Sengkarut

Tunggal Maja

2 min read

Desember, 2018

Lagi-lagi ayah menjotosi ibu. Lagi-lagi ibu hanya memasrahkan diri. Lagi-lagi saya hanya bisa menonton dari balik celah pintu kamar.

*   *   *

Februari, 2019

Teman-teman kuliah saya mulai menjauhi saya satu per satu. Katanya, mereka merasai saya yang berubah banyak. Katanya, bukan mereka yang menjauhi saya, tetapi saya yang menjauhi mereka. Lagi-lagi katanya, mereka merasai saya yang seolah-olah membenci semua orang.

*   *   *

Juli, 2019

Kuning. Benderanya berwarna kuning. Ada anggota keluarga besar saya yang mati. Orang-orang berbondong melayat menghormati. Tapi saya tidak peduli, menghormati pun tidak. Soalnya tidak seperti pelayat-pelayat yang tahunya dia orang terhormat, dia itu suka meludahi saya.

Kalau ada acara-acara amal, dia yang berdiri paling depan mesam-mesem berlebihan membanting segepok uang. Kalau sama saya, tidak bersama ibu atau di hadapan orang-orang lain, dia akan mengumpulkan dahak dan meludahi saya.

Cuih, begitu.

Makanya saya senang dia akhirnya mati.

Semoga Bumi meludahi mayatnya. Amin.

*   *   *

Juli, 2019

Saya baru menyadari. Bertahun-tahun belakangan ini saya sudah jarang sekali menstruasi. Dihitung-hitung, kadang tiga bulan sekali, kadang tujuh bulan sekali. Saya kira itu sebuah kelebihan. Ternyata bukan. Berbulan-bulan tidak menstruasi adalah sebuah keganjilan.

Bukan wajar yang menguntungkan.

*   *   *

Oktober, 2019

Lagu lama.

Mata kiri ibu lagi-lagi bonyok karena ditendang.

*   *   *

Desember, 2019

Saya ingin menyerah. Saya sudah tidak bisa menangis.

*   *   *

Desember, 2019

Sayang, tidak apa-apa. Menangis saja.

Sayang, luapkan semuanya. Saya tahu kamu sendiri, tapi kamu masih punya saya. Iya, saya. Diri kamu sendiri.

Sayang, semuanya akan berangsur jelas. Nanti. Sedikit demi sedikit.

Kamu percaya saya, kan? Terus percaya, ya. Semuanya akan berangsur jelas dan baik.

Tidak apa-apa menangis banyak untuk sekarang. Sebentar lagi kejelasan bakal mampir.

Iya, kamu bakal bahagia. Sebentar lagi. Kamu jadi bisa bantu orang yang kamu mau. Kamu jadi bisa melunasi utang masa lalu. Kamu jadi bisa bawa ibu kabur sehingga ayah tiada lagi mau memburu. Kamu bisa, sayang. Kamu bisa. Dan saya yakin akan itu.

Saya mencintai kamu.

Tertanda,

Kamu sendiri.

*   *   *

Desember, 2019

Ah…

Berasa sekarat.

Aneh.

Lagi-lagi aneh.

Begitu saya dengar olokan itu keluar dari mulut tetangga. Seaneh itukah saya?

*   *   *

Januari, 2020

Kata-kata semangat yang saya tulis sebulan lalu cuma bertahan sebentar, wkwkwk.

*   *   *

Juli, 2020

Mak Weni yang baru seumuran ibu dan biasanya jualan nasi itu mati karena stres diselingkuhi suaminya. Mas Han yang masih dua puluh empat tahun dari desa sebelah mati gantung diri—kabarnya ada kerusakan di otaknya. Orang selatan kampung yang tidak saya tahu namanya mati menenggak cairan obat nyamuk—bunuh diri gegara banyak utang katanya. Budhe Yus mati karena sakit-sakitan, tapi suaminya menyusul hanya selang dua bulan karena tidak kuat ditinggal.

