Tiba-tiba saja aku teringat, pada samar senyummu saat aku menyibak lembut ponimu dan mengecup bulu-bulu halus di keningmu. Dengan kikik manja, kau yang tadinya larut dalam duka, mulai tertawa kembali. Tentu aku sudah lupa apa yang membuatmu bersedih dan menyebabkan mendung di matamu. Pasti hal sepele yang sebenarnya tidak terlalu berarti, bukan? Seperti, misalnya, pada suatu siang yang dimuramkan gerimis, kau yang tak dapat bermain di luar, mendapati kancing boneka yang kausayangi—tapi begitu lama kauabaikan—rusak. Dengan air mata berlinang, kau mengadu dan memintaku memperbaikinya. Padahal aku sama sekali tidak pandai menjahit. Jangan salahkan jika hasilnya justru membuatnya tambah parah. Tapi kau tak peduli. Tangismu tambah keras dan membuatku bingung. Terpaksa aku luluskan juga permohonanmu. Jika sekarang aku sedikit lihai menenun, kau tahu siapa yang bertanggung jawab, bukan?
Pernah pula kau tersedu ketika lututmu berdarah sehabis bersepeda. Mungkin terjatuh ketika roda depannya menghantam batu—yang memang banyak di sekitar jalan desa. Aku berlari seraya membawa plester dan obat merah, lalu cepat-cepat membilasnya dengan air mengalir. Tangismu tidak langsung reda, meski aku sudah mengobatimu selembut mungkin. Isak tertahan masih terdengar, begitu lirih dan pelan—membuatku tidak tega. Dengan putus asa, aku membelai lembut rambut panjangmu, dan mengecup keningmu. Dengan suara sehalus mungkin—meski terkadang jengkel karena kau begitu cengeng—aku berkata, “Sudah, sudah, jangan menangis lagi. Namamu berarti ‘cahaya’. Jika yang ‘cahaya’ larut dalam duka, dengan apa gelap tersibak?” Seperti kabut yang lenyap dikalahkan terang, kau tersenyum sumingrah seolah tak pernah menangis sebelumnya.
Benar, namamu berarti ‘cahaya’, dan aku ‘matahari’. Aku butuh kau dan kau butuh aku. Tapi kau redup lebih dulu, dan hanya menyisakan bayang-bayang.
Banyak hal pudar seiring bertumbuhnya usia. Masa kanak berlalu secepat dia datang. Tanpa kita sadari, kita sudah dewasa dan dipisahkan jalan masing-masing. Tak mungkin lagi aku mengecup keningmu saat kau bersedih. Hidup menuntut kita mengobati luka masing-masing. Sebisa mungkin tanpa bersandar pada siapa pun. Namun, terkadang, saat aku tidak menginginkannya, kenangan yang lama disembunyikan ingatan dapat pula datang, mengembalikan perasaan yang sempat pupus dipadamkan waktu. Seperti saat, pada suatu malam yang muram, dengan cahaya perak rembulan basal menembus celah-celah jendela kamar inap rumah sakit, kau menyuruhku mendekat dan berkata dengan suara yang tenang, “Kemarilah, Kak. Aku ingin membalas semua kecup yang Kakak berikan di kening.” Kau tersenyum. Tapi balutan perban di kepala dan jahitan di lenganmu membuatmu merintih.
Kau mengalami kecelakaan di depan kantor pos dan baru siuman setelah berjam-jam terlelap di ruang UGD. Dengan bibirmu yang pucat, kau mengecup keningku, berkali-kali. Tapi ternyata aku tidak setegar kau. Air mataku tak jua reda, sebanyak apa pun kau kecup keningku. Aku mencari tanganmu dan mengusapkannya di pipi, tapi kau merintih sakit. “Sudah, sudah, Kakak jangan menangis lagi. Kalau ‘matahari’ terlalu lama berduka, nanti jemuran di rumah tidak kering-kering,” kau tertawa, meski mengaduh setelahnya.
Keesokan harinya, saat kau menjalani sesi scanning, aku ingat Masmur Daud yang begitu kauhapal. Serupa mantra, aku mengutipnya tepat di telingamu, sebelum obat bius menidurkanmu. Napasmu berangsur tenang dan lembut ketika bait terakhir terucap.
