Aku tahu ini terdengar aneh bagi beberapa orang di antara kalian. Yang lainnya mungkin akan menganggapku sedang membual. Percayalah, aku sendiri tak habis pikir bagaimana bisa kejadian ganjil seperti ini menimpaku. Nyatanya hal ini telah menempatkanku pada posisi yang serba tak menyenangkan. Semua bermula pada suatu pagi, saat sedang duduk di beranda rumah dan membolak-balik halaman koran, aku mendapati ceritaku diterbitkan di sana tapi bukan atas namaku sendiri.
Aku terperanjat kaget. Sebagian karena aku merasa tidak sedang mengirimkan ceritaku ke koran manapun. Sebagian lagi karena mereka mencatut nama Seno. Ya, benar sekali. Seno Gumira Ajidarma, master cerpen yang sangat terkenal itu. Yang menulis cerita silat berjilid dan tebalnya minta ampun.
Siska muncul dan memperhatikan dari balik punggungku, membenarkan apa yang kulihat tapi tidak begitu peduli dengan reaksiku.
“Terus, memangnya kenapa dengan orang bernama Seno itu?” tanyanya acuh tak acuh.
“Lihat ini,” kataku, “cerpen ini adalah karyaku. Akulah yang menulisnya. ‘Senja yang Jatuh di Mata Kekasihku‘. Akulah yang menulis ini.”
Istriku memicingkan mata, mengamatiku dengan tatapan berjarak. Sepertinya ia menganggapku membual lagi.
Aku bangkit masuk ke kamar dan kembali beberapa saat kemudian dengan naskah lama di tangan.
“Baca ini,” kataku menyorongkan kertas itu ke mukanya. “Lihat kalimat pembukanya! Tak ada satupun kata yang beda. Aku telah membacanya berulang kali. Kalimat-kalimat pendek, itu adalah gayaku. Bahkan jumlah huruf dan caranya mengakhiri cerita.” Aku mengambil koran dan menjejerkannya. Kujelaskankan tentang diksi, POV, plot, dan istilah-istilah lain seolah-olah aku memang harus membuktikan diri bahwa aku tidak sedang membual.
Siska tidak mengerti. Ia menggeleng kepalanya dan berkata, “jadi orang ini telah mencuri karyamu? Begitu?” ujung bibirnya terangkat, ekpresi yang sering diperlihatkannya jauh sebelum ini, sejak masa pacaran kami dulu sampai usiaku sekarang, di mana ia sadar tengah hidup dengan lelaki yang gagal jadi penulis.
“Ya tidak begitu juga, sih,” jawabku ragu, “tapi kau harus percaya, akulah yang menulis ini.”
“Akulah yang menulis ini….” Siska membeo ucapanku. Caranya mengeja membuatku kesal.
“Kasihan,” dia berkata, “obsesi telah membutakan hatimu. Kau bahkan secara tak tahu malu menuduh seorang penulis besar telah mencuri karyamu. Memangnya kau ini siapa? Kau iri ya?”
Yang benar saja. Apakah aku terlihat sedang cemburu kepada Seno? Seno adalah salah satu penulis idolaku. Aku membaca hampir setiap karyanya dan dalam beberapa hal aku menimba banyak teknik kepenulisan darinya. Jelas istriku tak memahami apa yang dituduhkannya. Sangat sering ia melakukan ini untuk memperburuk suasana hatiku. Ia sengaja berdiri di sisi yang berlawanan dan mengejek cita-citaku.
Aku memang seharusnya berbicara dengan orang lain saja. Jadi aku menemui Rudi, kawanku si mahasiswa abadi di fakultas sastra.
“Wah, ini masalah yang rumit, Bung,” ia berkata sambil mengumpulkan rambut gondrongnya yang rontok di lantai.
“Kau, kan, pintar. Kau pasti tahu apa yang harus kulakukan,” kataku.
“Jika kau menanyakan pendapatku tentang ini, aku sendiri pun ragu.”
“Jadi, kau juga tak memercayaiku?”
“Bukan begitu. Aku percaya semua yang telah kau ceritakan. Tak salah lagi. Tetapi ini bukan tentang karya itu sendiri. Ini tentang klaim. Akan berbeda ceritanya bila Seno yang datang mengadukan nasibnya kepadaku.”
Aku tak mengerti.
“Kalau kau membicarakan tentang hak cipta, maka ini bisa masuk ke perkara hukum. Tapi menimbang nama besar Seno, aku khawatir upayamu akan berakhir dengan mempermalukan diri sendiri.”
“Itu artinya kau pun meragukanku!” bentakku penuh amarah.
