Sengketa Tiada Putus
Untuk: Gadis Sakai
saat api gadang membakar habis rimbamu
kau mulai bermenung buruk di muka pintu
dan segala yang kaukicap menjelma empedu.
lantaran alam yang dulu terkembang dan dijadikan guru
di kampungmu sudah jadi abu. rimba yang dulu menjadi
hulu segala rindumu kini menjelma muara segala pilu.
waktu terus berjalan tanpa alat bantu
dan sepanjang itu pula aku menyaksikan kebencian
yang tak terhingga pada manusia-manusia biadab
itu terus tumbuh tak menentu dalam matamu.
walau telah kuselipkan seribu buhul di dua ruas dadamu
meski telah kuratap-dendangkan sehimpun jampi
ke rumpun telingamu. namun kau selalu saja
mengabaikan setiap kata-kataku.
kau beralasan bahwa di sisa hidupmu,
di dunia terkutuk, di mana semua orang
bisa menjadi tuhan sekaligus setan,
hanya itu satu-satunya takdir yang
ingin kautaklukkan.
seolah kau ingin menunjukkan sebentuk keangkuhan
yang barangkali merupakan penjelmaan
paling sempurna dari balas dendam.
(Pauh, 2022)
–
Musim Buruk Berkepanjangan
Untuk: Ughang Kubu
kau tak pernah takut pada lidah air
yang mengirim gelombang besar
atau pada hawa terkutuk yang menetap
di rimba-rimba dalam.
demi gunung menjulang yang ditawan dua bukit terlarang.
sungguh yang amat kaugamangkan hanyalah rambat tajam
yang bersemayam dalam lambung anak-anakmu.
telah kau coba piyuh-pilin tembusumu
yang selalu memberi himpunan puji tumpuan sembah,
pada rasa lapar yang berhelat di atas beradat di bawah.
namun tetap saja kau tak mampu mengusir ketakutan itu
dari lambung anak-anakmu.
sudah hilang suku, telah hancur teratak:
kampung halaman tempat terindah kata orang-orang
mengadukan segala untung perasaian pun telah beralih
pandam pakuburan: museum masa lalu yang tinggal kenangan.
dalam dirimu kini menetap prasangka kuno
bahwa segala kesusahan yang kau rasakan selama ini
adalah malapetaka yang takkan pernah dapat dikalahkan,
meski telah kaulaknat tandas-teruk takdir yang tertambat
dalam mushaf penuh firman, walau sudah kaukutuk-sumpahi
segala dalil tentang keberadaan Tuhan. semua hanya bermuara
pada kehampaan: seakan tak ada lagi yang dapat kau lakukan.
(Pauh, 2022)
–
Menerka Nasib Buruk
: Enzo Ortega
Beginilah nasib orang miskin di kota
hendak mereka hindari muasal penyebab
tukak seluas dangau pada lambung mereka
yang terus kelaparan itu: kelaparan yang
dibubuhi asam gunung garam laut dari mimpi
terkutuk dengan cara menerka-nerka nasib buruk.
Begitulah takdir orang miskin kota
ingin mereka nujum kapan nadi kering
mereka bersentuhan dengan maut akan
berhenti berdenyut: denyut dari aib paling teruk
dengan cara menangkap pesan lewat desir angin duduk.
Demikian hidup orang miskin kota
selalu saja hendak menafsir apa yang belum
tiba, sesuatu yang belum tampak di mata.
meski dendang dalam lambung mereka
terus mendengung bagai nun mati berjumpa ba.
(Pauh, 2022)
–
Sekaum Pandir
Untuk: Hutan Pubabu
aku mendengar kabar
bahwa di sibiran hutan sana
sekaum pandir tengah berkomplot
membentuk tanah air sendiri;
yang fondasinya mereka nukil
dari bangkai sejarah yang telah
berbau busuk dan atapnya mereka
bentuk dari kisah-kisah buruk.
kudengar juga bahwa pohon willow
yang daunnya berguguran bagai hujan
tempat kita dibesarkan ayah dan ibu
sudah diratakan mesin-mesin besar
dengan gigi tajam menganga.
aku tau hajat mereka mungkin saja
sanggup meremukkan gunung
memisahkan laut dari lanun
menjarakkan pasir dari gurun.
tapi demi gemuruh ombak
sunsang pada dentum samudera rumpang
sungguh, takkan kubiarkan mereka
menyulam ranji kusut itu menjadi
sebuah kampung halaman.
maka dari itu sebelum sekaum pandir itu
lebih jauh menghapus setiap kenangan
yang melekat pada hutan kita
aku dan sekelompok pemuda akan
menghalangi jalan mereka
walau dengan jasad kami semua.
(Pauh, 2022)
*****
Editor: Moch Aldy MA