Uang sakuku hari ini hanya cukup untuk beli bensin. Sepuluh ribu rupiah saja. Sepuluh ribu yang lain kugabungkan dengan sisa uang saku dari dua hari kemarin yang sengaja kusimpan khusus untuk hari ini. Beberapa menit yang lalu, total tiga puluh ribu itu kutukarkan jadi uang virtual di minimarket, lalu dalam sekejap menjelma menjadi tiket elektronik film Avengers terbaru. Kupesan lewat aplikasi yang cara kerjanya selalu membuat orang tuaku tercengang-cengang, sebab hanya dengan klik sana-klik sini saja tiket bioskop bisa kubeli. Mereka memang terlalu tua untuk mengenal teknologi canggih seperti ini. Hidup mereka hanya diisi berjualan di pasar dan bertukang, tidak seperti aku yang sudah menjadi manusia modern, yang setiap pulang sekolah bisa pergi ke kota agar tidak ketinggalan zaman. Film Avengers ini contohnya. Semua anak muda di kotaku menontonnya dan mengunggah pengalaman mereka di Instagram. Aku juga gaul seperti mereka, jadi aku juga akan menonton dan tentunya mengunggah pengalamanku sendiri di Instagram.
Bioskop tempatku menonton terletak di Jalan Mekar Kenanga. Lima belas kilometer jauhnya dari sekolahku di Kabupaten X, dua puluh kilometer jauhnya dari rumahku di Desa Y. “Woalah, wuadoh temen, Ndhuk (Walah, jauh sekali, Nak),” kata Ibuk tiap kali mendengarku meminta izin akan pulang terlambat karena mau menonton film. “Yo adoh ta, Buk (Ya jauh, dong, Buk). Hiburan di sini, ya, memang adanya di Kota,” balasku selalu.
Guru Geografiku pernah menjelaskan bahwa provinsi ini memiliki perda khusus yang melarang pembangunan mal di kabupaten tempatku tinggal. Padahal, kalau mau menonton film, ya, harus ke mal, karena bioskop biasanya ada di dalam mal. Kecuali bioskop di Jalan Mekar Kenanga ini, yang berdiri dengan bangunannya sendiri dan sengaja kupilih untuk menonton film hari ini karena uangku hanya tinggal sepuluh ribu. Cuma cukup untuk beli bensin, jadi setelah menonton, bakal langsung pulang, tidak perlu mampir-mampir dulu. Kalau uangku lebih banyak, aku pasti memilih bioskop di mal agar bisa membaur dengan anak-anak Kota yang kalau ke bioskop hanya tinggal jalan kaki atau berkendara sebentar—meski tetap saja uangku hanya cukup untuk beli roti di sebuah toko roti yang cabangnya ada di semua mal. Roti mahal yang biasa dibeli dan dimakan anak-anak Kota. Dengan mengunggah foto satu roti saja, biasanya teman-temanku akan mengira uangku banyak, seperti anak-anak Kota.
Yah, mestinya aku memang terlahir sebagai anak Kota. Ibuk dulu tinggal di kawasan pusat kota Z sebelum pindah ke desa tempat kami tinggal sekarang karena ikut Bapak. Dengan begitu, bisa dibilang darah anak Kota memang mengalir di tubuhku, iya kan? Cuma kebetulan saja aku lahir dan besar di desa.
Aku sampai di bioskop dalam keadaan basah kuyup. Hujan tiba-tiba turun di tengah jalan. Aku tidak bawa jas hujan. Mungkin aku akan beli nanti, jas hujan plastik warna-warni yang harganya empat ribu rupiah. Sisa enam ribu rupiah masih bisa kubelikan bensin—dalam keadaan sangat terpaksa, kalau bensinku betulan habis. Tapi semoga saja hujan tidak rontok setelah aku selesai menonton film, supaya aku tidak perlu beli jas hujan. Ah, bisa dipikirkan nantilah! Yang penting sekarang, upload foto tiket dulu.
Setelah foto terunggah di Instagram, satu per satu teman-temanku berkomentar.
“Bioskop meneeeh! (Bioskop lagiii!)”
“Lagi wingi, lho, ndelok Jefri Nichol. (Baru kemarin, lho, nonton Jefri Nichol).”
