Langit yang mahapemurah menebarkan benih-benih cahaya bagi para pemimpi, dan seribuan harum kembang bertumbuh dari mimpi-mimpi kecilnya. Siang terik yang telah penat menyisakan darah-darah, dan waktu menghapus segala jejak ringkihnya. Kini tinggallah malam yang sunyi. Di mana seluruh angan bermuara menuju tempat teduhnya.
Di alam bawah sadar, bibirku berucap beberapa patah harap yang rapuh. Sekonyong-konyong kuingin membangun sampan kecil dari bambu-bambu tua. Kudengar ada suatu tanah lapang kosong di ujung arus sungai, yang belum tersentuh tangan-tangan manusia. Pohon-pohon hanya berdiri kokoh dan tidak takut sewaktu-waktu digusur hanya sekedar ia tak memiliki surat pijakan akarnya. Begitupun kupu-kupu beterbangan membawa musim semi yang gemilang, hangat, manis, dan harum.
Sudah sedari lama aku ingin pergi jauh. Menelusuri waktu-waktu yang terhempas memanjang di sekitar ruang-ruang yang tak mengenal masa lalu, dan esok pun tak lagi menjadi murni selain sekedar musuh perang dalam sepekan. Bagi para penyendiri yang bermukim di bawah tanah, dan para terabaikan yang tak sanggup bangkit dari kasurnya, malam adalah pesta pora yang tak mengenal kata lelah. Di balik bilik-bilik mungilnya, yang saling terpisah satu sama lain, mereka serupa aku, yang mengidam-idamkan tanah merdeka, luas, dan tak pernah tersentuh oleh sumpah serapah dan nafsu para berhala.
Maka kukutip batang-batang bambu yang menguning dan kecokelatan satu persatu, kemudian kususun berbaris. Dengan kulit-kulitku yang terkelupas, kuikat ia dari satu batang ke batang yang lain, dan borok bekas luka di wajah akibat moncong senapan kujadikan pula sebagai pasaknya. Di depan, air sungai berkemilauan membias langit yang berkunang-kunang oleh bintang. Dengan hausnya ia memanggil-manggilkan namaku, lantas kuangkutlah sampan kecil itu dan melepaskan dia di atas air yang menggenang. Aku gembira melihatnya dapat mengambang sempurna di atas air dan mataku berkaca-kaca di saat dia pun dapat menampung berat beban tubuhku. Segala peluh di kening menjadi dingin.
Angin mulai bertiup mengembus. Sampanku melaju ke depan di antara arus-arus yang tenang. Melewati suara tiupan jangkrik di padang rumputan pinggiran kali. Siluet pepohonan berjejer di kiri dan kanan. Kulihat bulan bermata satu begitu megah dengan lingkarnya yang sempurna. Kuyakin dia memberkatiku malam ini, yang rahmatnya terjatuh lewat tangan dan kaki-kakiku. Lantas aku menggumamkan suatu nyanyian kecil sebagai hiburan. Dan serangga-serangga mulai beterbangan ramai di sekelilingku. Kudengar pula ia menyanyikan alunan yang sama dengan yang apa yang kulantunkan.
Keluh kesah, desah, dan melemas, perasaan sepi bercampur sunyi tanah di bawah langit ini mulai merayap dalam sanubariku. Betapa kuingin mengajak dan berserikat orang-orang serupaku untuk mengaburkan dirinya jauh-jauh, menerobosi ruang dan waktu yang tak pernah menjadi milik kami dan mengarungi luasnya sejarah menuju tanah yang bahagia di ujung sana.
Sejatinya aku sudah mendamba sejak lama, perjalanan ini. Diawali dengan beberapa bulan lalu, di saat aku mendengarkan sebuah puisi dari penyair jalanan yang hari-harinya dihabiskan dengan mencair-cairkan kata di tengah alun-alun kota. Dalam pakaiannya yang lusuh, tubuh kurus kekeringan, dia mengeluarkan suara berjiwa yang ikut menyentuh jiwaku. Itulah perihal tanah bahagia, yang telah dijanjikan olehnya.
