Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.

Sihir Angsa

Eka Nawa Dwi Sapta

7 min read

“Dahulu aku yakin, tapi sekarang buat apa aku bersusah-payah membuang-buang waktuku menyembah yang tidak ada. Aku bisa melakukan apa saja,” kata lelaki berambut keriting putih itu mengakhiri kisahnya pada pembicaraan kami di teras rumahnya. Diikuti tawanya yang tajam dan suram. Hawa panas mencekik disebabkan atap seng teras yang merupakan medium penghantar neraka yang baik. Saya tak antusias berlama-lama duduk berdua dengan lelaki itu, tetapi demi menghargai Mariya, calon istri saya, maka saya menahan segenap kantuk dan muak pada segala kata-kata yang meluncur dari mulutnya yang busuk. Bibir lelaki itu gelap seperti tersiram kecap. Namun, kering kerontang, mengelupas bagai retak-retak tanah di ladang terbengkalai pada musim kemarau panjang. Dari dua lipatan mengerikan itulah selalu meloncat keluar kalimat-kalimat yang terdengar dingin, mencekam, dan memiliki daya pikat halus memaksa pendengarnya agar terus patuh; membuat saya tidak nyaman berada di dekatnya. Saya mengakui bahwa saya benci melihat mata kanannya terkutuk itu. Hanya dengan satu mata, ia mampu mengintimidasi lawan bicara, menjadikan saya dungu sehingga selalu mengangguk-angguk setuju pada tiap-tiap ucapannya.

Dahulu pernah Mariya bercerita silsilah keluarganya, tentang anggota keluarganya, tetapi soal mata waknya yang buta sebelah itu sama sekali belum ia ceritakan. Dia hanya menyindir sedikit tentang Wak Jaludin. Konon, Wak Jaludin sejak kecil diramal dukun membawa tuah, dan sebab itulah ia sering bertingkah tidak lazim. Saat anak-anak lain baru bisa merangkak, ia sudah bisa berdiri dan berjalan, serta ia sudah fasih berbicara. Di umur lima tahun, ia sudah khatam membaca kitab suci. Meskipun saya agaknya meragukan kebenaran kisah itu, tetapi Mariya meyakinkan saya dengan mengulang-ulang kisah waknya yang ajaib. Ia bahkan percaya jika dengan menyebut nama Wak Jaludin maka lelaki itu sadar ia sedang dibicarakan. Anehnya, semua orang pun, menurut Mariya, percaya dan menyukai kisah Wak Jaludin. Itu pertanda sekiranya dia tidaklah biasa-biasa saja. Kisahnya bagaikan magnet, kata Mariya. Tapi saya pikir, Mariya terlalu melebih-lebihkan pasal ketuahan waknya.

“Lalu mengapa ia kehilangan satu bola matanya?” Tanya saya pada Mariya suatu hari.

“Ini kisah yang lama dan panjang sekali, tapi aku akan menyingkatnya,” ucap Maria mengawali. “Hari Minggu itu tak ada tanda-tanda yang aneh. Seperti kebiasaan orang di dusun kami, manakala petang bangkit membawa cahaya kekuningan dan menyisakan sinar kirmizi di langit, orang-orang sudah meminumkan minyak tanah ke lampu petromaks, menyalin kaus lampu, dan mengatupkan pintu-pintu rumah mereka agar setan tak bertandang. Petang itu, Wak Jaludin yang masih bujang lekas-lekas sembahyang sebab ia hendak mengapel ke rumah gadisnya yang berada di Dusun Langkat Betung. Namun, sesudah itu, ia tak langsung berangkat karena masih menunggu kawan-kawannya menjemput. Belum banyak kendaraan semasa itu sehingga bila hendak bepergian kau mesti membawa rombongan dan menenteng lampu malam-malam menempuh jalan tanah yang tak bisa dibilang dekat. Tetapi, tidak jadi soal perkara jauh-dekat itu, sebab Wak Jaludin mabuk kepayang pada perempuannya. Jadi, jangankan jalan gulita, bahkan bukit terjal bakal dia daki jika perlu. Hari itu, Wak Jaludin barangkali sudah berjam-jam menunggu kawan-kawannya datang. Akan tetapi, mereka tak kunjung tiba hingga ia merasa ditipu.