“Sangumu kok le akih, mbioskop terus. (Uang sakumu kok banyak sekali, ke bioskop terus).”
“Ora kesel po le neng ndalan? Kan adoh. (Apa tidak capek di perjalanan? Kan jauh).”
Aku membalas semua komentar itu dengan haha-hihi dan emotikon saja. Malas sebenarnya menanggapi teman-teman sekolahku yang tidak pernah berusaha mengikuti perkembangan zaman sepertiku. Sering sekali mereka bersikap norak dengan mengkritisi kegemaranku menonton film, atau mencibir kebiasaanku pergi ke kota sepulang sekolah. Padahal, mereka siapa, sih? Bapak dan Ibuk saja tidak pernah mengeluh. Bapak dan Ibuk mengerti aku masih muda, butuh banyak main, butuh banyak uang saku untuk jajan dan beli bensin. Bapak dan Ibuk selalu berusaha memenuhi kebutuhan hiburanku. Zaman sekarang, hiburan adalah kebutuhan primer. Dan hiburan di provinsi ini, ya, adanya di Kota. Bapak dan Ibuk yang setiap hari cuma dodolan dan nukang saja mengerti. Masa teman-temanku yang lebih muda dan seharusnya lebih modern, malah tidak mengerti?
Yaaah, bisa dipahami, sih, kalau mereka tidak mengerti. Kan, tempat main mereka cuma warung-warung mi ayam dan bakso murahan. Anak-anak cowok malah suka nongkrong di jembatan atau cakruk. Memang lebih murah dan bahkan tidak perlu mengeluarkan uang. Tapi, dapat hiburan apa coba dari situ? Mending mengumpulkan uang untuk jalan-jalan di Kota yang jelas-jelas lebih menyenangkan!
Ah, pintu teater sudah dibuka. Avengers, aku datang!
*
Filmnya keren sekali. Aku sempat selfie sebanyak mungkin ketika menunggu adegan post-credits, sambil berusaha mengabaikan deru hujan yang turun deras di luar. Gemuruhnya sayup terdengar sampai ke dalam teater yang seharusnya kedap suara—pasti karena teater yang kutempati berada dalam bangunan tersendiri, bukan mal. Sekeluarnya dari teater, hujan itu langsung menyambutku dengan sukacita. Pintu keluar teater menyambung ke tempat parkir motor, jadi aku langsung bertatap muka dengan gelontoran air dari langit yang terlalu banyak untuk kutembus tanpa jas hujan. Bagaimana ini? Bisa-bisa sungguhan melayanglah empat ribu rupiahku untuk beli jas hujan plastik warna-warni.
Ada warung di sekitar sini. Aku pernah melihatnya saat melewati jalan kecil di samping bioskop. Kuputuskan untuk berlari ke sana sambil berusaha memayungi tubuhku dengan ransel. Percuma saja, sih. Jaketku tetap basah.
“Kula nuwun, Buk! Wonten mantrol mboten, Buk? (Permisi, Buk! Ada jas hujan tidak, Buk?)” sahutku tanpa banyak basa-basi, sebab suaraku harus dikeraskan untuk mengalahkan suara hujan.
Ibu-ibu pemilik warung balas berteriak dari dalam, “Wonten, Mbak! Mau yang apa? Ponco? Atau yang ada celananya?”
“Yang paling murah aja, Buk!”
Ibu Pemilik Warung mengambilkanku beberapa bungkus jas hujan dan meletakkannya di atas etalase. Kuminta yang paling murah, tetap saja diambilkan semuanya. “Ini, ini, sama ini modelnya ponco, Mbak. Kalau yang ini sama ini ada celananya,” jelasnya.
“Yang ini aja, Buk. Pinten nggih, Buk? (Berapa, ya, Buk?)” Aku langsung memilih jas hujan berwarna kuning pudar yang terbuat dari plastik tipis. Ini jas hujan warna-warni yang kusebut sejak tadi. Kata temanku, ini jas hujan sekali pakai. Tetapi sering kulihat bapak-bapak di desaku memakainya berkali-kali ke sawah. Kelihatannya memang tidak tahan lama, sih. Terlalu kecil juga untuk badanku yang agak gempal—aku pernah memakainya dulu saat pulang dari rumah Santi. Tapi uang sakuku hanya tersisa sepuluh ribu rupiah. Pilihan apa lagi yang kupunya?