Entah mitos atau fakta. Lagipula, tidak ada apa-apa lagi yang pantas untuk kupertaruhkan dalam dunia yang semu ini. Sekian tujuh dalam seminggu sudah begitu banyak terlewati, tetapi tak satu di antaranya di mana aku mengingat bahwa aku pernah hidup, selain sekedar menjadi ada. Kuingin menjangkau yang jauh-jauh itu, dan mulailah aku mencabut keseluruhan akar-akarku dari para pengeliling altar sehari-hari yang kian menghamba pada jalan pintas. Tetapi apabila masa depan begitu membenciku, kenapa segalanya tidak kumulai saja dengan hari ini.
Hingga tibalah aku pada pendirianku di atas sampan bersahaja, yang barangkali seorang nahkoda kapal pesiar bakal tertawa-tawa melihatku yang telah merasa megah dengan apa yang kupunya. Tapi, tak ada harga diri lagi yang dapat untuk kujaga, di manakah rasa malunya? Di saat aku mengetahui dunia pergi menjauh dariku dan aku tinggallah sendirian, begitu membuang waktu untuk menuntut orang-orang memuji dan memujaku. Adalah lebih mulia bagiku untuk pergi menjauh dari orang-orang berkerumunan yang tak pernah lagi mendayu-dayu seperti dulu.
Merindukan seorang kawan adalah penyesalan sejati seorang manusia, kenapa ia tak dapat hidup sendiri dan bahagia dalam kesendiriannya? Kesendirian yang begitu perih tanpa kehadiran teman-teman baru. Penjelajahan malam ini pun membuatku merindukan seseorang yang jauh, yang bersembunyi di balik tembok-tembok. Telah dibelenggu oleh kemalangannya sendiri. Lelah mengumpat kepada yang tidak pasti, membuat lingkar tangannya sendiri sebagai selimut tubuh yang penuh lebam dan membiru. Aku ingin dekat kepada kaum-kaumku itu, yang saban hari menekur pada takdir di balik permukaan-permukaan tanahnya.
Kepada langit-langit berbintang yang kuyakini sebagai si mahapemurah, kukirimkan undanganku terbang melintasi jarak-jarak pandang yang tidak kelihatan. Menyusuri lorong-lorong gelap, rawa-rawa yang suram, dan berlabuh ke rumah-rumah jiwa yang malang. Memanggilkan nama mereka satu persatu serupa bintang-bintang yang memanggilku sebelumnya. Menjulurkan sebuah jabat erat, dan mengajaknya bersama-sama untuk berkelana demi mencari tanah bahagia yang dijanjikan.
Adakah nama kau yang kupanggil-panggilkan itu?
Sembari menunggu kabarnya, aku terus mengayuhkan sampanku dengan bambu panjang sambil menyanyikan lagu yang sama seperti beberapa saat lalu kunyanyikan. Meskipun hamparan di sekelilingku tampak temaram dalam balutan asap kabut pedesaan, entah datang dari mana, langit tiba-tiba mencerahkan lambaian tangannya. Dan aku mendengar lolongan orang-orang itu dari jauh, begitu pekat memanggilkan namaku. Maka gairahku membuncah, dan aku lekas menjemput mereka.
Sampan dengan gesit kukayuh dan nyanyian malangku berganti menjadi nada-nada mayor yang mengawang-ngawang di antara daging lengan-lenganku. Lambat laun, aku menemukan salah satu rumahnya, dan aku tersenyum. Kuhentikan sampan di pinggir dan doa kujadikan sebagai sauhnya, lantas aku meloncat dan menyusuri ilalang yang meninggi sampai lutut. Lampu rumahnya remang-remang, dan aku mengetuk pintunya dengan sumringah.
“Adakah seseorang di dalam? Mari terbang bersamaku menuju tanah itu!” Kataku dengan desak tangis yang membahagiakan. Tetapi ia tak kunjung membukakan pintunya. Dan aku berteriak sekali lagi lekas buru-buru memohon. Lantas aku yang tak puas tanpa jawaban, mendobrak pintu kayunya hingga roboh, dan dengan agak tersandung pada sebiji batu yang menahan di belakang papan pintu, aku sekonyong-konyong menemukan dia sudah terbaring dengan tubuh lebam dan wajah membiru.
Terlambat sudah. Matanya terpejam dengan lembut dengan garis-garis kerut di sekelilingnya. Bibirnya yang kering, tersungging ke atas. Sudah berapa lama dia tersenyum? Atau jangan-jangan, ini adalah yang pertama. Aku bersedih, salah seorang serupaku telah mendahului takdirnya sendiri. Andaikan saja aku dapat tiba lebih cepat, adakah dia berkeinginan untuk pergi?
