Jurnalis dan pelajar di Akademi Gajah

Sudah, Bu Risma… Sudah!

Dewi Ayu Tri Anjani

3 min read

Tingkah laku dan kebijakan yang ditampilkan seorang pejabat negara apalagi setingkat menteri bisa didasari oleh motif yang tulus, motif mencari kekuasaan yang lebih besar atau campuran motif keduanya. Tingkah laku pejabat yang didasari oleh niat yang benar-benar tulus bertujuan untuk memperbaiki keadaaan berdasarkan pengetetahuan dan pengalamannya serta interpretasinya tentang keadaan yang dihadapinya.

Motif pencarian kekuasaan adalah tingkah laku dan kebijakan yang ditujukan untuk mendapatkan simpati publik yang kemudian diharapkan akan membawanya kepada posisi politik yang lebih tinggi, misalnya wakil presiden atau bahkan presiden. Tetapi bisa juga sang menteri awalnya mempunyai motif memperbaiki keadaaan dan kemudian ia menggunakannya untuk mencari popularitas serta jabatan yang lebih tinggi.

Tingkah laku yang membingungkan Menteri Sosial Tri Rismaharini belakangan ini dapat dilihat dalam kerangka ini.

Harus diakui, Risma adalah salah satu di antara menteri Presiden Joko Widodo yang paling populer dan belum pernah disangkutkan dengan kasus korupsi apapun sehingga kita patut mempunyai prasangka baik bahwa ia mempunyai motif pertama yaitu bagaimana membuat keadaaan lebih baik.  Tetapi kita juga patut punya alasan bahwa setelah apa yang dilakukannya sebagai walikota Surabaya ternyata bisa membawanya jabatan menteri.

Masalahnya adalah bahkan niat yang tulus pun akan terlihat bodoh dan menjadi bahan tertawaan bagi banyak orang Indonesia jika niat ini tidak diikuti dengan pengetahuan kebijakan publik dan kebijaksanaan dalam pelaksanaannya.

Berita dan foto yang memperlihatkan Risma langsung turun tangan membantu pekerjaan perbaikan jalan dan mengangkat tanah langsung dengan kedua tangannya, misalnya mungkin bermaksud baik untuk memotivasi dan memberi contoh pemimpin yang turun langsung ke lapangan, serta juga mungkin bermaksud mendapatkan simpati publik bahwa Risma, seorang menteri, tidak hanya berbicara tapi turun tangan langsung. Tetapi tindakan ini malah mendapatkan ejekan yang ramai di media karena memang bukan tugas seorang menteri untuk mengangkat tanah. Tuduhan kemudian juga ramai bahwa Risma hanya mencari popularitas karena kementeriannya lah yang menyebarkan aksi ini.

Simak video Okky Madasari Mentalitas Pejabat: Penjajah dan Penindas

Kurangnya pengetahuan dan kebijaksanaan Risma juga terlihat dari kebiasaannya untuk marah-marah di depan publik. Meskipun dia marah-marah terhadap bawahan yang dianggap salah serta warga yang melanggar aturan, kebiasaan ini memberi kesan ia arogan dan tidak bijaksana karena mempermalukan sesama manusia di depan orang banyak.

Risma memang kerap tampil di publik dengan sikap tempramen dan meledak-meledak. Meski beberapa orang dapat menerima hal itu, namun tidak sedikit juga yang tidak membenarkan sikap yang ditampilkan Bu Risma, apalagi dilakoni oleh seorang menteri, seorang pemimpin.

Sikapnya yang serampangan karena menganggap diri sendiri benar meskipun tidak mempunyai pengetahuan dan empati yang cukup juga terlihat ketika dia memaksa seorang tuli yang tidak bisa bicara untuk berbicara tanpa alat bantu hanya karena ia menganggap bahwa seorang tuli harus latihan berbicara jika ia ingin bisa sama dengan yang lain.

