Hari ini tepat dua tahun sudah aku menganggur. Usiaku sekarang 30, belum menikah, dan tak pernah memiliki uang lebih dari 15 ribu rupiah di kantong celanaku. Aku bahkan tidak merasa perlu lagi membawa dompet karena selain tak pernah terisi uang sejak aku berhenti dari pekerjaanku, dompet itu juga secara konyol hilang ketika terjadi razia di Batu Cipuru, sebuah area kumuh di pinggiran kota kami yang selalu dicurigai sebagai sarang transaksi pekerja seks komersial.
Itu adalah tempat aku dan Boma biasanya singgah untuk makan siang. Keberadaan kami di sana hari itu bukanlah untuk main perempuan atau semacamnya. Kami terlalu miskin buat menghambur-hambur uang begitu. Aku dan Boma kenal dengan ibu warungnya, Singara’, 40 tahun. Dulu dia bekas PSK juga, tapi sekarang sudah tidak lagi. Makanan di sana dua kali lebih murah ketimbang di warung-warung tengah kota, dan Singara’ selalu menyambut kami dengan tertawa-tawa sampai daging bergelambir di bawah dagunya bergoyang-goyang lucu seperti kodok.
Kalau sudah begitu aku dan Boma akan saling memandang dan berpaling ke perempuan itu dengan perasaan kasihan. Ke manakah waktu membawa pergi semua pesonanya? Sewaktu SMP, aku, Boma, dan juga kawanku Almarhum Papekang sengaja pulang sekolah melewati lorong ini hanya demi melihat Singara’ muda duduk di bale-bale kayu sambil mengisap rokoknya. Dulu ia ibarat penerang (sesuai arti namanya) jalan para lelaki kesepian. Wajahnya cantik seperti artis sinetron 80-an. Untuk waktu yang lama ia telah menjadi objek fantasi seksual anak-anak baru gede seperti kami. Namun, dibandingkan aku dan Boma, Almarhum Papekang jelas memiliki tingkat kekurangajaran lebih.
“Tunggulah 5 tahun lagi baru kalian ke sini, Dek,” kata Singara’ menyemprot wajah kami semua dengan asap rokok. “Bulu kemaluan kalian saja belum tumbuh sekarang.”
“Lihat saja nanti kalau kami sudah SMA,” balas Papekang sambil menunjukkan gerakan cabul dengan menggoyang-goyangkan pinggulnya maju mundur.
Singara’ muda hanya tertawa-tawa melihat tingkah kocak teman kami itu.
Waktu berlalu, Singara’ yang dulu berwajah terang dan berkulit kencang itu berubah menjadi seonggok daging yang kesulitan bergerak. Berat badannya terus naik sepanjang waktu. Wajahnya selalu terlihat lelah dan tubuhnya tak berhenti menguarkan aroma rempah dapur. Meski begitu ia punya tawa hangat yang tak berubah setiap kali menyambut kami, memperlakukan kami sebagai anak-anak yang sama seperti puluhan tahun lalu. Secara aneh Singara’ telah bertransformasi menjadi seorang ibu bagi setiap orang. Mungkin itulah alasan kenapa aku tak pernah menepati janji untuk kembali kepadanya sebagai pelanggan sewaktu ia masih aktif dulu.
Kalau saja Almarhum Papekang masih hidup, mungkin ceritanya bakal berbeda. Sayangnya ia meninggal ditabrak mobil sewaktu kami kelas 3 SMP.
Ngomong-ngomong soal dompet tadi. Hari itu kami memang sama sekali tidak tahu apa-apa. Semuanya terjadi begitu saja. Aku baru memasukkan beberapa suapan nasi ke mulutku ketika dari ujung lorong, puluhan orang berserban dan gamis putih-putih muncul menggeber-geber sepeda motor. Mereka meneriakkan takbir dan tangan mengacungkan balok ke udara. Beberapa polisi ada di antara mereka untuk menenangkan situasi.
Sejumlah warga, pedagang bakso, anak-anak muda dan waria segera kabur kocar-kacir tak keruan. Polisi yang jumlahnya bisa dihitung jari tak kuasa menahan massa yang mulai menghancurkan apa saja yang ditemuinya. Mereka mencabuti seng yang dianggap sebagai bilik-bilik maksiat, merusak beberapa kios, menggulingkan gerobak, menghancurkan botol-botol bekas, merobek poster iklan rokok dan calon legislatif. Kemarahan benar-benar tak terkendali.
Seorang lelaki kurus berjenggot menuju warung tempat kami makan sambil menunjuk-nunjuk.
“Kalian benar-benar tidak tahu malu,” teriaknya penuh kebencian. “Sudah dibilang jangan buka, jangan buka!”
Boma yang gampang naik darah jadi ikut terpancing. Ia berdiri dan menantang. “Ini kan cuma warung makan. Masalahmu apa, sih?”
Mereka hampir berkelahi ketika seorang polisi datang memisahkan.
“Kalian juga ngapain masih di sini? Tempat ini sudah kena peringatan berkali-kali,” kata si Polisi.
“Ngapain masih di sini? Kami sudah ada di tempat ini sejak SMP, Pak!” balasku jengkel.
Terjadi cekcok, orang-orang beralih mengerubungi kami semua. Polisinya benar-benar tidak berguna. Mereka malah mendukung para pemarah ini dengan memanas-manasi. Beberapa orang mulai menyerang, menghantam kepala Boma dengan helm. Darah segar mengucur turun ke bibirnya. Seseorang menendang perutku, yang lainnya memukul tengkukku. Kami berdua harus dilarikan melalui pintu belakang warung Singara’.