Maka berkatilah, berkatilah kematiannya, kataku. Selepas aku menyentuh keningnya dengan ujung jari tengah dan telunjuk, aku segera keluar dan kembali meloncat ke atas sampan tak bermesin itu. Baru sebentar sampan beranjak, aku kembali mendengar nafas gelisah dari orang-orang yang terengah-engah di balik gubuk persembunyiaannya yang tak jauh dari lokasiku. Dan aku lekas menyerahkan seluruh tenaga dengan meniup kayuh cukup tergesa-gesa hingga menegangkan otot-ototku.
Aku tak peduli apakah aku bakal jatuh pingsan di tengah jalan atau tidak, tetapi itu lebih menyenangkan daripada menerima kabar penjemputanku kembali terlambat. Aku sudah tak sanggup lagi menerima kabar-kabar duka yang baru. Satu berita murung telah cukup melumatku habis-habis.
Sampanku berpusing ke kiri dan kanan menghindari bebatuan besar akibat letusan gunung berapi beratus-ratus tahun lalu. Kian jauh, gelombang pusaran airnya kian mengombang-ambingkanku. Sembari mengayuh dengan cengkeraman tangan yang kuat dan kaki yang kokoh berpijak, aku kembali mendongak ke atas untuk sebentar. Langit terkembang jadi samudera hitam berbatu berlian. Rasi bintang itu menantangku dengan kemilauan gairahnya, memanggilkan geloraku berulang kali, menanti-nanti untuk kusambut.
Hingga tanpa aku sadari, rumah-rumah yang memanggilku sudah tepat berada di pinggir. Aku melompat, lumpur-lumpur pekat menjerat kaki-kaki serupa rantai besi yang berkarat. Dan aku menyeka air mata dan keringat di kening. Sesampai di depan pintunya, tubuhku sudah melemah dan melemas. Lewat sisa tenaga, kupacu segala hasrat untuk memanggil-manggilkan namanya. Setelah menunggu agak lama, seketika kakiku sudah tak kuat lagi berdiri. Lantas di saat aku hampir terjatuh, seseorang membukakan pintu dan dia menangkap tubuhku. Dielus-elusnya rambutku seperti perlakuan dari seorang ibu, dan lekas dia membopongku masuk ke dalam.
Sesaat sebelum aku jatuh pingsan, kulihat orang-orang serupaku ternyata sudah berkumpul di ruang tengahnya. Dan mereka semua pada bergembira menyambutku dengan penuh tangis. Tapi aku tidak dapat bersorak-sorai lagi, selain hanya melempar segaris senyum. Lalu tak lama, kubiarkan tubuhku berayun-ayun, pandanganku memudar perlahan menghitam dan jadi bayang-bayang. Di saat aku menjaga mereka, mereka juga akan menjagaku. Usai sudah cerita malam ini.
Aku terbangun dengan matahari yang bersinar masuk lewat jendela-jendela lapuk. Seseorang sedang duduk menjaga di sampingku, dan ia menyodorkanku segelas air hangat. Dengan tangannya yang menopang punggungku, aku berupaya untuk bangkit dan meminum airnya. Setelah itu aku kembali merebah, dan sebelah tanganku dielus-elusnya entah sedari kapan.
Aku menengok ke hamparan sekelilingku, tidak seramai semalam. Kemudian dia berkata bahwa teman-teman lain sedang keluar untuk mengumpulkan makanan, dan sebagiannya lagi mencari kayu kelapa dan dedaunan rumbia untuk membangun perahu baru, sebab sampanku telah menghilang jauh atau terkubur dalam ditelan sungai.
Aku memutuskan untuk kembali tidur. Aku pun mesti mengumpulkan tenaga untuk kawan-kawanku yang baru. Kemudian temanku yang melihatku memejamkan mata, mulai menyenandungkan lagu panggilan, yang sayup-sayup kudengar iramanya serupa syair yang dicairkan oleh penyair jalanan yang kujumpai waktu itu.
