Prolog
Seorang laki-laki berjalan menyeret peti mati memasuki gerbang perbatasan kota menuju daerah pelabuhan. Menyusuri pinggiran jalan beraspal yang telah sepi oleh manusia, melewati deretan toko dan gedung di kanan kiri. Kosong bak kuburan mengintai di tengah malam, entah dengan kengerian macam apa yang bersembunyi di dalamnya.
Sesekali ia berpapasan dengan orang yang menatapnya jijik, atau ketakutan. Lagi pula seorang laki-laki compang-camping di tengah malam menyeret peti mati yang telah koyak, bukanlah pemandangan yang menyenangkan, tentu. Tidak juga anjing-anjing liar di sepanjang jalan dengan perut kurus kering dimakan cacing yang sekuat tenaga menyeret kaki mereka sejauh mungkin dari laki-laki itu. Tahu bahwa ia tidak membawa apa-apa selain kematian.
Laki-laki itu hanya melihat sambil lalu. Terus berjalan seolah peti mati itu mengejarnya. Lupa bahwa ia sendiri yang menyeret peti mati itu ke mana pun dirinya pergi.
Langkahnya terhenti sesampainya di sebuah kedai bir di belakang stasiun kota. Ia masuk, memilih satu sudut yang agak temaram lalu duduk berhadapan dengan peti mati bawaannya layaknya sepasang kekasih. Sebelum sempat ia bernapas, seorang laki-laki gempal berwajah garang dengan kumis tipis bergegas menghampirinya.
“Apa isi peti mati itu?” ucapnya curiga sembari berdiri membelakangi arah cahaya datang. Menutupi wajah sang pengelana dengan bayang tubuh gempalnya.
“Seorang laki-laki bernama Darto. Ia mati lima belas tahun lalu di kota ini,” jawab sang pengelana sembari menutupi sebagian wajahnya yang tertunduk.
“Pastikan ia tidak mengeluarkan bau busuk, atau mulai malam ini kau akan menemani Darto di peti matinya,” ucap penjaga kedai.
Terselip suara tawa dari mulut pengelana itu.
Jika orang-orang di kota ini memang tidak suka bau busuk, maka setiap dari mereka harusnya sudah mati menenggak racun tikus, menembak kepala, atau menggantung diri mereka sendiri di gapura perumahan. Lalu kota ini hanya akan berisi hantu-hantu yang berkeliaran penasaran karena bahkan setelah mereka mati, bau busuk itu tetap tidak bisa luntur.
***
Penggali Kubur
Aku tahu ia akan datang. Lima belas tahun lalu aku sendiri yang menggali dan memasukkan laki-laki itu ke lubang kuburnya. Kutemukan tubuhnya dengan lubang di pelipis kanan. Terbaring lemas di samping sebuah peti mati yang dari luar bisa kau lihat bahwa ia dikerjakan dengan serampangan. Tanpa cat menyelimuti serta paku di sana-sini yang terlihat seperti dipukuli kesetanan.
Sekilas kau tidak akan menyangka ada jasad manusia di dalamnya. Bangkai kucing atau anjing mungkin lebih cocok. Percayalah, setelah empat puluh tahun menjadi penggali kubur, aku bisa berkata bahwa pembuat peti mati itu tidak ingin mayat di dalamnya beristirahat dengan tenang.
Aku melihat dia berjalan memasuki gerbang kuburan yang kujaga, melintasi jalan setapak yang membelah rimbun pohon waru di kanan dan bambu liar di kiri jalan.
“Kau tidak akan percaya apa yang terjadi padaku selama ini,” ucap laki-laki itu yang kini hanya berada beberapa langkah dari teras gubukku.
“Aku menyaksikanmu bangkit dari kubur di hari ketiga kematianmu. Kata-kata apa pun yang keluar dari mulutmu tidak akan bisa lebih mengejutkan. Mereka hanya kata,” jawabku sembari menawarinya segelas air. Ia menolak, lebih memilih rokok.
“Aku akan memberi tahu satu rahasia kecil: dendam tidak akan pernah habis dimakan tanah. Belatung tidak akan sudi melumat jantung yang terbakar amarah. Kau hanya bisa mati sekali, dan tidak seharusnya kembali dengan keduanya.”
“Kematian sepertinya membuatmu bijak.”
“Tidak juga, aku hanya marah.”
“Kadang keduanya adalah sama,” ucapku.
Aku membiarkannya merokok sebentar, sembari menyusun pertanyaan di kepala. Kapan lagi kau bertemu dengan orang yang kembali dari kematian?
Seperti kebanyakan orang, aku hanya mengenalnya sebagai pengrajin peti mati terbaik di kota ini. Meski pada suatu waktu, aku juga sering melihatnya datang ke kuburan. Ia menangis segila-gilanya kali pertama ia datang. Tiga hari berikutnya, ia datang lagi, dan menangis lagi. Kali ini seorang perempuan di sampingnya mencoba menenangkan laki-laki itu, sembari menahan tangisnya sendiri hingga ia tak bisa berkata-kata.