Malam harinya barulah aku tahu kalau dompetku hilang sewaktu mencoba kabur dan kami telah jadi bahan hujatan seisi kota.
Boma mengirimkan link cuplikan video Instagram peristiwa yang sedang ramai di akun Info Kejadian Kota. Video itu di-like 8000 orang dan mendapat komentar 600 lebih. Membacanya sungguh menyakitkan hatiku. Tanganku gemetar ketika menggulir layar, berharap tak seorang pun mengenali kami berdua. Wajah kami nampak jelas, terlihat arogan, dan dilihat dari sisi mana pun video berdurasi tiga puluh detik itu memang memberi kesan bahwa kami adalah penjahat.
“Yang baju putih itu ngototnya minta ampun,” komentar seseorang. Aku mengenakan baju putih siang itu.
Dan dibalas komentar, “Begitulah kalau nafsu mengalahkan logika.”
“Si baju putih itu kenapa, sih? Bangga sekali dia bilang sudah di sana sejak SMP. Apa kerjaannya selama ini cuma main perempuan?”
“Hahaha. Bener, Mbak,” balas yang lain. “Tempat maksiat kok dibelain.”
“Yang gendut itu mukanya seperti mucikari,” seorang lain menyerang Boma.
Kalau aku terus membaca komentar-komentar itu semalaman bisa-bisa aku akan berakhir bunuh diri. Bukan sekali ini saja aku disalahpahami. Aku sendiri tak tahu mengapa, tapi rasa-rasanya semua yang kulakukan dalam hidupku memang tak pernah bagus di mata orang-orang.
***
Aku dan ibuku pindah ke rumah susun subsidi yang dibangun pemerintah kota pada awal tahun 2000-an. Letaknya di daerah pinggiran Makassar. Dulunya ini bekas rawa-rawa tapi seiring berjalannya waktu dan ledakan penduduk, pemerintah membangun dua gedung dengan lebih dari 80 kamar di atasnya untuk menampung orang-orang berekonomi menengah ke bawah. Hampir sebagian besar warga di sini adalah penduduk asli yang telah tinggal selama beberapa generasi dan sebelumnya memiliki rumah di tengah kota. Mereka pindah ke rusun karena tekanan ekonomi. Ada yang menjual rumah mereka karena terlilit hutang dan jatuh miskin, ada juga yang digusur paksa karena persoalan sengketa surat tanah.
Aku kenal Boma sesaat setelah pindah. Ia tinggal bersama keluarganya tepat di samping kamarku di lantai dua. Usia kami cuma beda beberapa bulan dan kami segera menjadi akrab karena memiliki banyak kesamaan pada hobi dan keusilan. Bedanya, Boma punya dua orangtua lengkap dan bapaknya pernah memiliki bisnis kain yang makmur. Setidaknya sebelum kebakaran hebat di kompleks pertokoan yang menghabiskan semua propertinya.
Boma terus membual kepadaku bahwa ia akan segera keluar dari tempat itu setelah bapaknya melunasi hutangnya di bank. Ia bilang mereka sekeluarga akan pindah ke perumahan pinggir kota di Maros. Tapi sampai bapaknya menua di atas kursi roda tak ada tanda-tanda mereka akan pergi. Sementara aku tinggal berdua saja dengan ibuku setelah bapak meninggalkan kami sewaktu aku masih berusia dua bulan. Tentang apa alasan bapak pergi, ibu tak pernah mau cerita.
Kami tumbuh besar di tempat itu, menyaksikan gedung-gedung baru berdiri di sekitar kami: mall, hotel bintang lima, dan pusat-pusat rekreasi pantai. Aku dan Boma juga Papekang, menghabiskan waktu berjalan-jalan sepulang sekolah, melakukan kenakalan-kenakalan kecil di lorong, ditempa oleh perkelahian antar kelompok remaja, kemiskinan, tapi secara mengejutkan berhasil keluar dari kemungkinan terburuk menjadi pengedar obat-obatan.
Aku dan Boma lalu berjanji kepada diri masing-masing untuk mencari cara supaya bisa melanjutkan pendidikan ke universitas. Di SMA kami mengambil pekerjaan paruh waktu di sebuah toko mebel milik seorang keturunan Cina. Tugas kami adalah menemani Om Kadir mengantar furnitur ke rumah pembeli. Sepulang sekolah aku dan Boma akan memasukkan seragam putih ke dalam tas, menyisakan celana abu-abu dan kaus, lalu naik duduk di bak belakang pick up, memegangi lemari atau springbed. Kami sangat menikmati pekerjaan tersebut, berkeliling kota melewati jalan-jalan besar dan gedung-gedung puluhan tingkat, masuk ke pemukiman orang-orang kaya. Kami berdebat tentang taksiran harga tiap unit rumah mewah dan tertawa-tawa menggodai anjing perumahan yang mengejar kami di belakang. Jika perasaan Om Kadir sedang baik, kami dibolehkan duduk di depan dan diberi rokok.
Om Kadir pula yang menemani kami tumbuh dengan nasihat-nasihat kolotnya tentang kehidupan. Ia seorang bohemian dan non-kompromistis atas segala macam hal. Ia tinggal sendiri di lantai paling atas dan rambutnya hampir telah memutih tertutup uban sepenuhnya. Pembawaannya menyenangkan secara umum tapi punya kebiasaan buruk mengumpat tiba-tiba tanpa alasan. Sekali waktu kami sedang asyik menyanyikan The Man Who Sold The World di radio ketika ia tiba-tiba memukul-mukul setir dengan kasar dan berteriak, “Kabbulamma, Kabbulamma!” Kami kira ia tak senang dengan lagu Nirvana itu, jadi aku ganti saja salurannya ke berita lokal dan memutuskan untuk diam. Tapi ia tetap mengumpat tanpa menoleh ke arah kami sedikit pun.
