Tukang Ayam Geprek di belakang kampus UIN Jakarta.

Sepiring Ayam Geprek dan Puisi Lainnya

Ahmad Rizki

2 min read

DI WARUNG 16:39 WIB

matahari nyasar ke dinding
jadi pengap, sedikit iblis
di 16:30 yang miris
menghabisi nyali yang berkeping.

orang itu,
memesan es batu, aneka jajanan
air mata, keriuhan, ice pop, kecurigaan
pembangunan, juga ketenangan,
dengan harga yang baku.
tetapi aku kaget,
ketika ia memilih menambahkan
nitrogen 78,00%, argon 1,002%,
helium 23,00%,
kripton dan metana 3,23%,
neon dan oksigen 20,09%
untuk kenyataan yang lengket
sewarna, sesederhana—sepaket.

“kapan kau pulang dari tempat itu
ketika digital memanggilmu
dan kau sebut: Indonesia tiga bendara
…. campurkan itu!
berilah pilihan manusia, kenapa?”
katanya gagah!

orang itu melihat jejeran makanan recehan
seperti kristen, Islam, Yahudi, Buddha, Hindu, Protestan
atau partai dan lembaga swasta
yang risau dan berebut muruah,
tegap berdiri serasi, sejajar tali…
tetapi suara mesin blender
nyaring ke prasasti yang keder
pajangan foto-foto yang keder
naskah atas klaim yang keder
tanggapan yang keder.
tanganku menatap matanya,
reformasi, revolusi, Orla, dan Orba
perjumpaan Asia-Afrika
makhluk gaib di ruang konstituante
khayalan meja di rapat BPUPKI
jam yang sembrono di peluru perlawanan,
bagai anak-anak yang merapal doa-doa
di udara konfrontasi jiwa yang waras
dari pengulangan tema yang bias
dari Soviet dan Amerika
Timur dan Barat
dari mana-mana
dari putih dan hitam bercahaya
dari simpul-simpul negara-negara
dari ras, suku, dan pikiran terbuka
atau celaka, atau sengsara, atau, kalah.

orang itu sekarang bisu dan meleleh,
ada dorongan pertanyaan yang bergairah
menjerat di etalase dan cahaya,
tanpa kata, tanpa aura
hanya uang, dan matanya.
sekarang kupercaya, siapa?

orang itu pergi tanpa kata-kata
tema-tema melengos, percuma
ilmu yang tendensi
pembacaan yang akuisisi
klaim atas presisi
mengusung bayangannya
untuk kembali menyiapkan banyak peristiwa.

matahari nyasar ke dinding
jadi pengap, sedikit iblis
di 16:30 yang miris
menghabisi nyali yang berkeping.

(2024)

SEORANG MAHASISWI MEMESAN AYAM GEPREK

berapa jumlah kubus di atas meja?
“…. tunggu pesanan, Kaka.”

berapa waktu perak menuju emas?
itu cabai, kepalaku panas
dua liter beras
semangkuk kecap manis
“tunggu, Kaka!”

api menyala, pasti, waktuKu merah
seperti pena penguasa, harganya
murah, kotak kertas, lingkungan ramah
“tunggu, Kaka!”

dua belas ribuan, mungkin, waktu
adalah sekadar igauan orang dewasa
ada sayuran, dan dua kilo terigu
meja, pisau, dan musik penjaga
…. sekarang semester berapa?
kenapa wajahmu celaka?
tidak, aku hanya
ingin minum teh saja
“tunggu, Kaka!”

berapa menit untuk melindungi matahari?
itu ayam, delapan potong ilusi
minyak panas
mimpi-mimpi yang bebas
“tunggu, Kaka!”

berapa jam menuju ruang angkasa?
itu nasi, tiga juta butir jumlahnya
sekarang apa kau kembali ke sana?

“…. ini pesanannya, dua belas ribu
hatiMu berani, tapi ragu-ragu!”

(2024)

SEPIRING AYAM GEPREK

kupakai jatahmu untuk makan
untuk bertahan dalam
100 tahun yang mengangkang
di depan Ciputat,
saudaraku: si pongah.
sepiring ayam geprek itu
berdiri di dunia yang rapuh
di kenyataan yang abu-abu
setiap kali merasakannya, apa?

darah dan kesengsaraan terasa
ke empat penjuru lidah:
wajah-wajah duafa, ocehan doa
yang nyaris ke angkasa,
merasakan awal dan akhir yang sama
mengelabui pikiran
membunuh perasaan
berkali-kali sampai bosan.
kau sedang lapar, saudara?

cabai, ayam, beras, bawang
ketakutan dalam sekilo tepung
bensin eceran
air mani berserakan
igauan
bunga-bunga anggrek
bayi-bayi merengek
dan impian timur
sejuta nasihat luhur
rasa kekalahan yang nyata
rasa heran, gugatan, dan pasrah
menggerogoti kenikmatan
dan kekhawatiran
yang beragam.

“apalagi yang tersisa dari sejumlah
sabar yang mengada-ada?”

“dari sambal yang banal
jadi kredo rasa kental
berselimut mimpi yang terjal
kolonialisme yang cantik
slogan dari lukisan gambar batik
sepotong ayam murah
dan setengah liter beras tanpa subsidi
angka-angka normatif yang dogmatis
bergelantungan di kebuntuan yang parah
apa lagi yang bisa dicerna?”

kerakusan—penderitaan jadi nyawa—
menyelinap masuk perkasa
kenikmatan menghantui manusia.
pintu-pintu ajaib menyerang rasa
mencakar, melewati batas dua dunia
tujuh olahan yang lebih menggoda
reruntuhan puing-puing putus asa
dari ekonomi dan psikologi
si ayam jantan setelah birahi
muncrat ke dahi dan relung hati
dengan berulang kali, lompatan hari-hari
terulang tanpa permisi
minyak goreng yang hampir basi
wajan dan tiga jenis panci
memergoki mata manusia yang sangsi.

kupakai jatahmu dengan
dua belas ribu yang enggan
—walau agak kasihan—
setelah 100 tahun perjalanan
gedung milik orang-orang
sekarang bergelantungan di sisa
suapan terakhir yang lumayan bahagia
rasa dari rasa
berjuta-juta menggenangi semua makna
bahasa yang paling sia-sia
saudaraku: si pongah
dari alam maya
yang menyombongkan tubuhnya
dengan sengaja dan bijaksana
yang seolah-olah sebuah kata
punya alasan untuk memilih hidupnya
dari pelbagai kekalahan atas kemenangan
dan kesusahan yang dibayangi kemakmuran
dari jatahmu yang kupakai, kenapa?

(2024)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Ahmad Rizki
Ahmad Rizki Tukang Ayam Geprek di belakang kampus UIN Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email