Mulanya kupikir sebuah mimpi, di mana aku mengambang-ngambang diembus air, tetapi memang kenyataannya aku telah berada di atas perahu. Dengan tubuh berbalut kain, bangun-bangun aku sudah dikelilingi orang-orang itu. Pertama kali yang kulihat adalah helaian rumbia yang menjadi atap, dan ada tiga orang di samping sedang memijat-mijat kedua tanganku. Dan satunya lagi sedang berpuisi. Lekas salah seorang di antaranya memanggil yang lain ketika dilihatnya aku mulai membukakan mata. Kemudian aku dipeluknya erat-erat, dan kami saling berderai air mata.
Aku meminta untuk melihat langitnya, lalu beberapa orang menarik alas tidurku, dan mataku sontak menjadi perih di saat melihat matahari terik begitu cerah bersinar bahagia. Tapi lambat laun aku jadi terbiasa, dan dengan berkaca-kaca aku mengamati langit yang luas bersama gugusan awannya seperti bunga-bunga kapas yang merekah di musim semi.
Salah seorangnya memegang tanganku. Dengan tangan yang saling menjabat, kami sama-sama melihat ke kanan dan menemukan mesin-mesin besar sedang merobek-robek perut bumi, meruntuhkan kejayaan dan kebebasan cecabang rambut-rambutnya. Bersamaan dengan meletusnya pucuk senapan yang kami pikir kembang api, mata kami berpusing ke hamparan kiri, dan melihat orang-orang berkerumunan saling meludah, mencecar, menikam dari belakang pada sebuah pintu masuk bertuliskan jalan pintas. Di antara leher-leher mereka, tersemat semacam batu prasasti yang memuat janji-janji kebajikan dan kemakmuran.
Kulihat lagi secara meluruh di sepanjang hulu sungai kiri dan kanannya, laki-laki berbaju zirah saling berperang merayakan puncak ambisi menuju rantai kuasa tertinggi. Dan perempuan terpecah dalam dua golongan, yang satu bertelanjang menjajakan keindahan lekuk tubuh dengan tas-tas model terkini, dan satu lagi sibuk menjerang air, memasak, menggendong bayi dan menemani anak-anaknya yang lagi mandi, sembari sepucuk pistol tertodong di batang otaknya.
Bersama-sama, aku dan kawan-kawan memanggil-manggilkan setiap nama dari mereka, tetapi tak satupun menyahut. Malahan mereka menghujani kami seribuan umpatan dengan mata pisaunya yang tajam.
Maka, berkatilah, berkatilah, kataku.
Kutinggalkan orang-orang itu dan tanah leluhurnya yang sudah dikotori oleh caci-makinya sendiri. Dan menitipkan beberapa patah doa agar suatu hari kami dapat bertemu lagi dengan suasana yang berbeda. Kupegang erat tangan rekan-rekanku yang tak mengenal laki dan perempuan, melempar tatap pada sungai yang memanjang sampai ujung yang tak kelihatan. Pelan-pelan, biarlah perahu kecil ini melaju perlahan-lahan, kataku. Kuyakin cahayanya akan tampak sebentar lagi, dan segala matahari akan berawal dari sana.
Tanah lapang yang indah dan bertumbuhan seribuan mekar sarinya, kami sedang menuju tempat kediamanmu. Izinkanlah kami menumpang untuk sesaat, memulai lagi segalanya dalam satu. Melupakan si tujuh yang melelahkan oleh pacu lajur kudanya yang tak kenal henti. Mengawali keseluruhannya dalam satu rumpun persahabatan kau dan aku. Pada tanah, di mana langit tak lagi menjadi mendung yang murung, dan mataharinya yang terik tak dibenci. Dan membikin bahasa-bahasa baru yang lebih bersih dan suci, hingga keseluruhan maknanya menjurus lurus-lurus kepada cinta yang maha.
“Berkatilah, berkatilah tanah itu.”
Lantas jika masa depan sedemikian membenci, maka kumulai segala yang baru dengan merawat hari ini, memupuk cita, dan merangkai segala peristiwa lewat karangan bunga. Puisi-puisi baru dengan sendirinya akan bermunculan, di mana seseorang tidak perlu lagi ditodong-todong oleh ketidakpastian.
Pada tanah yang merdeka, suci, dan jiwanya yang luhur segenap menyimpan segala moga, dan lewat usaha, bukankah segalanya jadi mungkin? Maka kami akan segera tiba.
*****
Editor: Moch Aldy MA