Aku dan Boma akhirnya masuk kuliah. Namun, tak banyak hal yang bisa kuceritakan pada fase ini. Semua tak seperti yang dibayangkan. Kami kuliah di kampus swasta yang sama, aku mengambil jurusan Ekonomi Pembangunan dan Boma di Ilmu Pemerintahan. Aku sering bertanya-tanya sendiri kenapa kami bisa sampai kepada keputusan demikian. Di kampus aku tak berniat mencari teman baru. Aku hanya menghadiri kelas, berbicara seperlunya dengan teman, dan mencari-cari alasan setiap kali diajak nongkrong. Pada dasarnya semua teman-teman kampusku itu menyebalkan. Mereka hanyalah anak-anak cengeng dari kampung yang kaget melihat kehidupan kota, kata Boma. Kemungkinan besar kami cemburu melihat kehidupan yang relatif makmur dan kebebasan tak terbatas yang mereka miliki. Tapi hal itu tak lantas membuat kami bergabung dengan kegiatan-kegiatan kampus. Aku tak tertarik menjadi aktivis pergerakan atau intelektual pengusaha. Aku menghindari seminar, lokakarya, pengkaderan, singkatnya semua hal yang membuatku terlihat seperti mahasiswa.
Tak ada hubungan niscaya antara kuliah dan masa depan adalah fakta pertama yang kutahu setelah lulus. Dengan nilai IPK minimal, aku dan Boma menghabiskan setengah tahun pertama setelah sarjana dengan optimis, berboncengan motor ke sana kemari menyetor lamaran kerja dan setengah tahun lebihnya dengan duduk-duduk di tangga rusun menunggu panggilan kerja sambil merokok. Untuk membunuh kebosanan aku mulai membaca ulang semua novel dan komik Naruto masa kecilku. Sepanjang masa itu Boma juga memulai kebiasaan mengumpat yang didengarnya dari Om Kadir. “Kabbulamma, Kabbulamma!” kapan pun ia melihat sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya.
Karena merasa semangat kami semakin hancur dari hari ke hari, aku berkata kepada Boma nampaknya ada yang salah dengan cara kami mencari kerja. Kami terlalu berharap diterima perusahaan besar.
“Sebaiknya kita gak usah pilih-pilih kerjaan saja,” kataku. “Ini salah kita sendiri kuliahnya jurusan apa, nyari kerjanya di bagian apa.”
“Tapi kan hal seperti itu sama sekali gak penting,” kata Boma. “Kau tahu Hasbi, yang jurusan Pertanian itu, sekarang kerja di bank. Yunus anak Sastra juga kerja di tambang,” dan ia juga menyebutkan banyak nama lainnya.
“Iya juga… tapi bagaimanapun kita berdua ini memang aneh. Apa yang kita lakukan selama ini hanyalah untuk membuktikan kepada anak-anak lain bahwa kita tak sama dengan mereka.”
“Maksudmu apa?” kata Boma terlihat bosan dan menendang-nendang kaleng cola ke tembok.
“Maksudku, kita pergi kuliah karena kita kesal dengan kehidupan di sini. Tapi kita sama sekali gak tahu apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Kita gak bisa membandingkan diri kita dengan orang-orang di luar sana. Mereka semua punya akses bagus kepada pekerjaan. Pergaulan mereka luas. Sementara kita terkurung di gedung-gedung rusun ini sejak kita bisa berpikir. Betapa pilihannya hanya menjadi gembel seperti yang lain atau pergi selamanya dan memulai hidup baru di tempat lain.”
“Jadi menurutmu kita sebaiknya berpisah dari orangtua kita? Bisakah kau bayangkan aku meninggalkan bapakku yang harus didorong setiap hari untuk berjemur di teras, menyiapkan dosis obat hariannya, dan menggendongnya masuk ke kamar kecil. Belum lagi kedua adik perempuanku yang tumbuh semakin liar sehingga aku harus selalu pulang untuk memukuli mereka setiap kali mereka membuat ibuku menangis. Kau bisa bayangkan aku meninggalkan itu semua?”
Ia ada benarnya. Seumur-umur aku tak pernah mau mengonfrontasi Boma. Itulah satu-satunya alasan mengapa pertemanan kami lurus-lurus saja. Lagi pula aku sendiri pun tidak bisa membayangkan suatu hari akan meninggalkan ibuku sendirian.
Hari berganti, panggilan kerja tidak kunjung datang, jadi kami mengetuk kamar Om Kadir sekali lagi. Meski kesal, tapi ia mau saja memperkenalkan kami kepada temannya yang bekerja di sebuah kawasan industri. Aku dan Boma lalu mendapatkan pekerjaan sebagai sopir mobil box mini di sebuah perusahaan produk pembersih rumah tangga.
Kami mengantarkan barang-barang seperti sabun mandi, deterjen, dan pembersih toilet ke kota-kota kabupaten di luar Makassar, berkendara sekitar empat hingga enam jam setiap harinya. Aku akan duduk di samping kemudi, mengatur musik yang kami sukai dari pemutar mp3 dan membicarakan banyak hal menyenangkan di masa lalu. Kami punya foto ukuran kecil Almarhum Papekang yang digantung di spion dalam untuk kenang-kenangan. Bagaimanapun anak itu pernah ada dalam hidup kami berdua. Sesekali dalam perjalanan pulang, gantian aku yang menyopiri dan Boma akan tertidur kelelahan di sampingku. Meski begitu, Boma tak pernah gantian denganku untuk berurusan dengan para pemilik toko. Ia seorang yang tak sabaran dan mudah tersulut emosi. Jadi kubiarkan saja ia tinggal mobil, dan aku akan berjalan dari satu warung ke warung lainnya berbicara perkara jual beli.