“Kau tak mengerti, Bung,” ia menggeleng lemah. “Di dunia ini, pengakuan selalu berbanding lurus dengan nama besar. Dan kau tahu, karyamu itu…”
Aku tinggalkan ia sendirian mengoceh. Percuma berbicara dengan orang-orang yang sedari awal tak memercayaiku.
Aku sebenarnya bisa mengabaikan hal ini begitu saja. Aku tak perlu ambil pusing dan cukuplah menganggapnya sebagai salah satu di antara berbagai kebetulan yang banyak terjadi di semesta. Tetapi fakta bahwa ini adalah cerita pertamaku, (dari ratusan konsep di dalam kepalaku, yang kutuangkan pada tumpukan naskah-naskah lusuh sejak kuliah empat tahun lalu sampai menikahi Siska, perempuan yang tak pernah menghargai upayaku) mana bisa aku melewatkan hal penting ini begitu saja.
Di sisi lain, sebagian diriku ingin mempertahankan rasa hormat pada Seno. Jadi aku tak akan tenang sebelum mengetahui kebenarannya.
Kalau mau jujur, Senja yang Jatuh di Mata Kekasihku itu tidak bagus-bagus amat. Ceritanya datar dan menurut penilaianku terlalu rapuh. Jika ada beberapa hal yang patut disoroti adalah caraku, atau cara Seno (atau cara kami berdua, ini tak penting lagi) mengakhiri cerita. Yah, sedikit kejutan, aku memutuskan untuk mematikan semua tokohnya. Sebagai perbandingan, aku memiliki ratusan cerita lain yang telah kukirimkan ke sejumlah koran dan penerbit, yang menurutku lebih bagus, dan kalian tahu sendiri, berakhir di keranjang sampah komputer editor. Lalu, ceritaku yang satu ini, yang aku sendiri bahkan telah melupakannya, entah bagaimana bisa muncul kembali. Di koran nasional pula.
Hari berlalu, karyaku mulai diperbincangkan di kelas-kelas sastra. Seorang mahasiswa tingkat akhir membuat esai delapan halaman tentangnya. Seorang lain menganalisis dari disiplin ilmu tertentu, psikonalisis, kecenderungan bunuh diri, pengaruhnya pada histeria masyarakat abad 21. Aku bahkan pernah menghadiri diskusi yang diselenggarakan oleh lingkaran sastrawan kabupaten setempat, dan kuingat betul seorang lelaki botak berjanggut berdiri dan mengatakan bahwa Senja yang Jatuh di Mata Kekasihku adalah pencapaian tertinggi Seno dalam puluhan tahun karirnya sebagai penulis. Semua orang bersepakat dan aku ikut bertepuk tangan waktu itu.
Namun, kebanggaan tak cukup kuat mengusir rasa kesal dalam diriku. Amarahku memuncak ketika tahu bahwa karyaku telah berjalan begitu jauh meninggalkanku. Klaim dan rasa terzolimi membuatku mengambil langkah nekat. Persetan dengan mempermalukan diri sendiri. Aku akan menghubungi redakturnya.
Butuh waktu dua bulan baginya untuk membalas surelku. Demi kesopanan, aku meminta nomor teleponnya. Tetapi, kawanku Rudi dan istriku mungkin benar. Ini tak akan berakhir baik untukku.
“Oh, jadi Anda meneleponku hanya untuk mengklaim cerpen Seno itu adalah milik Anda?” suara lelaki paruh baya di seberang sambungan tertawa terkekeh-kekeh. Aku berusaha untuk tetap tenang. Kuceritakan semuanya, sebagaimana yang kukatakan kepada Siska dan Rudi.
“Dengarkan ini, Bung,” dia masih tertawa. “Saya ragu Bung sendiri sadar dengan apa yang bung bicarakan saat ini. Lagipula, Bung ini siapa? Seenaknya saja mengaku-ngakui karya orang.”
“Aku hanya ingin memastikan, siapa tahu…”
“Oh, jadi Bung menganggap bahwa ini salah Seno? Jadi Bung mau bilang kalau Seno muncul di rumah Bung dan mencuri salinan cerpen itu, lalu mengirimnya atas nama sendiri?” ia tertawa lagi, membuat nyaliku makin ciut.
“Bukan itu maksudku. Aku hanya ingin bilang kalau bisa saja terjadi semacam kesalahpahaman dalam prosesnya.”
“Nah, sudah kuduga. Sekarang Anda mengarahkan tuduhan kepada editor. Kalau Bung mau memperkarakan hal ini, silahkan. Kami tidak takut. Tapi tahukah Bung sedang berbicara dengan siapa?”
“Siapa?”
