Roman Underground
Di depan pom bensin setelah pertigaan
Di seberang Apotek Kimia Farma
kau lantunkan lagi senandung yang membelah malam
Suaramu bagai lingkaran api unggun
Timbul-tenggelam diiringi lagu blues percintaan.
Kekasih, setiap derap langkah kita
di sekitaran trotoar yang becek
menciptakan melodi tersendiri
yang hanyut disambar metromini
Kita tak pernah ambil peduli.
Walau aroma sate padang
selalu saja datang
menguji mental dompet
yang sering labil dikoyak-koyak
gengsi zaman,
Kita selalu punya jalan keluar.
Kekasih, uang receh di kantong celana selalu saja mengerti tentang kita berdua
Meski suara kita hanya mampu
terdengar sampai pengkolan depan
Tapi ketahuilah, setiap jarak, waktu
telah kita lipat dan kita tekuk
Getaran pada setiap degup
jantung kita selalu dapat dijawab
oleh angkasa dan mega-mega
meski dengan cara yang
tak seksama dan bukan
dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya
Kita selalu sabar
mencari jawabannya.
Kekasih, biarlah tembok-tembok
bekas gusuran
dan warung jamu
di seberang jalan
Merasakan, hakikat sebuah getaran.
–
Mata Angin
untuk sampai pada-Mu
harus kutempuh jalan memutar
yang jauh dari keramaian
merasakan detak
mengukur jarak
yang tak pernah nampak
dalam putaran angka
di arloji, kalender, halaman buku,
dan jam dinding itu.
guyuran hujan jadi kian akrab
pada jejak di tanah basah
ribuan kisah bernaung
dalam genangan purba
berlomba dengan deras sungai
menimbulkan bunyi serupa kata
yang dengan tegas menghantam
batu-batuan makna.
entah sampai kapan
manusia akan terus dikutuk
untuk menjadi seorang pejalan
sebab peradaban baru selalu lahir
dari pendakian yang panjang;
Socrates, Lao Tzu, Buddha,
Zarathustra, Isa, Muhammad.
untuk Cinta,
aku akan berlabuh
di bibir cakrawala.
–
Serigala dengan Anggur
ada malam jatuh dan pingsan
sekerat bir seikat bunga
lagu blues malam-malam buta;
manakala serigala lapar
yang dahaga berlomba mencari-Mu
dengan lidahnya ia jilati puting rembulan
dengan liurnya ia lunturkan warna hari
dengan giginya ia robek jarum
waktu juga detak-detiknya
manalagi? siapa lagi? belum lagi? mau lagi?
: lagilagilagilagilagilagilagilagilagi
O ia mencari-Mu tapi tak puas
jika hanya secuil
ia mau penuh dan tuntas
menyatu bagai laut
dan bibir pantai
bagai gurun dan debu
senyap bagai malam
dan birahi sesaat itu
hei, mana tanganku? mana tangan-Mu? mana kakiku? mana kaki-Mu?
mana badanku? mana badan-Mu?
mana kepalaku? mana kepala-Mu?
dari beribu gang, beribu trotoar
badan sempoyongan terlena
di medan perang tak mau pulang
mari teguk arak para serigala
yang dahaga akan cahaya
pinjam taringnya, rampas cakarnya
jadikan lolongan di penghujung
malam telan bulan seutuhnya!
–
Bubaran Pameran
Aku telah sampai
pada puncak kesadaran
botol-botol sisa pertemuan
muntah dan kencing sembarangan
berserakan di dalam diri yang gaduh
akibat distorsi serta hentakan kaki
yang tak mau berhenti.
Aku melihat
para serigala pencakar malam
mengoyak tiang-tiang fajar
mengisap puting rembulan
dan menyemburkanya
di sudut-sudut jalan.
rambut yang tak pernah tersisir rapih
merayapi dinding-dinding
penuh coretan
menyerahkan sekujur badan
pada kenangan pun juga
lambaian dari kejauhan.
Sekarang semua jadi
tampak jelas di depan mata
butiran warna telah menemukan
garis dan kanvasnya sendiri
menutupi jejak para serigala
yang bebas datang dan pergi.
–
Kolase Waktu
kita sering bertanya kabar
pada aspal dan debu jalan
mengoreksi luka
di tembok beton penuh coretan
kita punya denyut kebahagiaan
yang tak semua orang
dapat dengar dan rasakan
suara denyit di siang bolong
gigi waktu yang coba dipotong
menguap di ruang pengap
tempat kenangan
disimpan dan dilipat.
samar samar suara Morrison
berjalan di gang gelap
penuh kadal dan suku Indian
Bowie dengan tatapan tajam
seperti sinar laser dari
galaksi paling tersembunyi
telah mengubah lautan
jadi bara api.
o kini,
gigi waktu coba dipotong
semua jadi nampak begitu dekat
namun kau tak kunjung terlihat.
–
Sisifus yang Tifus
Setelah berjuta tahun nirharapan
Hukuman yang begitu panjang
Ia mulai merasakan keanehan
di sekujur badan
Sensasi yang begitu asing
dan tak pernah ia rasakan
selama berjuta tahun
Di antara bola batu
dan lereng gunung itu;
Suhu tubuh mulai meninggi
Bibir pecah-pecah
Pusing di kepala
Keringat yang berlebih
Dehidrasi
Dan lemas dari tulang hingga sendi
Dalam perasaan baru itu,
Dengan sedikit tersenyum
ia bertanya pada kecemasan:
“o mungkinkah ini
yang namanya kebebasan?”