***
Orang-orang di lingkunganku sering memujiku karena kemampuan berbicaraku yang baik. Apa yang mereka maksud dengan baik aku sendiri pun tak tahu. Yang pasti sejak dulu aku selalu dilibatkan dalam urusan-urusan teknis di rusun. Aku menjadi ketua ikatan remaja mesjid di lingkunganku di usiaku yang begitu muda, 15 tahun, ketika tak ada anak lain yang mau melakukannya. Untuk acara-acara yang meminta keterlibatan banyak orang, Pak RT akan menunjukku sebagai pemimpin. Aku berteman baik dengan banyak orang. Anak-anak muda di lingkunganku menghormatiku dan anak-anak lingkungan lain tak mau menggangguku. Aku tak banyak bicara tapi sekali bicara sangat efektif. Ini bukan aku yang bilang, tapi orang-orang yang sering muncul di warung nasi goreng ibuku di lantai dasar rusun.
Pernah aku tak sengaja mendengar mereka bicara.
“Anakmu itu hanya butuh sedikit dorongan,” kata seorang tetangga kepada ibuku. “Ia punya bakat yang bagus, tapi kurang semangat. Kau perlu mengarahkannya ke hal-hal baik.”
“Apa ia memiliki gelagat dalam dirinya yang menunjukkan keburukan?” balas ibuku.
“Jangan salah paham, Tante Nanna,” sahut yang lain. “Iccang itu hanya tak menyadari bakatnya saja. Ia harus berusaha lebih untuk mendapatkan cita-citanya. Apa Tante Nanna sudah pernah berbicara dengannya tentang hal ini?”
“Anak itu tak pernah mengatakannya secara langsung,” balas ibuku. “Tapi sepertinya ia sangat menyenangi buku-buku. Ia bisa membaca seharian tanpa keluar kamar di hari libur.”
“Membaca itu memang penting, tapi tidak terlalu bagus jika sampai menjadikannya suka merenung begitu. Aku melihat Iccang mulai dibebani oleh gagasan-gagasan besar. Tak jarang ia membicarakannya dengan anak-anak lain di sini. Kuberitahu, Nanna. Kita tak membutuhkan semua omong kosong seperti itu di sini. Iccang harusnya mulai berpikir yang penting-penting saja, yang bisa menghasilkan uang, syukur-syukur bisa bawa kamu keluar dari sini. Kredit rumah atau semacamnya.”
“Tapi dia sekarang juga bekerja,” balas ibuku. “Memang gajinya tak seberapa tapi masih lebih bagus daripada tidak ada sama sekali,” ibuku seperti menyinggung halus anak-anak mereka sendiri yang banyak menganggur.
“Itulah yang kita bicarakan sejak tadi. Anakmu itu bisa lebih dari sekadar menjadi sales deterjen.”
***
Bagi aku sendiri tak ada yang salah dari percakapan itu. Semua orang tentu menginginkan peningkatan status sosial. Siapa juga yang tak mau punya rumah sendiri di luar lingkungan ini. Jika kalian bertanya apakah aku tak pernah memimpikan hal-hal semacam itu, aku bahkan membayangkannya setiap malam, setiap kali aku membantu ibuku menutup warungnya, di waktu-waktu seharusnya ia sudah beristirahat dengan tenang tapi masih harus mencuci gelas dan piring, menyapu sekitar ditemani kesunyian malam dan gonggongan anjing di kejauhan.
Apakah aku tak pernah berpikir untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus? Mereka boleh mengatakan aku kekurangan motivasi atau apa pun tapi aku telah melakukan semua yang bisa diperbuat oleh sepasang tangan dan kakiku.
Yang membuatku tak habis pikir adalah pendapat aneh yang menghubungkan kehidupanku dengan aktivitas membaca yang kulakukan. Mereka tak tahu bahwa aku telah melakukan ini sejak kecil. Aku membaca apa saja yang tersedia di hadapanku; coretan-coretan di dinding peninggalan penghuni sebelum kami yang tak dicat sampai aku berumur 15 tahun. Aku membaca poster kampanye, potongan koran, atau pembungkus makanan. Pada masa-masa awal kehidupan kami di rusun, membaca adalah pelarianku setiap kali ibuku menangis tiba-tiba karena kepikiran lelaki yang seharusnya tinggal bersama kami dan menjalankan tanggung jawabnya sebagai bapak.
Aku sendiri tak pernah menangisi lelaki itu atau berusaha menghibur Ibu. Ketika aku mulai mengerti segala sesuatunya, aku akan meninggalkan Ibu sendirian dan mengunjungi rumah teman-temanku untuk menonton televisi atau turun ke kios koran di depan lorong. Di sana aku membantu Pak Tua Daeng Tarang menjawab teka-teki silang tentang ibu kota negara di Afrika atau nama-nama senyawa kimia. Sebagai balasannya ia memperbolehkanku membawa pulang koran bekas sehari sebelumnya untuk dibaca. Dengan begitu, sedari kecil aku telah melatih diriku sebagai medium penyimpan informasi. Di masa sekolah hal ini membantuku dan teman-teman sekelasku dalam belajar. Mereka banyak menyontek dariku dan aku sendiri tidak begitu ambil pusing persoalan rangking pribadi. Selama mereka menyukaiku aku tak keberatan memberikan pekerjaan rumahku untuk ditiru.