“Rupanya Wak selama ini memang sudah lama menaruh curiga kepada salah satu kawannya, Moadin. Ia kerap menghalang-halanginya mendekati dara jelita itu. Pernah sekali, ia menangkap basah kawannya itu berpakaian necis sedang membeli sekantung besar kacang rebus dan sepuluh kilo duku di warung Mat Salim, entah akan ke mana dan dibawa untuk siapa jajanan itu. Sebagai kawan, maka tanpa malu-malu bertanyalah Wak kepada Moadin.”

“O, kau tak perlu tahu,” jawab Moadin, sinis. Sejak itu Wak mencurigai gelagatnya.”

“Malam itu Wak Jaludin yang terbakar api cemburu mulai menduga-duga pengkhianatan apa yang selama ini direncanakan Moadin padanya. Maka detik itu juga ditemani rintih musang, nyanyian jangkrik, dan derak-derak dahan kekayuan, Wak Jaludin berjalan sendirian membawa kecurigaan yang menggumpal di kepalanya. Angin menggigiti kulitnya yang hangus karena bertahun-tahun dijerang panas matahari yang bengis.”

Mariya tiba-tiba menghentikan ceritanya, tepat ketika seseorang mengetuk pintu depan. Saya menawarkan diri membukakan pintu, tetapi Mariya yang mencintai perannya sebagai perempuan dan sebentar lagi sebagai istri saya, tak ingin perannya digantikan. Dia bangkit dari kursi. Saya tak bisa menebak siapa gerangan yang hendak bertamu. Mariya adalah gadis yatim piatu, selama ini ia tinggal sendirian di rumah sempitnya seluas 4 x 5 meter. Wak Jaludin adalah satu-satunya kerabat Mariya yang paling peduli. Sebab itulah calon istri saya ini selalu mengagung-agungkan kisah saudara bapaknya itu.

“Kenalkan. Ini Lika,” ucap Mariya menunjuk gadis menawan yang berdiri di sebelahnya. Wanita itu mengenakan kaus hitam dan celana jins ketat. Entah mengapa, saya merasa Lika begitu mirip dengan Mariya. Tinggi mereka hampir sepantaran, mata berlian, dan senyum indah karena lubang samar di pipi. Siapakah Lika ini? Mungkinkah dia kembaran Mariya, pikir saya di detik pertama menatap wajahnya. Namun, lama-kelamaan kemiripan itu mengabur selepas saya sadar bahwa perempuan itu jauh lebih cantik daripada Mariya.

“Iman,” kata saya mengenalkan diri.

“Lika ini anak semata wayangnya Wak Jaludin. Kami masih seumuran. Lihat, aku dan Lika mirip kan, Yang?”

“Ya.” Saya mengangguk lambat. Kalian mirip, hanya beda selera dalam berpakaian. Mariya amat feminin dengan rok putih menjuntai. Ia menyukai warna putih karena terinspirasi dari bulu angsa yang indah. Demikianlah, cara ia agar merasa dekat dengan ternaknya itu. Saya sebetulnya tak suka warna itu, terlalu sederhana dan kosong.

“Lika juga yang mengurus angsa-angsaku selama aku bekerja jauh,” cerita Mariya. Setahun ini ia bekerja sebagai admin HSE di perusahaan tambang batu bara.

“Oh,” sahut saya, pendek.

“Mar, Bapak menyuruhku mengantarkan uang angsamu kemarin.” Lika menyerahkan beberapa lembar kertas merah.

“Oh, terima kasih. Bilang ke Wak kalau ada yang butuh angsa lagi ambil saja.”

***

Sebenarnya setelah kedatangan Lika hari itu, saya tak tertarik lagi mendengarkan kisah Wak Jaludin. Saya ingin tahu banyak tentang sepupu Mariya itu. Tetapi jika saya menanyakan soal Lika langsung, tentu Mariya akan curiga pada saya. Maka saya berpura-pura ingin tahu tentang Wak Jaludin dengan bertanya ulang mengenai lelaki itu. Saya pikir, akan tiba waktunya Mariya jenuh menceritakan waknya, lalu saat itulah saya segera mengambil kesempatan mencari tahu tentang Lika. Kenapa Lika? Sekali lagi saya pun bingung dan tak mengerti mengapa sejak saya mengenal namanya hanya kata itu yang tertanam di kepala saya.

“Cerita ini sudah lama dan panjang sekali, tapi aku akan menyingkatnya. Hari itu tak ada tanda-”

“Bisakah langsung ke bagian kemarin?” pinta saya. Betapa jemunya mendengarkan kisah yang sama berulang-ulang. Seharusnya Mariya menyumirkan saja bagian itu.

“Baiklah, tapi aku lupa, sampai di mana kita kemarin?”