Ibu Pemilik Warung menyebutkan harga jas hujan itu bersamaan dengan meledaknya geledek dari langit.
“Sepuluh saja, Mbak.”
Geledek itu seperti menyambarku betulan. Aku terbelalak. “Sepuluh, Buk?!”
“Iya, Mbak, sepuluh!” Ibu itu mengeraskan suara, mengira aku tidak dengar.
“Masa sepuluh, Buk?! Di warung deket rumah saya cuma empat ribu!”
“Lho, warung deket rumah Mbak itu di mana?”
“Di Desa Y, Buk!”
Ibu Pemilik Warung tertawa tak kalah menggelegarnya dengan geledek yang tadi berkilat. “Mbaaak, Mbak! Harga desa, kok, disamain sama harga kota! Yo ra masuk! (Ya tidak masuk akal!) Lagian mereknya pasti beda! Yang ini lebih bagus!”
Beda dari mana? Jelas-jelas jas hujan ini sama persis dengan yang dijual di warung dekat rumahku. Ah, ibu ini, licik sekali muslihat dagangnya!
Aku memandang ke luar, berpikir keras dengan hati gelisah. Hujan sebesar ini pasti baru akan reda nanti malam. Masih ada PR yang belum kukerjakan, dan buku cetak yang jadi acuannya ada di rumah. Ah, bodohnya aku, tidak sekalian membawa buku itu agar bisa mengerjakan PR di bioskop sambil menunggu hujan reda!
Tiba-tiba, ponselku menerima pesan baru dari Santi.
“Tut, nek wis rampung nonton aja lali nggarap Sosiologi. Sesuk presentasi, awakdhewe kelompok siji (Tut, kalau sudah selesai nonton, jangan lupa kerjakan Sosiologi. Besok presentasi, kita kelompok satu).”
Aku mengetik balasan dengan emosi yang tak sengaja tumpah, “Kowe ki lho, isa-isane nagih tugas. Aku ki lagi bingung, ra isa bali! Udane deres banget, aku ra nggawa mantrol! (Kamu itu lho, bisa-bisanya menagih tugas. Aku ini sedang bingung, nggak bisa pulang! Hujannya deras sekali, aku nggak bawa jas hujan!)”
Santi membalas, “Ha, bingung ngapa? Gari tuku mantrol, ta? Kan sangumu akeh. Kok malah aku sing tokseneni. (Ha, bingung kenapa? Tinggal beli jas hujan, kan? Toh uang sakumu banyak. Kok malah aku yang kamu marahi).”
Aku mau mengetik, “Duitku gari sepuluh ewu, isih arep nggo tuku bensin barang. Mantrol paling murah regane yo sepuluh ewu! (Uangku tinggal sepuluh ribu, masih mau buat beli bensin juga. Jas hujan paling murah harganya juga sepuluh ribu!),” dengan kata lain mengaku kepada Santi bahwa uangku tidak cukup. Namun, itu semua hanya bersuara di kepalaku sebagai teriakan frustrasi yang hanya bisa kudengar sendiri.
Mana mungkin aku bisa mengungkapkannya? Santi dan semua temanku di sekolah mengenalku sebagai anak kekota-kotaan yang selalu punya banyak uang untuk jalan-jalan di Kota. Masa beli jas hujan yang harganya sepuluh ribu saja tidak bisa? Kalau menonton film di bioskop saja bisa kulakukan setiap minggu, seharusnya aku punya cukup uang untuk membeli jas hujan seharga sepuluh ribu, ta? Seharusnya aku bisa membeli jas hujan tanpa perlu mengkhawatirkan bagaimana aku bisa pulang nanti kalau di tengah jalan kehabisan bensin.
Nyatanya, uangku tidak pernah sebanyak itu, dan rumahku jauh sekali!
“Mbak! Ini jadi nggak e, Mbak? Udah yang paling murah, lho! Cuma sepuluh ribu aja, kok! Yang di atasnya udah dua puluh ribuan lebih.” Ibu Pemilik Warung menagih keputusanku, karena aku masih berdiri bimbang di depan etalase tokonya. Sepertinya tanpa kusadari kegelisahanku terpancar amat jelas di wajahku, sebab ibu itu menambahkan, “Mbak masih sekolah, ta? Kalo emang nggak punya uang, minta jemput Bapak-Ibuk aja. Nggak usah nangis, Mbak.”