Lalu, bagaimana bisa hal positif ini menjadi sesuatu yang dilihat penuh kecurigaan di usiaku sekarang. Bahkan Boma sendiri pun mempermasalahkannya. Sekali waktu saat aku kembali ke mobil dan membuka pintu, aku mendapatinya sedang membolak-balik manga Naruto yang kutaruh di laci dashboard. Ia terkejut karena dipergoki dan bertanya sudah sejauh mana aku mengikuti ceritanya. Jadi kukatakan dengan penuh semangat bahwa volume yang sedang dipegangnya itu adalah keluaran terbaru. Aku baru saja membelinya setelah gajian bulan kemarin.
Boma memandangiku keheranan, ia terdiam sesaat lalu berkata tanpa melihatku, bahwa aku seharusnya membelanjakan gajiku untuk hal lain. Jadi kukatakan bahwa membaca manga membantuku untuk tetap waras.
“Memangnya sepenting itu?”
Aku mengangguk. “Bayangkan betapa membosankannya hidup ini jika Jepang tidak pernah ada. Tidak ada anime, tidak ada manga, lagu-lagu bagus…”
“Kau terlalu berlebihan menanggapi fiksi.”
“Tapi fiksi melatih kita mengonstruksi kenyataan-kenyataan baru yang mungkin.”
“Jangan mulai berfilsafat denganku lagi,” Boma menyalakan mesin dan terlihat tak senang.
“Tidak, bukan itu maksudku,” kataku tertawa. “Aku hanya mencari penghiburan. Semacam pelarian dari kenyataan hidup sehari-hari.”
Boma juga sebenarnya menyukai anime. Tapi itu dulu, waktu kami masih kecil. Kami berdua sering menonton Naruto yang disiarkan di Global Tv sehabis magrib lalu membicarakannya dengan seru di anak tangga rusun bersama anak-anak lain hingga berjam-jam. Kami juga menyanyikan openingnya yang paling terkenal Fighting Dreamers keras-keras. Namun, bagi Boma masa-masa itu telah berakhir dan kami sedang memasuki apa yang disebutnya fase serius kehidupan. Sekarang waktunya bekerja, mengumpulkan uang, memikirkan pernikahan, dan masa depan. Tak ada waktu lagi untuk kesenangan anak-anak semacam itu. Fiksi biarlah tetap tinggal sebagai fiksi yang tak ada hubungannya dengan peri kehidupan orang dewasa yang realistis.
***
Mungkin kesalahanku adalah tak pernah mengatakan secara terus terang kepada semua orang bahwa keinginanku sebenarnya adalah menjadi seorang penulis. Aku tak ingat pasti kapan dorongan itu muncul pertama kali, tapi sejak lama menjadi penulis telah berada di urutan teratas cita-citaku. Aku begitu senang dengan cerita-cerita. Aku membaca kisah nabi-nabi sewaktu kecil. Beranjak dewasa aku sering mengunjungi perpustakaan provinsi dan berkenalan dengan novel sejarah, filsafat barat, klasik Chekov, Hemingway, atau cerita petualangan Karl May. Setelah bekerja aku memenuhi rak kecil di ruang tamu rusunku dengan koleksi series manga Jepang yang jumlahnya puluhan. Meski begitu, aku tak pernah menganggap itu sebagai penghambat perkembangan kepribadianku.
Aku tenggelam di dalam fiksi seperti seorang petualang dengan sebilah parang menembus hutan belantara. Membaca fiksi berarti menjelajahi kemungkinan-kemungkinan baru yang belum tersingkap. Dan sebilah parang adalah pemikiran yang jeli dan kritis. Sayangnya tak semua orang memiliki hal itu.
Mungkin Boma akan menganggapku mulai berfilsafat lagi. Aku tak menyalahkan pikiran-pikiran itu. Begitu pula dengan pendapat bahwa fiksi tak akan berguna di lingkungan kami, sebuah rusun yang miskin dan kumuh. Ludwig Feuerbach, filsuf Jerman yang kubaca semasa kuliah dulu mengatakan bahwa manusia memiliki tiga esensi dalam dirinya; pikiran, kehendak, dan perasaan. Kehadiran tiga fakultas ini tak terbantahkan dan menjadi penghubung kita dengan kenyataan. Kamu tak mungkin bisa menyuruh pikiranmu memikirkan sesuatu, justru pikiran itulah yang menaklukkanmu dengan mengarahkanmu kepada sesuatu. Seperti kamu tak bisa mengontrol mengapa harus menyukai warna merah dan bukan biru atau menghasrati pria ini dan menolak yang lainnya.
Sayangnya, ketiga kualitas manusiawi ini tak bisa tumbuh dengan baik dalam lingkungan yang miskin dan korup. Manusia yang tak mampu mewujudkan ideal-ideal; kebaikan, pemaaf, dan cinta kasih, melalui dirinya sendiri lalu memproyeksikan nilai-nilai itu keluar dirinya, ke dalam suatu sosok rekaan yang disebut Tuhan. Itulah mengapa Feuerbach percaya bahwa Tuhan adalah hasil dari kelemahan manusia sendiri. Sialnya, di kemudian hari Tuhan menjadi sosok eksternal-independen yang berkuasa penuh atas nasib manusia yang menciptakannya.
Aku membawa logika ini ke dalam fiksi. Aku merindukan kebebasan tapi ragaku terkurung di sini, maka aku beralih ke fiksi. Mawar tak bisa tumbuh di padang tandus, tapi puisi tentangnya bisa mekar di mana-mana. Memang, tak akan banyak yang memahami logika ini. Ketika membaca fiksi aku merasakan kesenangan yang tak dirasakan anak-anak sebayaku, yang menyapaku tanpa semangat ketika berpapasan di tangga rusun kami. Wajah-wajah lelah mereka bergulat dengan kehidupan dari pagi ke malam demi memberi makan keluarga. Lingkunganku benar-benar mematikan imajinasi.