“Wakmu marah.”

“Ya, kini aku ingat. Wak Jaludin mendatangi rumah pacarnya sendirian malam itu. Dengan pakaian basah kuyup akibat keringatnya mengucur deras di punggung, dia berjalan tergesa-gesa seraya membaca doa-doa berharap dugaannya salah. Dia berharap Tuhanlah yang bakal mempermalukannya malam itu, tetapi yang terjadi justru malah sebaliknya. Ia mendapati rumah pacarnya ramai. Tidak meleset pikirannya bahwa selama ini, bahwa Moadin diam-diam merencanakan pengkhianatan keji itu padanya. Maka tanpa bicara sepatah kata pun, Wak Jaludin murka. Ia datang menghampiri Moadin dan meninju muka dan perut lelaki itu berkali-kali sampai nyaris mati berdiri. Pemuda itu terkapar tak sempat lagi melawan. Setelah perkelahian itu dilerai tamu-tamu yang hadir, emaknya Moadin pun menghina dan menyerapahi Wak Jaludin: Kau itu buta! Mana ada orangtua yang mau punya menantu macam kau, Jal. Aku tahu betul riwayat keluargamu. Kau itu anak tak berbapak! Anak kotor! Kau dibuang orangtuamu di sungai dan Mat Maliki mengambilmu sebagai anak, tapi bagiku kau tetaplah anak haram! Ibu tirimu, Sarwati, sampai mati menutup-nutupi aibmu.”

“Wak Jaludin terperanjat bukan main mendengar kebenaran itu,” sambung Mariya. “Ia tak tahu sama sekali jika ia bukan anaknya kakek kami.”

“Tapi kenapa mata?” Tanya saya tak sabar.

“Tunggu. Aku buatkan kau kopi dahulu.” Mariya bergegas ke dapur. Tak lama kemudian ia tiba dengan segelas cangkir beruap-uap di nampan.

“Nah, belum cukup dikhianati, dipermalukan di depan banyak orang, Wak Jaludin rupanya dikirimkan pula petaka oleh keluarga Moadin. Tengah malam tiba-tiba terdengar ledakan dahsyat di belakang rumah, dekat reban. Ketika diperiksa reban ayam dan serumpun pisang porak-poranda seolah-olah dijatuhi benda dari langit. Orang-orang yang rumahnya berada di dekat situ mengaku melihat bola api berputar-putar jatuh ke rumah Wak Jaludin. Akan tetapi, Wak tak mengerti semua itu dan mengira cuma kejahilan belaka. Namun, keesokan harinya, saat hendak bangun, ia menjerit-jerit di kamar karena tak bisa membuka mata kirinya sama sekali.”

“Malang nian nasib wakmu. Apakah tidak coba diobati? Mungkinkah ada penyakit serius?”

“Tidak, Yang. Zaman itu kalau mau berobat harus ke kota, lagi pula mahal. Seorang tabib juga dukun di sini percaya kalau Wak Jaludin itu disihir. Mata Wak katanya sudah kopong dan diganti dengan mata orang mati.”

“Karena itu beliau sampai membenci Tuhan?”

“Aku tidak tahu. Tapi, ceritaku belum selesai. Wak Jaludin yang merasa dikhianati dan menderita, akhirnya berniat membalas dendam pada keluarga pacarnya dan Moadin. Apalagi tak lama dari kejadian itu mereka menikah tanpa mengundang beliau. Dalam keadaan menyakitkan itu, Wak berangkat ke Jawa, berguru pada seorang dukun sakti yang tinggal di kaki Gunung Salak. Di sana ia mengambil ilmu kebal, belajar ilmu bela diri, dan juga sihir. Sepulang dari sana, Wak berubah drastis. Bicaranya jadi angkuh dan beliau tak segan melawan siapa saja yang mencoba mengusiknya.”

“Dan sekembali dari Jawa, Wak langsung mendatangi rumah Moadin dan istri. Ia lagi-lagi dihina. Saat itulah ia melemparkan tongkat pemberian gurunya ke depan rumah mereka dan seketika benda itu berubah menjadi ular kobra. Sebab itulah, katanya, kenapa sampai beredar cerita bahwa Moadin dan istrinya mati dipatuk ular.”