Aku menemukan damai menghiasi wajahmu.
“Indah, ya?” kau berbisik lembut, masih dengan mata terpejam, “Aku selalu ingin mengunjunginya. Berbaring beralas rerumputan musim panen, menghadap birunya langit, yang begitu jernih tanpa satu pun awan menghalangi. Rasanya seperti kembali anak-anak saat kita tinggal di desa. Aku senang membayangkan diri sebagai burung yang terbang setinggi mungkin tanpa takut menghadapi apa pun, padahal aku domba kecil semata. Maukah Kakak membisikkannya lagi—masmur yang indah itu?”
Tuhan adalah gembalaku
Takkan kekurangan aku.
Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau
dan membimbing aku ke air yang tenang.
Ia menyegarkan jiwaku
dan menuntun aku di jalan yang benar
oleh karena nama-Nya.
Lalu kau terlelap dalam tidur yang dalam.
Kau belum terjaga sesampainya di kamar. Tanganmu tak bereaksi saat aku menyentuhnya. Aku membisikkan doa Bapa Kami dan berharap Tuhan mendengarkannya, meskipun ragu. Sudah lama aku hilang iman, tersesat tanpa pegangan. Tapi akhirnya, setelah sekian lama, meski dengan tertatih, di hatiku terangkai jua sebuah doa. Bapa, andai masih boleh aku memohon pada-Mu, selamatkanlah dia. Kau boleh menggantinya dengan nyawaku. Namun, jika Kau begitu mencintainya, tempatkanlah dia di bagian surga yang paling indah—yang Kaujanjikan tanpa duka dan air mata.
Kau membuka mata setelah aku berkata “amin” dan tertawa. Setelah mengucapkan terima kasih, kau terkekeh ringan dan mengerling jahil, “Tapi Kakak tidak perlu menggantikanku. Soalnya, kata Tuhan aku lebih beriman.” Dan sialnya kau benar, aku jarang duduk di bangku Gereja, kecuali saat kau dapat tugas menari. Kau cantik. Dengan mengenakan busana serba-putih, kau bagai malaikat yang menemani Yesus di hari kelahiran-Nya.
Aku tak heran jika kau merindukan kamarmu di rumah saat kau membuka mata. Sekalipun hanya ruang sempit yang plafonnya sudah lembap karena rembesan hujan, pun masih berantakan karena kau selalu malas membereskan busana kerjamu—aku sudah sering mengeluhkannya, tapi kau hanya tertawa saat aku menegurmu—tetap saja, di rumah jauh lebih nyaman. Meski kecil dan butuh banyak renovasi, kita tak perlu takut karena kita saling memiliki.
“Makanya, lekaslah sembuh. Nanti, kita pulang sama-sama,” aku membelai lembut rambutmu. Kau tersenyum lemah dan begitu lelah. Dengan pelan kau berkata ingin makan nasi goreng, tapi aku menyuapimu bubur rumah sakit. Hanya tiga suap sendok kecil, sebelum kau mengeluh.
“Nasi gorengnya tidak enak, Kak. Bukan beli di Mang Asep, ya?”
Aku membelai rambutmu yang kasar karena darah kering tak kunjung hilang meski sudah dibasuh berkali-kali dengan air hangat, “Mang Asep-nya sudah tutup, Dik,” kataku, “Kamu mengantuk?”
Kau membenarkan meski baru sebentar terjaga, “Nyanyikan aku sebuah lagu, Kak.”
“Dasar. Masih manja saja, padahal sudah besar,” aku tersenyum, tapi mengiyakan juga permohonanmu, “Kamu mau lagu apa?”
Kau tidak menjawab dan hanya menatapku dengan mata yang lembut.
Dalam selimut yang nyaman, kau tersenyum dan memintaku mengecup keningmu sekali lagi. Lalu terlelap, begitu dalam, begitu tenang, dan tak pernah terjaga lagi.
Beberapa hari kemudian, saat Bumi memeluk tubuhmu dan langit mengangkat jiwamu, hujan turun tanpa henti. Juga, di hatiku.