Karenanya, aku harus menulis. Hanya dengan cara itulah aku bisa membuka pintu yang akan membebaskan jiwaku mengembara ke mana-mana. Aku akan menciptakan realitas rekaan seturut ideal-idealku sendiri meskipun aku tahu aku mungkin selamanya tak akan pernah meninggalkan tempat ini. Aku tak peduli jika harus bergantung hidup kepada pekerjaan sebagai sales deterjen yang tak mampu mengangkat derajat keluarga kami. Tanganku pasti bisa menulis lebih dari sekadar nota jual beli.
Setidaknya itulah keyakinan yang kupegang erat sepenuh hati, sampai pertengahan tahun 2019 ketika pandemi merebak dan menjungkirbalikkan ekonomi kami.
***
Kami dipaksa menerima kenyataan bahwa biaya operasional perusahaan membengkak. Ada banyak hal di luar kuasa manusia yang tak tertebak. Aku dan Boma terancam pemotongan gaji hingga 25%. Belum lagi ketika ada rencana untuk menggeser rute kami ke wilayah utara, tempat yang sama sekali tak dikenali dan jauh. Sebenarnya aku bisa saja bertahan dengan itu meski Boma langsung keluar setelah mendengarnya. Tapi aku sudah terlanjur terikat dengan kawan baikku itu sehingga sulit rasanya membayangkan duduk satu mobil bersama partner baru dan memulai semuanya dari awal dengan canggung. Jadi aku putuskan keluar juga.
Di satu sisi, pandemi plus status pengangguran memberikan keleluasaan bagiku untuk memulai proyek menulis, tapi pada saat yang sama pembatasan besar-besaran yang dilakukan pemerintah melahirkan masalah ekonomi yang parah. Warung nasi goreng ibuku tutup selama social distancing. Satpol PP rutin melakukan razia ke wilayah kami, membubarkan paksa anak-anak yang berkumpul di pinggir jalan. Di lantai bawah, gerobak-gerobak jualan penghuni rusun berjejer terbengkalai. Aku sendiri tak punya pilihan selain mengetuk pintu kamar Om Kadir. Ia tetap memanggilku dengan Kabbulamma‘ tapi aku tidak peduli.
Aku bekerja serabutan apa saja, mengekor si aneh yang tak diketahui rencananya itu ke mana-mana. Kami mengecat rumah orang, membersihkan gorong-gorong, menjadi relawan Covid. Semua itu demi bertahan hidup dari hari ke hari.
Sementara Boma sudah berhenti percaya kepada Om Kadir dan mencari caranya sendiri. Aku tak tahu lagi bagaimana ia menyambung hidup setelahnya. Fakta bahwa kami hidup hanya dipisahkan sebuah dinding tak lantas membuat kami sedekat dulu. Memang kami masih sesekali berbicara jika bertemu di jalan atau ketika aku sedang duduk di pintu dan ia kebetulan lewat. Tapi pembahasan kami tak pernah lebih jauh dari saling menanyakan kabar.
Aku rasa kami berdua sudah sama-sama paham. Kita hidup dalam masa-masa sulit sementara basa-basi hanya membuang-buang energi. Kita harus memikirkan masa depan, Boma pasti akan mengatakan itu. Tak pernah lagi kudengar ia memukuli adik-adik perempuannya. Ibunya bilang ia juga berencana menikah dengan pacarnya dekat-dekat ini. Memikirkan itu semua aku jadi sangat bahagia. Aku tak akan mengganggunya lagi dengan mengeluhkan masalahku.
***
Semalam, setelah kevakuman komunikasi yang lama, Boma kembali mengirimiku sebuah pesan Whatsapp yang isinya mengajakku keluar hari ini. Ia tak mengatakan ke mana, hanya menyuruhku bersiap pukul 9 pagi sebelum ia datang menjemputku dari tempat kerjanya. Aku bangun pagi sekali. Setelah membantu ibuku beres-beres warungnya yang baru buka kembali, aku segera bercukur kumis, mandi, dan menyetrika kemeja.
Boma menyuruhku mengenakan pakaian paling bagus, jadi aku membayangkan sesuatu seperti hari gajian atau tempat karaoke.
Ia datang pukul setengah satu siang dan kami langsung berboncengan motor ke salah satu gerai Mc.Donalds di tengah kota. Di parkiran, Boma meminta supaya aku melakukan permainan umpan lambung yang sering kami lakukan dulu.
Kami akan bertemu seseorang. Aku tertawa dan mengiyakan saja. Barulah ketika melihat orang yang dimaksud, aku menyadari bahwa Boma sedang memohonkan sebuah pekerjaan untukku. Ia seorang perempuan paruh baya, mengenakan setelan blazer berwarna abu-abu dan kemeja putih. Ia membicarakan sesuatu tentang bisnis impor barang atau semacamnya. Boma berbohong tentangku, mengatakan jika aku memiliki segala kualifikasi dan pengalaman yang dibutuhkan olehnya.
Tugasku di pembicaraan itu mudah saja. Seperti biasa Boma akan mengarang sesuatu kepada seseorang dan berpaling kepadaku dengan isyarat “ia-toh?” dan aku akan menyambut umpan itu dengan menambahinya dengan karanganku sendiri agar terlihat selaras dan meyakinkan. Namun, entah karena kaget atau tegang, aku seperti tak bisa berkata apa-apa. Kepalaku pening dan aku harus pamit sebentar. Di parkiran aku menelepon Boma memintanya untuk keluar.
