Skenario Tengah Malam
Duduk di pinggir jalan depan tugu pahlawan
Memandang jalan yang lapang
Meminum kopi yang terbungkus plastik hitam
Aku gelandangan tengah malam
Melihat para pengayuh becak berseragam kusam
sedang tertidur pulas tanpa alas
Sedang burung gagak terus berkicau di atas kepala
Dalam kicaunya ia bertanya:
“Lantas, untuk apa membangun bukit?
Jika liang kubur amatlah sempit.
Lantas, untuk apa berlomba-lomba
menggapai matahari? Jika, suatu hari
semua pasti kembali.”
Tertawalah!
Tertawalah!
Hidup memang terkadang lucu.
Tertawalah!
Tertawalah!
Kita memang terkadang tak punya malu.
Angin berhembus kencang
Memeluk sukmaku yang kosong
Lihatlah!
Lihatlah, sang merah putih yang berkibar di tepi-tepi jalan
Ia nampak malu-malu dan ragu
Tapi aku hanyalah seorang gelandangan.
(Surabaya, 2021)
–
Aku Hanya Buruh
Bangun pagi lupa makan
Baju kumuh dan lusuh
Asap pabrik dan bising mesin
Apalah arti hidup bagiku
Ditindas, dicaci, dan dimaki
Diperkosa harapan
Dibuang ke tepian peradaban
Dikucilkan sudah biasa
Melawan tak ada guna
Celotehan sudah kutelan sampai habis
Kubiarkan api-api pemberontakkan
membusuk dalam rongga dada
Tapi tak apa
Hidup hanyalah sandiwara
Bayang-bayang membual
Dengan onggokan sumpah
dan sampah yang kian berserakan
Jadi, tunggu apalagi
Berdamai
Berdamai dengan penderitaan
Tertawa
Tertawalah bersama tangisan
Hidup hanyalah sandiwara
Tiada buruh tiada pabrik
Tiada pabrik tiadalah buruh;
Dan hidup
hanyalah
bagian dari ketiadaan
itu
sendiri.
(Cikarang, 2021)
–
Jika Kuboleh Merindu
Angin berdesir kencang malam ini, Bu
Jalanan yang panjang dan ramai
tak dapat menggugurkan sunyi
Tak terasa, kini aku kian dewasa
Terbentur sini, terbentur sana
Hidup macam apa ini, Bu?
Kekuasaan adalah tujuan utama
Harta dicari mati-matian
Harga diri adalah barang dagangan
Bukan maksud tak menerima
Aku kian tak mengerti arti bahagia
Bukan maksud tak bersyukur
Tapi, zaman ini kian hari, kian ngawur
Dingin kian mencekam erat jasadku
Aku sendiri, tanpa pelukmu
Aku tahu, semua harus dihadapi
Tapi, jika aku boleh merindu
Ingatkan lagi bagaimana aku
saat masih di dalam rahimmu.
(Kembang Jepun, 2021)
–
Aku Pemuda Patah Hati
Aku pernah menyulut api
Tapi api menjalar membakar diriku
Aku sempat ingin menggapai rembulan
Tapi pagi menghapus malam
Biarlah aku begini saja
Bahagia secukupnya
Bersedih secukupnya
Sembari menunggu tiada.
(Surabaya, 2021)
–
Dalam Sepi Kau Memelukku
Ketika sepi menghujam sukma
Dan kesendirian mengoyak jiwa
Entah, perlu berapa lamunan lagi
Untukku sadar bahwa diriku bukanlah diriku
Kapan ini berakhir?
Aku ingin pulang
Melepas segalanya dengan tenang
Tanpa ada tangisan
Tanpa ada penyesalan
Dalam waktu yang kian tak bertepi
Dalam kalut yang tak kunjung larut
Kau datang memeluk sukmaku dan berbisik:
“Untuk kembali kau tak perlu berlari. Ia akan datang sendiri. Pasti.”
(Surabaya, 2022)