PANTAI, SORE ITU
Sisa asap, air talang, dan gelap awan –
Merekatkan resah seorang muda
Tatal-tatal nasib, hanyut –
Pada hujan berbau amis
Dan hidup memaki gerimis
Telah dituliskan kisahnya, pada batu
Pucat gompal, huruf abu-abu –
Garis tangan dipahat dan ia berkata:
“aku mencair bersama esok dan hari tua”.
Tulang daun mengular –
Ingatkan ia pada kepal bayi yang gemetar
Dahan nyiur gamam – ia putuskan turun
berjalan renyap dengan hati sembap
“aku dan ketam sama-sama kalah”
Ia pulang menggali lubang.
(Pangandaran, 2020)
–
SURAT KEPADA MASA LALU
Biarkan Olenka –
berlari mengejar matahari.
Aku akan di sini
memahat batu merapi.
Tapak tangan berdarah-darah
Mengepal duri tanpa pucuk mawar.
Lalu kau memilih belajar – tentang kita
dari anjing-anjing mati.
Kenapa kau membalas ungu dengan debu
melempar hitam dengan kayu
sedangkan putih tenggelam –
dibakar cemburu. Warna-warna itu –
hanya abu pada dongeng masa lalu.
Sampaikan surat ini pada raksasa
di kaki Gunung Fuji. Sampaikan kisah ini
pada patung Lenin yang menatap ngeri,
pada kaki pemuda-pemudi Kiev –
yang menginjaki berhala ilusi.
Sampai sini – seharusnya kau percaya
hati kita tak sekhayal Latta dan Uzza.
(Bandung, 2019)
–
Malam yang Riuh namun Sunyi
Pada sebuah hening dan tetes embun,
Dalam segenggam penantian dan perhatian.
Setan lari tunggang langgang,
Bocah berlarian mendadak diam,
dan suara jangkrik ditelan sengguk isakan.
Sang Kekasih yang menghadirkan diri,
Lewat miliaran sayap-sayap bening yang menyesakan bumi,
Menyapu setiap butir pasir di laut,
menghapus setiap bintang di langit
Malam yang riuh namun sunyi.
Heningnya dipecah do’a-do’a,
Licin dan asin tempat keningnya,
keringat tercampur dengan air mata,
Pada malam yang Mulia,
Membakar habis dosa-dosa.
(Bogor 2020)
–
BAGINDA
(1)
Pada malam terang bulan // akan kujumpai jejakmu
Wajah kemerahan yang teduh dipandang // namun sinarmu
bukanlah kilatan pedang // Engkau purnama
Yang membuat bulan meredup malu.
(2)
Telah kutumpahkan isi retina dan serak suara
Patah-patah sengal kumemanggil
Pada kebun anggur tempat kau berdo’a
Setelah benci angkara menjelma batu
Engkau memaafkan // balas mendo’akan
Malaikat tercekat haru // murka berbalas cinta
Andai aku Addas // habis kuseka darah di betismu
(3)
Langit hening menyambut // pada gurun pasir berkabut
Ketika engkau tertutup selimut // lantas bangun dengan takut
Ingin kumenjelma pelepah kurma dan kain tua // ingin ku
terbangkan peluh-peluh pelipismu // biarlah diri ini
berubah terompah // asal sosokmu dapat ku papah //
Injaklah daku Tuan
(4)
Aku menangis // sebab rindu tak terganti
oleh tetes gerimis yang membakar genang //
oleh mentari yang menghujani ladang // rindu,
Tuanku, menyesakkan // mata yang tak dapat balas tatap
Memandangmu // akan kuhimpun angin malam
Menggantikan berbaris do’a // untuk sebuah harap
Untuk sebuah nanti.
(5)
Lantas terbanglah sajak ini // menuju awan yang menaungimu
Pada pohon tempatmu berteduh // pada sarang laba-laba itu
yang menyembunyikanmu // pada kucing Abisinia tidur di jubahmu
menuju pasir-pasir yang kau injak // menuju genang sumur yang kau sesap
pada suara menggema // dengung-dengung
lonceng wahu.