“Seharusnya kau bilang dahulu kepadaku,” kataku agak kesal.
“Aku mau beri kau kejutan,” kata Boma antusias. “Kapan lagi bisa mendapat kesempatan ini. Asisten pengawas lapangan. Gajinya lumayan, di atas UMK kota ini. Kau hanya perlu berbohong sedikit dan dia akan percaya.”
“Apa dia percaya?” tanyaku tanpa semangat.
“Tentu saja,” Boma meninju lenganku dan tertawa. “Kau tidak bakalan menganggur lagi. Kalau saja aku tak memikirkan orangtuaku, pasti akulah yang akan mengambil pekerjaan ini. Sayang sekali kerjanya harus di pulau Batam.”
Aku hanya terdiam.
“Bagaimana?” tanyanya sesaat kemudian.
“Bagaimana apanya?”
“Pendapatmu,” balas Boma. “Ayo kembali ke dalam dan selesaikan ini semua. Ibu itu tak punya banyak waktu. Ia mau lihat kelengkapan berkasmu besok pagi sebelum berangkat ke Jakarta.” Boma menarik paksa satu tanganku pergi.
“Sudah,” kataku melepaskan cengkeramannya. “Tidak usah. Sepertinya aku tidak bisa melakukannya.”
“Maksudmu apa?” Boma mulai tak sabaran. “Kau sendiri yang bilang dulu kalau satu-satunya cara untuk sukses adalah keluar dari lingkungan kita. Dibanding kondisi orangtuaku, Tante Nanna masih lebih baik. Ia sehat dan bisa bekerja setiap hari. Ia pasti bangga melihatmu punya penghasilan bagus. Soal ia tinggal sendiri kau tak perlu khawatir. Ibumu adalah ibuku juga. Serahkan padaku untuk menjaganya.”
Aku menggeleng. “Tidak perlulah,” kataku. “Tidak usah, terima kasih.”
“Kau ini kenapa, sih?” suara Boma meninggi.
“Kau bilang batas pengajuan berkas besok pagi, kan? Itu mustahil, semua surat-surat penting dan kartu identitasku hilang bersama dompet waktu kita dikeroyok tempo hari. Aku belum mengurus yang baru sama sekali.”
“Tapi kau punya salinannya?”
Aku menggeleng. Sayangnya tidak.
Dahi Boma mengerut kesal. Ia seperti ingin membunuhku dengan tatapan matanya sebelum mengendur dan menarik napas panjang tak percaya. “Jadi apa yang kau lakukan selama setahun ini Kabbulamma’? Memandangi langit sambil bengong? Kau bahkan tidak mencoba memikirkan hidupmu sendiri… Sudahlah.” Boma berbalik dan berjalan kembali ke dalam.
Ia keluar sesaat kemudian dengan wajah memerah karena malu. Kami pulang tanpa berbicara apa-apa di atas motor. Kupikir ia tak akan mau lagi bicara selamanya kepadaku tapi setelah kami semakin dekat ke rumah dan Boma berbelok ke jalan menuju pantai aku tahu dia sudah melupakannya.
Kami menghabiskan waktu sepanjang sore dengan duduk-duduk dan merokok di atas batu-batu besar, berbicara banyak hal tanpa sedikit pun menyinggung kejadian barusan. Di sana aku juga memutuskan untuk jujur tentang cita-citaku. Boma mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk dan berpikir. Di akhir ceritaku, aku berpaling kepadanya dan bertanya-tanya apakah ia menganggapku sedang berfilsafat lagi.
“Jadi kau betulan mau jadi seperti Mashasi Kishimoto? Menghabiskan sepanjang hidup di dalam kamar menggambar manga?” katanya.
“Tidak. Kau tahu aku tidak berbakat menggambar. Aku akan menulis novel.”
“Cerita seperti apa?”
“Masih belum terpikirkan,” kataku sedikit malu. “Tapi sepertinya tentang kehidupan seseorang.”
“Hmm, fiksi tapi mirip biografi, begitu?” Boma mengangguk-angguk.
Kami berpisah selepas magrib. Boma menerima pesan dari pacarnya yang minta dijemput sepulang kerja. Ia berjanji akan kembali lagi tapi kukatakan bahwa ia tak perlu memikirkanku. Aku bisa pulang sendiri jalan kaki. Reaksinya tidak lagi bersikeras seperti dulu. Boma hanya bilang, “baiklah kalau begitu.”
Ia pamit dengan senyum permintaan maaf. Sesuatu yang konyol untuk dilakukan. Akulah yang harusnya merasa bersalah karena telah mengecewakannya seharian ini.
Aku duduk di pantai sendirian, membiarkan gagasan-gagasan depresif tentang kehidupan berlalu lalang dalam kepalaku dan baru beranjak pulang menjelang tengah malam. Aku berhenti sebentar di depan bekas perkampungan kumuh yang terakhir kami kunjungi setahun lalu. Pagar seng membentang dari utara ke selatan yang di permukaannya bertuliskan nama grup perusahaan pengembang terkenal. Tak lama setelah insiden kami dikeroyok, pemerintah mengeluarkan surat perintah penggusuran terhadap perkampungan ini. Di atasnya akan dibangun komplek perbelanjaan, semacam super mall atau mungkin juga hotel. Aku penasaran pergi ke manakah semua mantan penghuni tempat ini.
Tiba-tiba aku merindukan Singara’.
Aku menyelinap masuk lewat sebuah pintu terbuka dan memutuskan pergi melihat-lihat. Hampir semua gubuk di sana telah diratakan. Truk dan alat-alat berat tampak di mana-mana. Aku sedang mengira-ngira jalur lorong kecil tempat kami bertiga lewat dulu ketika sebuah nostalgia datang menuntunku dalam bentuknya yang paling surealis.