***
Setelah kau pergi, aku masih tak percaya kau sudah benar-benar tiada. Aku masih sering memimpikanmu—memimpikan segala yang terlambat jadi berarti. Dalam bunga tidurku, pada suatu petang kau menyambutku dengan senyum hangatmu.
Aku menghabiskan hari yang berat di kantor, tapi suaramu yang riang berhasil menghapus lelahku. Jadi selama ini kau tidak meninggal, dan aku hanya bermimpi buruk.
Kau mengajakku bersantap malam dengan nasi goreng dan kita mulai berdebat, memutuskan siapa yang harus membayar.
“Siapa yang mengajak, dia yang membayar,” kataku, jenaka.
Kau tak mau mengalah, ada saja alasanmu untuk membuatku lengah, tapi tak apa. Aku terlalu senang karena kau ada dan aku masih dapat melihat senyummu. Aku pun memanggil becak dan membuatmu kegirangan.
“Tumben, bukan pakai motor?”
“Kan kamu lebih suka pakai becak, sebab tak membuat rambutmu berantakan?”
Dan kita duduk berdampingan menikmati malam di kota yang dipadati lalu lalang kendaraan. Aroma berbagai makanan menyebar di udara, bercampur dengan suasana ramai yang begitu akrab. Rembulan bagai kuning telur yang dipotong-potong kabel listrik.
Wangi sedap pecel lele Lamongan yang baru buka, satai yang asapnya menari-nari dimainkan angin, sengat pedas cabai, harum nikmat martabak telur dan martabak manis, menemani kita yang laju di atas roda. Akhirnya, wangi kecap ikan di warung nasi goreng Mang Asep—yang rasanya tidak pernah berubah sejak pertama kali kita menginjakkan kaki di kota ini, terhidu jua.
Saat dua nasi goreng tersaji di hadapan kita, dan aku hampir mengambil suapan pertama, cahaya pagi membangunkan lelapku. Aku terjaga dengan air mata berlinangan di pipi. Perasaan pengar menghantamku karena tak menemukanmu di mana pun. Aku harus sekali lagi berdamai dengan kenyataan dan merelakanmu.
Kau pernah bertanya mengenai hal yang paling aku takutkan dalam hidup. Dan aku menjawab “Hidup lebih lama dari orang-orang yang aku sayangi.” Namun, bagai kutukan yang mengalir dalam darah—juga rasa sakit yang tak kunjung berhenti meremas jantung, begitu sering aku harus mengalaminya justru.
Kita telah kehilangan Ibu saat masih belia—kau di bangku SMP dan aku kelas 2 SMA. Bagai bambu yang selama lima tahun sembunyi dalam tanah untuk menjulang puluhan meter enam bulan kemudian, kanker yang tumbuh diam-diam tahu-tahu sudah menyebar dan menguasai seluruh tubuh Ibu. Dia sempat dirawat di rumah sakit selama satu setengah tahun dan beberapa kali menjalani sesi kemoterapi. Namun, setelah bertarung mati-matian, kanker mengalahkannya. Dia mengembuskan napas terakhir di samping Ayah yang menangis tanpa suara.
Dua tahun lalu, Ayah wafat karena gagal jantung saat bermain catur dengan sahabatnya. Tubuhnya membeku, dengan posisi seperti berpikir, tapi saat temannya menyentuh bahunya, dia sudah tidak bernyawa.
Dan sekarang, kau pun pergi. Begitu cepat, begitu gegas, bagai kepak sayap burung sehabis senja—yang lenyap di cakrawala membawa seluruh cahaya.
Dengan apa aku harus bertahan? Dunia tak menawarkan apa pun selain duka dan waktu bukan ibu yang tabah merawat luka. Di bawah mendung kelabu, di detik-detik yang mengabu, aku berdiri memandang langit, dan menangis.
Tapi aku tak ingin menyesali apa pun. Meskipun singkat, aku bersyukur pernah bertemu denganmu. Kita telah menjalani hari-hari bersama. Tak sedikit pula kita berbagi bahagia. Aku berharap, suatu saat nanti, aku tak perlu meneteskan air mata saat mengingat senyummu.
Hidupmu terlalu indah untuk dikenang dengan duka semata.
*****
Editor: Moch Aldy MA