“Jadi kalian berkelahi ini hanya karena kucing?” Tanya polisi itu keheranan.
Aku diam saja sambil menundukkan kepala karena apa yang polisi itu katakan juga memang tidak salah.
“Saya juga tidak mengerti, Pak. Tiba-tiba dia pukul ka.” Ada sedikit tanda berwarna ungu bekas pukulan di bagian bawah mata kananya, bagian mata putihnya juga menunjukkan tanda pendarahan.
***
Kucing berbulu hitam yang sering “tinggal” di rumah kami itu sedang hamil besar dan malas sekali bergerak. Pagi itu saja saat ingin mengeluarkan motor dari pintu samping, ban motorku sudah hampir menyentuh perutnya, tapi bahkan untuk membalikkan badan saja ia enggan. Mau bagaimana lagi, kucing bisa mengandung sampai lima anak sekaligus, pasti perutnya berat.
Walaupun sudah sering hamil, tapi ini pertama kalinya kulihat ia semalas itu. Barangkali memang semestinya begitu seiring bertambahnya usia. Aku bahkan tidak ingat lagi kapan pertama kalinya kucing ini mulai sering muncul. Sepertinya itu sudah bertahun-tahun lalu, dan kemunculannya yang semakin sering itu juga berkaitan dengan semakin seringnya Ibu memberi ia makan.
“Kayaknya itu kucing sudahmi melahirkan, kempesmi perutnya.” Ibu memberitahuku sehabis memberi makan kucing-kucing liar di depan rumah.
“Tapi kenapa tidak ada anaknya kelihatan, biasanya na simpanji di samping.” Aku sedikit penasaran.
“Mungkin na simpan lagi di atas plafon karena sering kudengar bunyi-bunyi di atas.”
Aku juga tidak begitu peduli sebenarnya. Biasanya sehabis melahirkan, beberapa anak kucing akan muncul di samping rumah yang juga sekaligus toko sembako kami dan ketika mereka sudah lebih besar, mereka akan mulai hilang satu persatu. Setelah beberapa saat, induk kucing itu pun akan hamil lagi dan siklus sama berulang lagi. Mungkin karena hujan begitu deras malam itu, anak-anak kucing yang bukan milikku itu entah kenapa membuatku sedikit khawatir.
Ketika membuka toko pagi itu, Ibu menemukan bangkai hewan di depan pagar. Sudah sangat sulit lagi membedakan apakah itu tikus besar atau kucing keci. Aku menduga itu yang disebut belakangan. Induk kucing memakan anaknya bukanlah sesuatu yang tidak lazim, setidaknya itu menurut artikel yang kubaca di sekolah selepas mengajar siang itu.
“Bila anak kucing terlihat cacat sebelum menginjak usia sebulan, induk kucing akan dengan teganya memakan anaknya sendiri. Induk kucing berpikir bahwa dengan memakan anaknya dapat meringankan penderitaan anaknya.” Begitu yang tertulis di artikel.
Aku tidak benar-benar tahu bagaimana cara penulis artikel itu membaca pikiran kucing, tapi manusia pada umumnya, rasa-rasanya akan berpikir seperti itu, seolah setiap makluk di dunia ini punya kemiripan perilaku dengan manusia.
“Barangkali daripada kamu menderita lebih lama, lebih baik akhiri saja hidupmu sekarang.” Aku membatin.
Beberapa hari setelahnya, kucing hitam itu membawa tiga ekor anaknya ke rumah. Dua ekor bercorak hitam-putih dan seekor berwarna abu-abu. Kucing abu-abu ini tidak seperti kucing liar lain. Kulitnya yang halus seperti percampuran kucing liar dan kucing lain yang bukan kucing liar. Matanya berbinar biru cemerlang tidak seperti saudaranya yang bermata cokelat pudar.
“Sepertinya kucing ini kawin dengan kucing piaraan orang perumahan, kenapa bulunya ini yang satu bagus sekali?” Kata Ibu ketika pertama kali menemukan kucing-kucing itu.
“Kalau kubagi di Facebook, pasti ada yang mau ambil,” lanjut Ibu kemudian.
Benar saja, kucing abu-abu itu diambil Pak Bambang, tetangga kami, kurang lebih seminggu setelahnya.
“Waktu beli kopi tadi, Pak Bambang dengar suara kucing dari sebelah, baru dia minta izin mau pelihara itu yang abu-abu,” kata ibu menjelaskan ketika aku tanyakan ke mana anak kucing yang abu-abu.
“Betapa beruntungnya menjadi cantik dan berbeda,” aku membatin mengingat anak kucing yang barangkali dimakan oleh induknya karena cacat itu. Tetapi kalau ada yang mau merawat juga tidak apa-apa, tentu saja daripada mati terlindas mobil, misalnya.
Malam itu si kucing hitam mengeong ke sana kemari. Pasti sedang mencari salah satu anaknya, pikirku. Bagaimanapun si kucing kecil itu belum bisa makan dan mencari makan. Ia masih butuh air susu induknya untuk bertahan hidup. Barangkali karena nalurinya, si kucing hitam merasa gusar karena salah satu anaknya tidak berada di tempat.
Apakah Pak Bambang tahu itu? Jangan-jangan Pak Bambang tidak tahu bagaimana merawat kucing? Jangan-jangan hanya karena merawat kucing sedang ramai dilakukan orang dan karena ingin ikut-ikutan pamer foto kucing saja, Pak Bambang ingin mengadopsi kucing itu? Pertanyan-pertanyaan ini muncul bersama ngeong si kucing hitam yang terdengar perih dan khawatir. Beberapa hari setelahnya ia berhenti mengeong, tapi aku rasa bukan karena anaknya telah ketemu.
Sebelum ke sekolah pagi itu, sambil memanaskan mesin motor, aku lihat Pak Bambang sedang berjalan ke toko kami, sepertinya akan membeli kopi.
“Bagaimanaji itu kucing abu-abu, Pak?” Kataku berbasa-basi.
“Oh, kucing abu-abu yang itu hari kuambil dari sini di?”
“Langsung saya pasang fotonya di facebook itu hari, tiga hariji sudahnya ada orang yang beli, lumayan mahal iya karena campuran kucing ras,” kata Pak Bambang.
Aku tidak tahu setan apa yang merasukiku waktu itu, tapi tanganku berayun dan mendarat tepat di wajahnya.
***