Aku melihat ketiga anak itu, dalam seragam SMP berjalan beberapa langkah di depanku. Aku, Boma, dan Papekang berdebat tentang siapa yang paling berhak memerankan Naruto. Tiba-tiba, Papekang berlari mendahului aku dan Boma. Ia berhenti dan berbalik untuk melakukan gestur tangan, jurus ala ninja sebelum berlagak layaknya Sasuke, menyemburkan api imajiner dari mulutnya ke arah kami. Aku dan Boma melompat berpura-pura jatuh ke tanah. Baju sekolah kami kotor, tapi kami bangkit dan tertawa-tawa puas lalu menyanyikan opening anime terbaik masa itu.
We are fighting dreamer na na na na
Fighting dreamer na na na na
Fighting dreamer na na na na
Oli oli oli oli oo just go my way….
Kini tersisa aku seorang di dunia ini. Satu kawanku mati muda dan satunya lagi akan segera menikah dan memiliki kehidupannya sendiri. Yang bikin sedih adalah perasaan ditinggalkan ini membuatku mengutuki diri sendiri. Setelah kejadian tadi Boma mungkin berpikir hidupku tak bisa diselamatkan lagi dan ia berjanji pada dirinya sendiri tak akan buang-buang waktu untuk memikirkanku. Tak cukup hanya dengan sengsara tapi hidupku juga menular, membuat orang-orang salah paham dan takut dekat-dekat denganku. Aku merasa seperti Lennie di tengah-tengah lautan George Milton dalam cerita Tikus dan Manusia karya Steinbeck.
***
Di kolong rusun ibuku baru saja akan menutup warungnya ketika melihatku masuk. Ia segera mengeluarkan sepiring nasi goreng yang sengaja disisakan untukku. Aku duduk di kursi plastik dan makan dalam diam. Tidak ada pembicaraan. Ibu tak bertanya aku dari mana atau apa yang kulakukan seharian. Beginilah hubungan yang terbentuk antara aku dan Ibu sejak dulu. Seperti dua orang asing yang dilempar ke dalam sebuah ruangan kosong dan dipaksa hidup bersama. Tapi aku tahu ia mencintaiku dan ia pun tahu betapa aku selalu memikirkannya.
“Oh iya,” kata Ibu tiba-tiba membuyarkan lamunanku. “Om Kadir tadi datang ke sini mencarimu.”
“Palingan mau pinjam uang lagi,” kataku terus mengunyah makanan.
“Oh, begitu,” responsnya selalu singkat dan sederhana.
Memang benar. Beberapa saat kemudian suara langkah kaki lelaki tua itu terdengar menuruni tangga. Ia mengumpati permainan gim di ponselnya.
Begitu melihatku, Om Kadir melambai dari jauh. Aku yang sedang membantu Ibu merapikan meja pergi menghampiri. Ia meminta chip untuk bermain judi slot lagi meski tahu aku sudah berhenti berjudi sejak lama. Itu sebenarnya basa-basi saja untuk minjam duit.
“Aku tidak enak minta sama Ummi-mu,” bisiknya. “Utang makanku sudah ratusan.”
Aku merogoh kantong, tak yakin masih punya uang tersisa.
“Cuma lima belas ribu, Om,” kataku. “Ini bahkan gak dapat 500 M.”
Om Kadir merebutnya dari tanganku dan segera pergi. Di tengah-tengah jalan ia berhenti, seperti ingat sesuatu.
“Kau ada kesibukan apa besok? Kalau tidak ada, siapkan dirimu jam tujuh pagi. Kita ada pekerjaan. Memindahkan timbunan puing-puing bangunan di Batu Cipuru’. Ya, bekas tempat mainmu itu. Honornya cukup bagus. Kau pernah bawa mobil tongkang, kan?”
Seumur-umur aku tidak pernah mengendarai mobil besar, tapi aku sangat membutuhkan pekerjaan saat ini. Jadi aku mengangguk saja.
“Oke, jam tujuh pagi,” katanya berlalu pergi.
Aku kembali ke Ibu dan menyelesaikan tugasku hari itu. Aku menggulung tenda, mencabut selang dari tabung gas, menumpuk kursi plastik di pojokan, mengamankan wajan dan piring supaya tidak dibawa pergi pemulung, lalu kembali ke atas bersama Ibu.
Di kamar sebelah, sepasang sepatu Boma tergeletak di luar dan lampu di dalam sudah padam. Aku bisa mendengar dengkuran Boma dari luar. Mungkin sahabatku itu benar ketika mengatakan aku tidak bisa terus-terusan mengandalkan Om Kadir dalam hidupku. Bisa-bisa aku bakal mengikuti jejaknya sebagai bujang lapuk. Tapi apa yang harus kulakukan jika bukan itu? Aku sendiri tak bisa memikirkan hal lain.
Satu-satunya yang membuatku bertahan saat ini adalah fakta bahwa di tengah-tengah kesengsaraan dan usia yang semakin bertambah, aku seperti menemukan satu alasan baru untuk memulai pekerjaan menulis. Aku saat ini berusia 30 tahun, belum menikah, kehabisan uang, tinggal bersama Ibu, dijauhi teman-temanku, melarat… kalian bisa tambahkan daftar lainnya. Tapi yang pasti aku tak ingin menua dan mati mengenaskan di sini tanpa seorang pun pernah mendengar sesuatu tentang hidup kami.
Dan demi semua itulah cerita ini kutulis.
***
Editor: Ghufroni An’ars
Sengsara dan menular 🔥🔥🔥