(6)
Telah habis ucap do’a // kering kerontang rangkai kata
Sulit terungkap inti rasa // oleh hamba yang alfa
Yang berharap pada cinta // lambaian tanganmu Baginda
di telaga // semoga kita berjumpa.
(Bogor, 12 Rabiul Awal 1443 H)
–
Prohibido
Minyak tanah dan bau darah
Wanita subuh // langit-langit
lazuardi berubah mendung
kembang kol tersibak
menonjolkan butir sentra
Alis hitam luntur // peluh di bawah guntur
Ketika gerimis sedikit berbau amis
Engkau tersenyum pada nada-nada tinggi
Simfoni yang lenyap seiring // petrikor
asing tercium.
Malam itu lupakan segera
Ujung gorden yang hangus
Terbakar // dan bekas cakar.
(Jatinangor 2019)
–
Sisa Hujan
Aku mencarimu semalaman
Pada lapisan tanah terguyur basah
Ketika nafasmu terengah
Berlari-lari anjing, dan dadamu
Berhenti membusung.
Hanya tersisa pagi
di atas tumpahan kopi
Ayat-ayat suci tak juga mematri
dirimu yang tajalli
ke mana kuadukan kerinduan?
ketika tak ada bayang yang dikejar.
(Bogor 2020)
–
Percakapan
Kita ini apa?
Semacam hasrat atau obsesi,
atau keduanya?
Hentikan ocehmu // kau tak beroceh
Kau tak teroceh
Kau hanya bagian dari lumbung tua
Semua padi yang mati sebab wabah
begitupun aku.
Kau bisa jadi guling pada malam seorang gadis
Kau bisa jadi cincin pada jari manis
Kau bisa jadi tinta pada surat cinta
Bisa jadi // namun khayal.
Kita ini serupa fana’ pada bibir pria itu
Hanya sebuah rangkaian gerbong
Yang amblas pada kerongkongan kering
Andai ia tak gentar dan siap terluka
Bisa jadi kita lahir // mewujud suara
yang tak pernah menarik
tapi di sinilah kita // ngopi
di kuburan kata—kata
yang gagal terucap dalam dada // yang ditindas dunia
Pagi, di Pesisir
Detik jam dan harum cengkeh
Rambutmu tergerai // di ujung dipan
Waktu memuai lambat-lambat
Pada punggungmu nasib – kutuliskan.
Lalu basah, arang, dan patah tulang.
Pagi berteriak penuh riak – di ufuk
Kita habiskan raga pada ragu
Meludahi genang lautan bulu
Katamu pada karang – sejak bila,
Kau berlubang?
(Bogor 2021)
–
Di Jembatan Nihonbashi
Denting pedang bertaut
Seperti nasib – menghalau maut
Pada harap // pada janji
Susu tak terasa madu
atau lebah –
terbakar sarangnya.
Di jembatan itu
Mengalir harapan
Pada nilakandi arusnya –
Menghantar kelopak sakura.
Pergi tak bertepi
Riak suara tak mampu
menyentuh saujana.
Terbatasnya kita –
gegabahnya cinta
“dasar pecandu” – katamu
Malam itu siapa yang tersihir?
Egomu yang membatu – atau
aku yang mematung kelu.
(2020)
–
Penyair Pengecut
Ketika kutemukan dirimu
di Stasiun Asapovo.
Tak ada bedanya aku dan garuda
banyak sarang laba-laba
pujangga akhirnya memilih mati di Ambarawa
basah dengan tanah
dengan luka dan kecewa
tanpa desing pelor dan bom detektor
Maafkan aku yang tak berani –
memeluk bulan di balik burqa
karena memilih menjadi tinta
putih dalam canting dan mori.
(2020)
Suka sekali dengan puisi “Pantai, Sore itu”. Diksinya bagus sekali. Tipe-tipe puisinya sama seperti yang biasa saya buat. Saya menunggu karya selanjutnya.