Dua hari berikutnya laki-laki itu datang lagi. Tak ada lagi air mata tersisa. Ia hanya duduk bersandar di sebuah nisan, sendirian dari sore hingga malam.
Terkadang aku terbangun di tengah malam oleh suara tangisan, dan seperti yang kau tebak, ia sedang duduk di sana. Di samping sebuah makam baru yang kali ini entah siapa.
Sebenarnya ini cukup lucu. Dibanding jasad yang sudah terbujur kaku, tengkorak yang dimakan belatung, laki-laki itu jauh lebih menakutkan bagiku.
Aku tak pernah melihatnya datang atau pergi. Tak pernah pula aku melihatnya menangis atau bahkan berbisik. Tetapi aku berani mempertaruhkan hidupku, bahwa aku berkali-kali mendengar tangis, kadang jeritan seorang laki-laki.
Ia sempat tak datang ke kuburan selama sebulan. Dan kehidupanku kembali seperti semula. Tak ada tangisan di tengah malam. Meski tetap saja, aku tak bisa tidur dengan tenang.
Waktu itu pekerjaanku seakan tak pernah habis. Baru selesai menggali lubang di pagi hari, dan sorenya sudah harus menggali lubang-lubang baru lagi. Aku tak lagi terbangun oleh tangisan melainkan deru mesin truk di tengah malam, dan di pagi harinya mayat-mayat baru sudah mengantre untuk dikuburkan.
Dan kau tahu, hal ini membuatku bertanya-tanya. Jika kejadian itu terulang lagi, rombongan mayat itu datang lagi, tak ada tanah tersisa di kuburan ini.
Beberapa waktu sesudahnya, laki-laki itu datang lagi. Langkahnya patah-patah namun penuh kemarahan, seolah ingin menghancurkan tanah di tiap pijakannya. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia datang menyeret tiga buah peti mati. Dua ia serahkan padaku dan sebelum ia dapat berbaring di peti mati ketiga, tubuhnya roboh. Darah menutupi tiap jengkal tubuhnya, seakan ia baru saja dibaptis oleh iblis di sungai yang hanya mengalirkan darah.
Salah satu penyesalan dalam hidupku adalah aku tak bisa menguburkan laki-laki itu di samping anak istrinya. Kuburan ini hanya menyisakan sedikit tanah di bagian belakang dan aku terpaksa menguburkannya di samping nisan-nisan tanpa nama. Di samping mayat-mayat yang turun dari truk di tengah malam.
***
Pengelana dengan Peti Mati
Menjadi pembuat peti mati terbaik di kota yang sedang dilanda perang memang menggoda. Setidaknya hingga kau mendapat pesanan dari ibu seorang karibmu, bahwa anaknya telah tiga hari hilang entah ke mana. Dan di hari ke empat, ia pulang sebagai mayat. Kau tidak pernah tahu besok akan mendengar apa, atau kehilangan siapa. Tanpa kau sadari kau telah kehilangan semua, kecuali secuil kesadaran di belakang kepala yang hanya cukup bagiku untuk menyelesaikan tiga peti mati terakhir.
Apa yang terjadi setelahnya, entahlah. Kurasa kau lebih tahu. Aku hanya ingat merangkak mati-matian dari lubang kuburku. Semua terjadi begitu saja. Seperti kehidupan. Seperti kematian.
Kakiku bergerak dengan sendirinya, begitu juga tangan yang dengan sigap mencengkeram pinggiran peti matiku sendiri. Menyeretnya pergi meninggalkan kota di mana aku mati lalu hidup kembali. Aku tidak memiliki apa-apa lagi. Ia adalah satu-satunya.
Tanpa kusadari ia telah menjadi kawan di malam gelap dan dingin ketika aku berjalan menyusuri lorong-lorong kota yang ditinggalkan, menghindari keramaian. Ketika di balik tengkukku senantiasa mengintai sebuah bayangan. Bayangan yang kadang bersembunyi di ekor mata, kadang berlari beriringan.
“Pssst!” bisik peti mati itu pelan. “Tidak ada apa-apa di sana selain kematian.”
Ia mendorongku agar berjalan lebih cepat, tidak menoleh ke belakang. Terkadang ia juga membantuku menentukan tujuan.
“Aku rasa sebaiknya kita pergi ke Kota T saja,” ucapnya ketika kami berada di persimpangan antara Kota T dan Kota M. Kebanyakan kota yang kami lewati sesungguhnya sama terbengkalainya, hingga kami harus hidup bagai burung pemakan bangkai. Memunguti apa saja yang tersisa dari kobaran api perang yang membakar seluruh negeri.