“Niki boten saged kurang napa, Buk? (Ini nggak bisa kurang, ya, Buk?)” tanyaku putus asa.
“Lho, kok, malah nawar.” Ibu Pemilik Warung itu tertawa lagi. Seseorang entah siapa menyahut dari bagian dalam warung yang tertutupi rak besar. Aku tidak dengar suara lelaki yang kedengarannya seumuran bapakku itu, tetapi Ibu Pemilik Warung membalasnya dengan berseru, “Iki, lho! Mbake ki lucu! Wis regane paling murah isih dinyang! (Ini, lho! Mbaknya ini lucu! Sudah harga paling murah masih ditawar!)”
Mendengar itu, seketika hatiku disergap rasa panas.
“Nyoh, Buk! Taktukune! Sepuluh ewu, ta?! (Ini, Buk! Saya beli! Sepuluh ribu, kan?!)” Aku berteriak sambil melempar segumpal uang berwarna ungu ke etalase. Kusambar jas hujan baruku dari atas etalase dan segera angkat kaki. Pergi sejauh-jauhnya dari Ibu Pemilik Warung yang bukannya berbelas kasih pada orang yang kesusahan, malah menertawakan dan mempermalukannya dengan kejam! Tak kupedulikan suara jeleknya yang mengomeli sikap tidak sopanku. Aku berlari menembus hujan untuk kembali ke tempat parkir bioskop. Pada saat itu, aku baru ingat. Aku masih harus bayar parkir!
Motor kukendarai sambil menangis. Perjalananku tersendat-sendat karena jalan begitu padat pada jam bubaran kantor seperti ini. Hujan pun sama kejamnya dengan Ibu Pemilik Warung tadi, sengaja turun berlama-lama dan tanpa sedikit pun mereda seolah-olah sedang menertawakan kesialanku. Jas hujan plastik yang kubeli tidak mempan melindungi badanku dari terpaan air. Ditambah bensinku hanya tinggal satu setrip dan aku sama sekali tidak bisa menebak seberapa banyak yang masih tersisa di tangki. Uangku sudah tidak cukup lagi. Rokku basah kuyup. Jaket dan bajuku basah kuyup. Ranselku pun basah kuyup, berikut buku-buku di dalamnya sebab ranselku ini ransel murah, hanya dibelikan Ibuk dari pasar dan bukan dari mal, jadi tidak tahan air.
Ah, murahan atau tidak, dari mal atau bukan, itu sudah tidak penting lagi. Yang kumau saat ini hanya pulang!
Malangnya nasibku, setelah motorku menyeberangi perempatan ring road, bensinku habis.
Putus asa, aku menepi ke emperan sebuah rumah dan menelepon Bapak dengan sisa-sisa pulsa yang kupunya.
“Paaak, aku dipethuuuk …. (Paaak, aku dijempuuut),” rengekku begitu telepon tersambung. Kujelaskan kemalangan yang sekarang sedang menderaku—sambil menangis terisak-isak tanpa bisa kutahan. Dan seperti Ibu Pemilik Warung, seperti juga hujan, Bapak pun tertawa lebar-lebar.
“Tutiiik, Tutik. Makanya nonton bioskop itu sekali-sekali saja. Main ke Kota juga kalau uang sakumu banyak, biar kalau ada apa-apa nggak bingung kayak gini. Bapak-Ibuk nggak pernah ngelarang, kok. Kalau jadinya begini, ya, repot juga, ta,” kata Bapak, entah mengapa terdengar menenangkan alih-alih mengejek. “Wis, neng konoa wae. Bapak ngerti, kok, nggone sing endi. Takmangkat saiki. (Sudah, di situlah saja. Bapak tahu, kok, tempatnya di mana. Bapak berangkat sekarang).”
Aku menunggu Bapak dengan perasaan amburadul. Dengan hati redam kuakui memang salahku memaksakan diri bepergian ke Kota agar selalu kekinian dan mengikuti perkembangan zaman, padahal uangku tidak selalu mencukupi. Tetapi bukan salahku kan, semua hiburan modern hanya terpusat di sana saja?*