Semuanya mati karena penyakit kejiwaan. Semuanya mati karena banyak pikiran. Semuanya mati menjadi olok-olok banyak orang.

Semuanya. Dan orang-orang masih saja menganggap penyakit kejiwaan tidak sama ganasnya dengan kanker, AIDS, atau tuberkulosis.

Kalau terus begini, lama-lama saya juga bisa mati. Gantung diri atau mencebur sumur.

*   *   *

Agustus, 2020

Barusan saya merasai ledakan energi yang aneh itu. Tetiba saya merasa ingin menyakiti diri sendiri. Untungnya cuma sebentar.

Tapi kalau begini terus saya bisa mati membusuk di kamar. Baru ketahuan seminggu kemudian.

*   *   *

November, 2020

HA-HA-HA-HA.

*   *   *

Januari, 2021

Sewaktu ibu sembahyang tadi, saya menunggui sembari duduk-duduk diam di belakang punggungnya. Sewaktu dia selesai, saya pun bertanya, “Ibu selalu mendoakan saya sehabis sembahyang?”

Ibu saya mengangguk.

“Doa apa itu? Apakah doa yang baik-baik?”

Ibu saya mengangguk.

“Bisakah ibu mengganti doa-doa itu?”

Ibu saya mengangguk lagi.

“Gantilah doa itu menjadi harapan akan kematian saya. Biar saya senang dan tenang.”

Lalu ibu saya menangis tersengguk-sengguk, memeluk saya erat sekali.

*   *   *

Maret, 2021

Saya ingin bebas. Sebebas-bebasnya makhluk rimba.

Tetapi kaki saya tidak bisa tercerabut dari kampung terkutuk ini. Kaki saya, sebagaimana akar wangi, telah menancapkan sulur-sulurnya jauh ke dalam bumi. Jauh sekali. Sampai-sampai tak akan hempas bilamana ada longsor atau banjir bandang. Dan andaikata akar-akar di bawah telapak kaki saya ditebas paksa, maka pasti berdarah-darahlah keduanya.

Saya ingin bebas. Tolong keluarkan saya. Tarik tangan saya sampai akar-akar itu tercerabut semua. Sehabis itu saya akan lari bertelanjang kaki. Bersama angin yang berputar-putar di sekitaran saya. Ke dalam rimba. Menjauh dari manusia.

Bebas dari pikiran-pikiran, omongan-omongan yang sengkarut.

Seperti makhluk-makhluk rimba. Saya ingin bebas.

Tapi, apakah bebas itu?

*   *   *

September, 2021

Senyum saya, tindak-tanduk saya, pakaian yang menutupi tubuh saya. Segalanya adalah dusta. Setidaknya sebelum saya mendengar pekik ngeri itu.

Saya berlari, bukan tergopoh melainkan seperti melayang. Terkejut merasai bobot sendiri yang seringan bulu. Seperti tetangga-tetangga lain yang membawa parang, balok kayu, atau gagang sapu karena mengira ada maling, saya bergegas mengikuti pekik ngeri itu ke dalam rumah.

Ibu saya menangis di ambang pintu sebuah kamar yang terbuka lebar. Di dalam kamar itu, seonggok badan perempuan seusia saya meringkuk seperti janin. Wajahnya tertutupi oleh rambut-rambut yang tergerai kusut berantakan. Baunya basi seperti sudah tidak mandi berhari-hari. Di bawahnya, kasur bersprei Donal Bebek berdarah-darah banyak.

Sewaktu saya menyibak rambut perempuan itu, kelihatanlah wajahnya yang merengut pahit. Orang-orang pastilah menyangka kematiannya itu penuh penyesalan dan tidak bahagia. Tetapi bagi saya, senyum terlampau tipisnya yang tidak kentara itu adalah bentuk kepuasan. Dia memang tidak berbahagia, tetapi senyumnya itu bukanlah suatu dusta.

Sama seperti saya. Dia senang bukan main akan kematiannya.

Tunggal Maja

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email