Di satu kota di pesisir utara, aku sempat berhenti untuk mengisi peti matiku dengan beras yang kutemukan di gudang persediaan logistik milik pemberontak yang telah terbengkalai. Di kota lain, aku menemukan sepanjang ruas jalan berisi toko-toko perhiasan tanpa seorang pun yang menjaganya. Dugaanku, tentara-tentara itu keburu mendapatkan perintah dari pusat untuk berhenti membakari kota dan hanya membantai penduduknya.
Kota itu hanya dihuni oleh satu peleton tentara kelaparan yang dipimpin seorang letnan muda. Sebagian besar dari mereka telah dipindahkan untuk memadamkan pemberontakan di pelosok lain.
Tidak ada lagi yang tersisa untuk bisa dimakan. Pasokan logistik dari pusat sudah berhenti dikirim beberapa minggu sebelumnya. Dan peleton itu rupanya belum cukup gila untuk memakan pemberontak yang mereka tahan.
Karena percaya atau tidak, aku pernah mendengar kisah tentang satu peleton di kaki gunung yang entah gila karena kerasukan atau kelaparan, berubah menjadi makhluk kanibal. Serdadu-serdadu itu berkomplot dan mengeksekusi letnan mereka sendiri, yang hanya bisa duduk manis sembari memerintahkan mereka berburu makanan ke hutan ketika pasokan makanan berhenti datang.
Setelah selesai berpesta dan menyantap tubuh sang letnan malang, mereka beralih ke para pemberontak yang mereka tahan. Memberondong petani, nelayan, seniman, orang partai, dan entah siapa yang ada di sana dengan biji pelor lalu menyantap daging, jeroan, dan apa pun yang tersisa.
Mereka mengendap-endap di tengah malam, menyusuri desa-desa untuk mencari daging manusia, entah penduduk, pemberontak, atau tentara. Mereka baru berhenti ketika satu regu khusus bersama seorang dukun kondang didatangkan oleh markas pusat, untuk memburu dan mengeksekusi para desertir itu.
“Sekali kau mencoba daging manusia, kau tak akan bisa berhenti,” ujar seorang serdadu yang menceritakan cerita itu padaku.
Ketika kota telah menjadi ramai lagi, hutan di lereng gunung jadi satu-satunya tempat aman bagi kami. Memang benar kata orang, arwah mereka yang mati tidak tenang (termasuk yang mati selama perang) biasanya akan pergi ke hutan. Tapi pilihannya memang hanya tinggal hutan atau kota, dan setidaknya tak ada yang membawa senapan di hutan.
Tentu saja di beberapa tempat, hutan-hutan itu tidak lagi cukup. Terlalu banyak arwah dan terlalu sedikit hutan. Beberapa orang bilang lima ratus ribu arwah di seluruh negeri tinggal di hutan. Lainnya bilang hingga dua juta.
Pada akhirnya mereka pun harus turun ke kota dan merasuki manusia. Berpindah dari satu manusia ke manusia lain karena mereka sendiri juga tidak tenang. Tubuh itu bukan milik mereka, sebagaimana hutan ini juga bukan rumahku.
“Kau harus kembali ke tanah di mana kau mati,” ucap peti mati itu kepadaku.
***
Penggali Kubur
Ketika cahaya jingga menerobos rimbunan pohon waru menuju teras bedengku, cerita laki-laki itu usai. Meninggalkanku dalam kebingungan yang sama seperti lima belas tahun lalu.
Setelah menghabiskan kopi yang telah dingin entah sejak kapan, ia berpamitan.
“Tapi, kau yakin akan melakukan ini?” tanyaku terakhir sebelum ia pergi.
“Entahlah, aku juga tidak tahu.”
Aku terdiam berdiri mengamati laki-laki itu semakin jauh dari gubukku. Langkah kakinya terlihat berat. Mungkin karena ia membawa empat liter bensin, satu meter mori pemberianku, entah berapa biji botol bir bekas, selusin granat, dan pelontar api, di dalam peti matinya. Mungkin karena ini adalah terakhir kalinya ia akan bertemu dengan istri dan anaknya.
Di sana ia berhenti. Di samping kuburan istri dan anaknya, terduduk menangis. Ia mencium kedua nisan itu, lalu hilang ditelan cakrawala.
Ia meninggalkan secarik kertas bertuliskan pesan untuk warga kota:
Hari pembalasan telah tiba. Aku datang dengan peti mati berisi mesiu dan bensin yang akan membakar monumen-monumen kemenangan. Mulai hari ini mimpi kalian tidak akan menyenangkan karena kini kalian tahu siapa yang menunggu di ujung tidur kalian. Ketika giliranmu tiba, aku akan menjadi manusia yang menyeretmu ke tiang gantungan, menyaksikan dan bertepuk tangan. Bersiaplah!