Itu… itu…” Tergagu wanita itu menatap Evan di pelukanku.
Suamiku menangis makin keras. “Ersa, dengarkan aku…”
“Nona, apa? Tolong bicara yang jelas!”
“Ersa…” Suamiku memanggilku lagi.
“Itu bukan bayi, Tuan… Bukan bayi sungguhan…” jawab wanita itu dengan gemetar.
“Evan sudah tak ada, Sayang. Kenapa kamu tak pernah bisa menerimanya? Ia meninggal ketika dilahirkan…”
Dusta yang mereka katakan benar-benar membuatku murka. Aku menjerit marah, melempar semua bantal dan selimut di kasur sekuat tenaga. “Dasar bajingan! Pembohong! Keluar! Keluar kalian semua!”
Mereka berusaha menghindar dari amukanku yang tiba-tiba, aku terus meneriakkan makian dan kutukan pada mereka, sementara mereka berusaha menenangkanku.
Tenggorokanku rasanya seperti tercabik, namun aku baru berhenti ketika suara itu terdengar. Evan. Malaikatku yang mungil, menangis kencang. Aku tergugu. Kupeluk ia lebih erat, kucium rambutnya, berusaha menenangkannya. Namun tangisannya malah makin keras.
“Diam! Diam! Bayiku menangis karena keributan kalian!” teriakku putus asa.
Barangkali karena kini aku sudah mulai meneteskan air mata, mereka akhirnya menatapku dengan iba. Suamiku merintih memanggil namaku dengan lirih. Aku menimang Evan dalam pelukanku, menepuk-nepuk tubuhnya yang mungil.
“Sayang… Evan, anak Mama… Jangan menangis, Sayang. Mama di sini, Nak…”
Tangisan Evan memenuhi kepalaku sampai kupingku berdenging. Air mataku terus mengalir karena sedih mendengar tangisannya. Dalam kekacauan itu, sesuatu yang janggal memberitahuku bahwa ruangan itu hening dan mereka tak mendengar suara tangisan anakku. Tapi, aku mendengarnya dengan jelas. Aku mendengarnya dengan jelas! Ini Evan, anakku!
“Evan sayang… Jangan menangis, Nak… Mama di sini…”