DI LUAR PUISI
di luar puisi terlalu gaduh
orang-orang berburu
memanjat tiang
mengais tanpa sisa
merangkap bibirnya
jika satu dikunci
lainnya bicara lagi
di dalam puisi
terlalu sunyi
perjalanan ke surgawi?
di luar gaduh
meributkan kata
merisaukan pesta
jika digebah
siapa di tampuk tahta?
di luar puisi terlalu gaduh
orang-orang bercumbu
dengan bayang pohon
pantai yang maya
peluk dingin
tapi, mengapa tak
kutulis ini segala?
(aku juga sibuk
menuju gaduh
kuciptakan perangkap
di setiap dekap)
: dan kita terperangkap kini?
DI LUAR KAMAR HUJAN
MENGUMBAR CINTA
kita pernah bertemu
di luar kamar hujan
mengumbar cinta
daun dan tanah berebut
“siapa pertama dicintai
hujan?”
di luar kamar hujan
berdatangan. kaki-kakinya
mengetuk bumi. tanah
daun menunggu rindu
“kita pernah bertemu
tak memikirkan hujan
yang berebut sampai
mengecup tanah
atau menciumi daun.”
kita pernah bertemu
SEJUMPUT SISA HUJAN
seberkas ingatan menggantung
masih dekat dari kelopak mata
yang berembun
sejumput sisa hujan menggantung
di ujung daun. ia mengira papan
peluncur. dekat sekali jurang
setitik langkah mengekal jadi
kenangan. aku mencatat
jalan terbuka langkah membuka
setumpuk rencana berserakan
siapa akan mengumpulkan
DI PINTU RUMAHKU
SEBUAH PUISI MENYAMBUT
di pintu rumahku sebuah puisi
menyambut setiap yang bertamu
diam dan senyumnya, langit terang
jalan ke ruang tamu seperti karpet
untukmu masuk; menyeruput segelas
kopi. juadahnya ialah katakata
dari satu puisi bertambah puisi lain
seperti anak tangga ke langit
ke pembaringan segala hidup
dibaringkan
puisi demi puisi akan menerima
kedatanganmu; tamu terhormat
— siapa saja — akan kuhormati
sanjungan dalam pertamuan ini
SESUNGGUHNYA KITA ADALAH PELARI
pada hitungan ketiga;
pacu kaki keluar rumah
kotakota kembali bergema
sudah berias dan berbenah
menerimamu & menerimaku
untuk percintaan di bawah
lampu jalanan, pasar modern
atau di kafe dekat pintu itu
pada hitungan ketiga;
usah noleh ke belakang
atau samping. pandangan
ke depan, pacu kencang
kota kita sudah telanjang
dibiarkan tubuhnya gemerlap
mandi lampu-lampu. tiada lagi
ketakutan. cemas dan hantu
pada hitungan ketiga;
kau tahu bahwa musim
benar-benar sudah berganti
kita pelari di jalan ini
biarpun peluru tembus ke diri.
***
ISBEDY STIAWAN ZS lahir dan sampai kini menetap di Tanjungkarang, Lampung. Ia menulis puisi, cerpen, esai, dan karya jurnalistik. Saat ini sudah merampungkan trilogi buku puisi Burungburung dan Kisah Lain, Buku Tipis untuk Kematian (siap diterbitkan basabasi Yogyakarta), dan Musim Kabung. Terbaru buku puisinya Tersebutlah Kisah Perempuan yang Menyingkap Langit (Teras Budaya, Agustus 2021). Isbedy dapat dihubungi di HP/WA 082178522158.