Nyonteng
ayam dipanggang
dalam bara kesedihan
tak ada kabar gembira
dalam perayaan kematian
setengah dari diriku
telur sudah dipecah
menjadi sekian bagian
yang sama besar
hingga ingatan busuk
jadi ulat-ulat masa lampau
aku temukan sebidak tanah
yang memamah kepergian
di atas ghirah
kegetiran mengubur pandanganku, sayang
batu yang ditanam tanah
tak sempat bersitegang
tentang siapa yang akan jadi bangkai
atau melarung tumbal?
(M, 2022 )
–
Moàng Sangkòlah
demi tahun
angka mesti kita panjat
untuk mengembalikan arus
ke sungai muasal!
dongeng tertambat,
dalam diri
semata-mata agar kita
tampak basah
oleh anyir darah
lalu kau tahu, Suryani!
kuciptakan hatiku
dari patahan kisah
dan bau amismu
padahal,
ikan-ikan rindu caramu mengatasi sedih
mereka ingin, kau jadi benih
air matamu, serupa ombak
di tengah buih
yang merambat
seolah-olah menjelma jembatan
bagi seorang yang hilang
dari kenangan
akulah si penyintas takdir
salah perkiraan bahwa musim kemarau
mestinya dimulai dari ingatan
bukan dari jantung parau
maka, Suryani!
aku hunuskan sangkòlah
pada peristiwa dedah:
pusaran semesta
yang sangat mengerti
kecupan magis mu.
(M, 2022)
–
Rokat Pandhaba
dalam diriku ada diri-Mu:
misa keteguhan batin
yang bersarang sejak purba
kaulah pandhaba, sulung sekaligus bungsu
yang mencecap puting susu Maryam;
nama-Mu adalah lirik
yang kutulis di daun hati
saat langit telah berlumut jelaga,
Kau hadir menjelma segala
serupa pejalan tangguh
mendengus angin lima penjuru
hari ini sepasang yang Tunggal
dalam diriku bertemu,
gugur ke masa depan
hanyut ke masa lalu:
wajah-Mu tak bisa kurenungkan,
mengembang mengambang di ambang siang,
di ufuk yang kacau,
di bulu yang berhamburan
keluar dalam bayang-bayang
di bawah sejengkal kain kafan
telah bergetar mantra
bertengger di atas nyala dupa
orang-orang menyambut-Mu
dengan duka ria,
kehadiranmu pandhaba
biarkan, biarkanlah orang-orang itu
mengguyurkan air kembang tujuh rupa
ke tubuhku, ke jiwa yang hampa, ke ruh yang papa
agar lesap segala,
sirna seluruh sengsara,
dalam diriku terdapat diri-Mu:
jalan paling rahasia
tanpa seutas cahaya,
jika kelak tiada arah
untuk bertemu dengan-Mu,
kuikat cahaya dalam relung
agar dapat meraba letak kisah,
kutuntun kau ke garis jalan
yang jauh ke tapal batas jalan
di mana seekor gagak
menciptakan relief-relief kenangan
dari semusim hujan
“duhai jujuk juga para bujuk terimalah tangis fulan ini,
langit dan bumi terimalah-terima ritus kami.
Berkatilah hidupku agar lekas berjumpa dengan-Mu,
lesap segala telur, aib, bala, durja, ugah-uguh, dan bencana …”
aku menggelepar merenda mencium tanah.
(Antah Berantah, 2030)
–
Moang Bala
Kita terbirit-birit ke masa lalu
Waktu serupa petik kematian
menghunus waktu,
belatikah yang membunuh angka-angka?
atau riwayat kita terlalu masygul
kita tak bisa terus jadi peronda
yang saban malam berjaga
dalam kesepian
mengubur diri sendiri
pada ketaqwaan
kita hanya mampu jadi pelamun
sembari menyungging mimpi
barangkali esok
parau akan datang
berucap selamat datang
tapi kita belum yakin
pada takdir
iradat yang hancur,
masa-masa lebur
(Tapal Kuda, 22)
–
Surga Terkapar di Kepalaku
1)
Subuh itu, kematian datang,
mencari malam paling malam
sebelum ia berjumpa Tuhan.
Sebuah lapangan,
serupa mahsyar pada cerita fantasi
dalam dirinya,
Tuhan buru-buru jadi hakim
lewat Mungkar-Nakir,
“apa duniamu buruk rupa untuk masa depan?”
Tidak Tuhan, indah seperti kenangan,
seperti ingatan yang telah ditanamkan
dalam kisah kitab sucimu.
Surga-surga-surga,
jemputlah di perempatan tong sampah
dekat kalimaya,
lekaslah sebelum ajal datang.
2)
Di kepalaku surga,
neraca hitung
saat hidup belum terlambat,
tak perlu gadah
pada jadah Mungkar,
pertanyaan yang menghujam itu
selalu terjawab seperti pertemuan semula
bayangkan,
kembali pada surga-surga di dunia,
suara perempuan di hotel bintang tiga,
anak-anak tanpa ibu,
seseorang di depan bak mandi
sebelah kos simpang lima,
suara masyarakat tengah malam
di dalam kepalamu
bersama rodat yang morat-marit,
surga terkapar di benakku.
(Imaji, 2021)
–
Tamaddun Semu
Dunia menjelma kubus-kubus besar
serupa permainan teka-teki raksasa
tidak ada musim
cuma ada prasangka
dan kerlap-kerlip lampu kota
sesaat naik ke atas, mengambang, lalu mencair
cuaca telah membuat berpasang mata saling curiga
hujan yang kemarau
kemarau yang hujan
terjadi saling tuduh,
kiranya bayangan siapa
yang menanamkan bencana?
aku tetap dan akan terus yakin
di dunia yang nyaris tak nyata ini,
orang-orang pulang pada-Nya
membawa diri dengan berjalan bungkuk
memikul kepala berisi padat,
keringat siap menenggelamkan
di dalam diriku,
aku menciptakan ribuan pasang mata waspada:
sebelum sunyi paling ramai
menyesap senyap dalam kesedihan
tangis dahulu pecah seusai tawa
aku bertanya pada diriku sendiri
mengapa masjid sepi?
zikir rodat para kiai telah usai barangkali,
sementara pastor berhambur keluar dari gereja
do’a biksu menyisakan bisu
vihara kehilangan aroma wangi kembang tujuh rupa
semua padam terbentur angin kemarau panjang
aku menyengajakan diri terpejam,
mimpi terbuat dari berjuta kelahiran bayi sejak purba
barangkali, aku satu satunya yang membenci diri sendiri
dan sering menangisi caci maki
Tamadun, lekaslah punah
dan diganti dengan perumpamaan baru
agar Tuhan tidak lagi diadu.
(Malang, 2019)