Ia memperkenalkan dirinya. Sebagai orang yang malang melintang di dunia jurnalistik. Ia mungkin cukup terkenal, karena ketika ia mengucapkan namanya aku merasa pernah mendengarnya di suatu tempat entah di mana. Ia baru saja akan menjelaskan sederet prestasinya sebagai juri festival dan sayembara dewan kesenian atau apalah itu ketika aku mematikan telepon dan sekonyong-konyong sebuah solusi jitu menghampiriku.
Sebenarnya ini adalah gagasan lama. Jauh sebelum Rudi menyadarkanku bahwa perjuangan bagi seorang penulis amatir untuk diakui adalah perjuangan sia-sia melawan nama besar penulis lain. Bahkan lebih jauh ke belakang, pada hari-hari ketika Siska terus mengeluhkan kenapa aku tidak cari pekerjaan lain saja daripada menulis cerita yang tidak bisa memberi keluarga kami makan.
Jadi, inilah yang kulakukan. Aku akan mengirimkan cerpenku ke dua perusahaan koran menggunakan identitas berbeda. Aku akan mengirimkan cerita yang sama, satu menggunakan namaku, satu lagi menggunakan nama Seno. Hasilnya mudah ditebak, cerpen atas namaku tak mendapat respon sama sekali. Sebaliknya, cerpen yang mencatut nama Seno langsung diterbitkan akhir pekan itu juga.
Aku terkejut, tentu saja. Bukan karena tak mampu memahami apa yang terjadi seperti waktu kali pertama. Sekarang semuanya telah jelas. Yang kusesali adalah mengapa aku begitu terlambat menyadari ini. Pada minggu berikutnya aku melakukan hal yang sama sekali lagi. Respon yang berulang membuatku semakin percaya diri. Sementara itu, aku punya banyak stok cerita lain yang bisa diedit.
Untuk variasi, kalau bukan untuk menghindari kecurigaan, kadang aku mengganti Seno dengan penulis besar lain. Aku mengirimkannya menggunakan surel palsu Eka Kurniawan, pada kesempatan lain Dadang Ari Murtono, AS. Laksana, dan banyak lainnya.
Sekarang aku sudah punya cukup banyak uang dari aktivitas ini. Siska, tanpa pernah curiga pada perubahan ekonomi keluarga kami, berubah sikap menjadi sedikit lebih lembut. Aku terus menulis cerpen-cerpen baru sembari memantau perkembangan dunia sastra secara umum. Memang, sih, terjadi riak-riak di luar sana tapi tak sampai menjadi kegemparan atau sejenisnya. Dunia berjalan baik-baik saja. Orang-orang membaca koran, membaca ceritaku atau cerita Seno, atau Eka, toh, tak ada bedanya. Mungkin saja, para pembaca akan melihat nama pengarang dulu sebelum memutuskan untuk melanjutkan membaca atau tidak. Tetapi begitu mereka telah sampai di titik penghabisan, semua itu jadi tak berarti lagi. Tak ubahnya kentut atau uap tipis di udara. Dan jika memang itu yang terjadi aku tak keberatan untuk menjadi anonim, selamanya menjadi penulis amatir.
Yah, tentu saja. Selama aku bisa menahan godaan untuk membayangkan reaksi Seno terbangun di pagi hari dan mendapati pada koran minggu, sebuah cerita yang sebenarnya tidak pernah dia tulis, muncul dengan namanya.
Editor: Ghufroni An’ars
Jika tokohnya diam-diam mencatut nama penulis lain agar karyanya dimuat di koran, buat apa dia koar-koar kepada istri dan temannya? Tapi baiklah, saya bisa memahami keinginan si tokoh untuk diakui. Akan tetapi, saya tidak paham dengan motif si tokoh menghubungi redaktur koran yang memuat cerpennya, lalu melayangkan protes, “Seno mencuri ceritaku!” Bisa jadi redaktur akan bertanya, “Anda siapa?” Dan ketika mereka mendapati kesamaan nama si tokoh dengan rekening penerima royalti, bukankah kecurigaan akan timbul? Kalau pembayaran dilakukan via transfer, nama yang tertera di rekening pasti nama pemilik rekening, bukan? Bukan nama Seno Gumira Ajidarma, Eka Kurniawan, atau Puthut Ea yang dia catut.
Lagipula, kecuali ada kerjasama antara penulis dan nama yang dicatut—seperti kasus “Bidadari Bunga Sepatu” AS Laksana yang terjadi tahun lalu—rasanya mustahil memakai nama penulis besar untuk mendaku karya kita. Bagaimana si tokoh menyiasati nama di rekeningnya agar sama dengan nama yang dicatutnya?