***

Sebulan menjelang pernikahan kami, Mariya masih menyelesaikan kontraknya di perusahaan tambang. Semua persiapan terpaksa harus saya kerjakan sendiri. Beruntung Lika menawarkan diri ingin membantu saya sehingga saya tertolong dengan segala pengetahuannya dan pengalamannya pernah bekerja di WO. Begitu pula hubungan saya dan Wak Jaludin, kami pun lebih cair setelah saya tahu banyak tentangnya. Saya merasa simpati dengan pengalaman hidupnya yang kelat.

“Mariya ingin kebaya putih yang pas di tubuhnya,” ujar saya, bingung. Selepas memesan undangan, mata saya tertuju pada gambar pengantin di sampul katalog undangan yang tergeletak di meja.

“Biar aku saja yang pilihkan. Nanti pakai saja ukuranku. Kamu tahu kan, Bang, tubuh kami mirip-mirip,” sahut Lika bersemangat. Saya menuruti saja sarannya. Lagi pula, Mariya tak mungkin mau ambil cuti lagi karena ia sudah janji menyelesaikan kontraknya sampai minggu depan, padahal urusan jahit-menjahit butuh waktu yang tidak sebentar. Lika benar. Mereka sudah biasa saling pinjam pakaian dan tentu tak akan ada bedanya ukuran mereka berdua. Akhirnya, tanpa ragu-ragu kami pun berangkat ke butik yang diusulkan oleh Lika.

Baru saja melewati pintu masuk butik, saya tertegun ketika melihat manekin berkebaya hitam terpajang di sana. Sungguh kebaya ini cocok sekali di tubuh Mariya, tetapi ia pasti tak mau mengenakan kebaya ini di hari spesialnya. Seperti membaca isi kepala saya, Lika ikut-ikutan memuji kebaya itu. Dia bahkan berandai-andai mengenakan busana itu juga suatu hari nanti.

“Kamu mau?” tanya saya merayu Lika yang tengah asyik meraba kain brokat itu. Dia tersenyum kecil. Entah mengapa kala ia menyunggingkan senyum, serta-merta mengingatkan saya pada wajah Mariya, tapi tidak, tidak, Lika jauh lebih menarik, lebih cantik, dan lebih-lebih segalanya daripada perempuan mana pun. Entah dari mana ide gila itu berasal, saya menginginkan senyum Lika itu lebih lama lagi bertahan di parasnya. Saya ingin hidup bersama perempuan itu dan kami berdua saling mendekap di ranjang. Di malam-malam sebelum terlelap kami akan memandangi satu sama lain. Bilamana ia tertidur lebih lama, saya akan memagut bibirnya agar ia cepat-cepat mengeluarkan apel sihir yang tertahan di kerongkongannya. Apel yang dikirimkan oleh penyihir jahat yang dahulu pernah merusak mata bapaknya tanpa ampun. Sayalah kesatria yang ingin mengembalikan kehormatan keluarganya.

“Bagaimana, Bang? Cocok tidak?” Tanya Lika yang baru keluar dari ruang ganti. Ia membuyarkan lamunan saya.

Sekarang saya menjadi kian sinting memandangi Lika mengenakan kebaya hitam itu. Tubuhnya yang jenjang dalam balutan busana megah membentuk lekuk-lekuk mendebarkan. Warna hitam itu menjadikannya laksana Ratu Sheba. Ah, saya tak bisa membedakan apakah perempuan di hadapan saya itu Mariya atau Lika. Senyumnya memikat, hangat, membuat jantung saya berdegup-degup kacau-balau, memompa darah sebanyak-banyaknya menuju satu pusat tubuh. Saya ingin menikahinya saja, saya membatin.

Tiba-tiba dari kaca butik yang berada di belakang gadis itu, saya melihat seekor angsa merentangkan sayapnya lantas terbang menubruk dinding kaca seakan ingin menerobos masuk dan meminta pertolongan saya. Seorang laki-laki tanpa diduga-duga datang. Secepat kilat ia merunduk dan menyambar leher hewan itu. Tangannya yang kuat mencengkeram leher si angsa dengan kasar seolah-olah tak sabar mencekik binatang itu tanpa ampun. Manusia kejam, saya merutuk. Lihatlah, betapa letihnya binatang itu menahan siksaan. Namun, tatkala orang itu mengangkat kepalanya, alangkah terkaget-kagetnya saya. Ia melemparkan senyum ganjil sambil memandangi muka saya. Dan entah mengapa, telinga saya berdenging, mata kiri saya pedih, dan sekujur tubuh saya gemetar. Dingin. Tiba-tiba saja saya teringat pada wajah Mariya.

 

***

Eka Nawa Dwi Sapta
Eka Nawa Dwi Sapta Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email