Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kreativitas? Bagaimana kaitan antara kreativitas dengan kebudayaan dan pendidikan?
Bagi saya, kreativitas adalah sebutan lain dari “akal-akalan”. Adjektiva ini sengaja saya beri tanda kutip, sebab istilah akal-akalan sudah mengalami peyorasi sehingga ia dipandang sebagai sifat yang negatif. Padahal, tak selamanya yang bersifat akal-akalan itu berarti buruk. Hal ini tentu bergantung pada bagaimana dan untuk keperluan apa ia digunakan. Bukankah selain diminta untuk tulus seperti merpati, manusia pun dikehendaki agar berlaku cerdik seperti ular?
Manusia yang kreatif alias serba akal-akalan memiliki tiga sub kemampuan di dalam dirinya. Sub kemampuan manusia kreatif itu meliputi kelancaran (banyaknya ide yang mengalir), keluwesan (mampu melihat suatu masalah dari berbagai aspek), dan orisinalitas (memiliki ide yang berbeda dari orang kebanyakan).
Sub kemampuan yang mendasari sikap mbeling (nakal) dalam arti positif seperti inilah yang biasanya membuat orang-orang yang rigid, konservatif, juga dogmatis geleng-geleng kepala, bahkan berang. Bagaimana tidak, luaran dari kreativitas acapkali berada di wilayah alternatif yang, pada kasus-kasus tertentu, berada di wilayah ambang menyalahi aturan sekaligus tidak. Hal ini akan semakin terlihat jelas bila kita menelisik lebih jauh lewat kacamata sejarah, bahwa yang digugat oleh manusia-manusia kreatif umumnya adalah perihal kemapanan dan kenyamanan dari status quo.
Maka, ketika kita berbicara mengenai potensi maupun dorongan kreatif, saya berhipotesis bahwa ini hanya bisa dimiliki oleh orang-orang berani nan imajinatif yang sudah didesak oleh keadaan—seringnya berupa himpitan ekonomi sekaligus waktu. Saya sering berkelakar bahwa kreativitas itu otak atik gathuk dari dua istilah: kere (miskin) dan aktif. Mengapa bisa begitu?
Kreativitas adalah perihal menyelesaikan pekerjaan ketika modal—alat dan bahan—tidak mencukupi, sedangkan batas waktu terus memburu. Dalam situasi seperti itu, yang patut dilakukan adalah berusaha dan bersiasat alias akal-akalan. Atau, dengan kata lain, mencari kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan di tengah serba ketidakmungkinan.
Pendidikan yang Enggan Kreatif
Dalam sebuah risalah, Ki Hadjar Dewantara mendefinisikan kebudayaan sebagai upaya manusia mengatasi tantangan alam dan zaman. Baik alam maupun zaman bukanlah sesuatu yang permanen sebagaimana yang diungkapkan oleh Herakleitos, “Panta rei kai uden menei.” Semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap. Begitu pun seharusnya dengan kreativitas sebagai bagian dari kerangka kebudayaan. Ia seharusnya mengalir secara dialektis.
Tidak ada yang baku maupun imperatif dalam kreativitas sehingga ia tak bisa dihafalkan layaknya sebuah metode atau dogma. Alhasil, mau tidak mau, suka tidak suka, harus diakui bahwa kreativitas bukanlah entitas yang bisa dipelajari lewat sesuatu yang terukur dan sistematis seperti halnya kurikulum standar pendidikan resmi.
Kreativitas adalah jalan sekaligus tujuan memperoleh pengetahuan empiris yang didapat melalui aktivitas bermain yang galibnya serba riang gembira. Toh, menurut Johan Huizinga, manusia pada dasarnya merupakan Homo ludens, insan yang bermain.
Ibaratnya, kita—Homo ludens—adalah sekelompok anak yang dengan riang gembira melempari buah bernama pengetahuan yang masih tergantung pada pohon. Bagi anak-anak tersebut, yang terpenting bukan buah pengetahuan yang jatuh, melainkan kegembiraan dalam melempari buah-buah tersebut. Tembakan boleh meleset, tidak selalu harus kena.
Dalam konteks belajar, jawaban kita boleh keliru. Sebab, bukankah belajar berarti berkreasi, bereksperimen, sekaligus berekspresi? Sudah semestinya kesalahan diterima sebagai suatu kewajaran. Sebab, dari sebuah kesalahan ada banyak hal yang bisa dipelajari. Sekali lagi, bagi manusia kreatif, proses nyatanya lebih penting ketimbang hasil.
Baca juga:
Sayangnya, dunia yang kita tinggali dengan berbagai dinamikanya sudah kehilangan daya kreatifnya. Semua orang terjebak pada rutinitas mekanis serba transaksional, dagang untung-rugi yang begitu membosankan. Dunia pendidikan tak terkecuali. Pendidikan yang takut berkreasi, bereksperimen, dan berekspresi adalah wajah yang sehari-hari kita temui di ruang-ruang kelas pendidikan dasar hingga bangku-bangku perkuliahan. Kesemuanya bermuara pada perasaan takut salah karena kesalahan berarti hukuman, bukan pembelajaran.
Entah sampai kapan kita akan hidup dalam penjara ketakutan seperti ini. Padahal, kata Kartini pada suratnya kepada Estelle Zeehandelaar yang bertanggal 6 November 1899, “Tapi barang siapa tidak berani, dia tidak bakal menang. Itulah semboyanku! Maju! Semua harus dilakukan dan dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani menguasai tiga perempat dunia!”
Editor: Emma Amelia