Meski telah dijelaskan oleh salah satu perwakilan dari Gerakan untuk Kesejahteraan tunarungu Indonesia (Gerkatin) yakni Stefanus mengenai pentingnya penggunaan alat bantu dengar, bahasa isyarat, dan ketidakbolehan untuk memaksa Kawan Tuli bicara, Bu Risma tidak mau mendengarkan dan tetap berdalih. “…Jadi karena itu kenapa Ibu paksa kalian untuk bicara? Ibu paksa memang, supaya kita bisa memaksimalkan pemberian Tuhan kepada kita, mulut, mata, telinga. Jadi Ibu tidak melarang menggunakan bahasa isyarat, tapi kalau kamu bisa bicara, maka itu akan lebih baik lagi,” kata Risma.

Apa yang disampaikan oleh Mensos Risma untuk menjelaskan kenapa dia memaksa Kawan Tuli bicara tanpa menggunakan alat bantu adalah sebuah dalih yang non-sense. Sebuah dalih yang tidak masuk akal dan omong kosong. Bagaimanakah seorang Kawan Tuli (tanpa menggunakan alat bantu pendengar) diharuskan berbicara? Sementara pada hukumnya, orang yang tuli tidak akan bisa bicara jika tidak bisa mendengar. Kemudian apa yang salah dengan penggunaan bahasa isyarat jika itu bisa membantu proses komunikasi berjalan?

Memaksimalkan pemberian Tuhan dengan cara yang dikatakan Bu Risma bukanlah suatu yang dapat dibenarkan dan diberlakukan mutlak untuk para penyandang disabilitas. Karena, mereka memiliki cara tersendiri untuk memaksimalkan pemberian Tuhan. Para Kawan Tuli mampu menerima kekurangan mereka dengan baik tanpa ada rasa benci maupun putus asa. Bahkan, mereka mampu memaksimalkan pemberian Tuhan dengan cara bisa menggunakan Bahasa Isyarat. Hal itu patut diapresiasi karena tidak semua orang bisa melakukan itu. Tangan yang pada dasarnya difungsikan hanya untuk makan atau melakukan aktivitas fisik yang lain, dapat digunakan oleh Kawan Tuli untuk berkomunikasi. Tentu ini menambah nilai plus dari fungsi tangan itu sendiri.

Hal yang menjadi masalah bukanlah ketidakmampuan Kawan Tuli memaksimalkan pemberian Tuhan dengan cara yang disebutkan Bu Risma, justru menolak untuk menghargai dan menerima dengan baik keberadaan Kawan Tuli adalah salah satu bentuk dari tidak mengindahkan dan memaksimakan pemberian Tuhan. Karena Tuhan menciptakan manusia dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tuhan juga telah memberikan manusia akal, pikiran, hati dan emosi agar kita sama-sama saling menghargai. Namun, ibu menteri peduli apa soal hal ini?

Pola pikirnya yang diskriminatif juga terlihat ketika ia memarahi bawahannya yang bersalah dengan mengancam sang bawahan untuk “dibuang” ke Papua. Pola pikir ini jelas masih menganggap Papua sebagai tempat buangan bagi orang-orang hukuman.

Kesombongan dan sikap diskriminatif yang ditampilkan Bu Risma menuai kritikan, terutama dari komunitas-komunitas penyandang dan pemerhati disabilitas. Mengapa tidak? Seorang menteri tidak dapat menunjukkan rasa empati dan toleransi terhadap kaum minoritas di hadapan publik. Selain meledak-ledak, sikap yang tampilkan Bu Risma ini sangat tidak patut dimiliki oleh seorang pemimpin nasional.

Apa yang ditampilkan Bu Risma melalui sikap-sikapnya atau respon-responnya terhadap suatu isu bukanlah suatu hal yang dapat dibanggakan atau mampu menjadi magnet peraih popularitas dan kehormatan. Justru, sifat-sifat jelek seperti itu dapat membuat orang kehilangan respect (rasa hormat kepada sosoknya). Seharusnya, sebagai seorang pemimpin, hal utama yang ditampilkan adalah bentuk edukasi kepada masyarakat luas melalui sikap yang patut diteladani. Bukan malah mendiskriminasi kaum minoritas. Sikap-sikap jelek yang ditampilkan tidak menutup kemungkinan akan membawa pada kehancuran yang tak terelakkan.

Dewi Ayu Tri Anjani
Dewi Ayu Tri Anjani Jurnalis dan pelajar di Akademi Gajah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email