Bila Aku Bicara tentang Cinta
Berjumpa kehidupan, serupa kosakata yang hilang
Sedikit yang senang dengan bunyi dan konsonan
Sebagai anak; pelaku; korban; perasaan
Aku berhenti membuat orang lain percaya
Dengar sayang, memperhatikan diri tak seperti aku pura-pura peduli semua perkataanmu—sebab memang aku lebih mencintai diriku sendiri daripada kau. Dengan begitu, aku lebih mudah meyakinkan dirimu terlebih dahulu: aku tak butuh orang lain, dan kaupun semestinya tak mesti khawatir bila dihadapkan pada hal serupa. Sesekali, aku curiga, jangan-jangan kau sering mendengar bahwa manusia adalah makhluk yang membutuhkan makhluk lain? Kukira itu karena mereka tak melanggar aturan di tubuh mereka, layaknya rasa. Gemar bertengkar tentang keyakinan siapa yang paling berkuasa.
Begini, bagaimana jika
besok kita ke toko perhiasan
melihat tangan kita berdansa
mengambil banyak kesempatan
Beberapa orang hidup—tanpa mempertimbangkan keberadaanku, dengan kesibukan masing-masing kepala menentukan nasibku tanpa rasa bersalah. Betapa mengenaskan hidup di antara kesukaan dan ketidaksukaan, kepuasaan dan ketidakpuasan, kesedihan dan kegembiraan. Bukankah aku memiliki kuasa menolak keduanya, atau memilih salah satunya agar tak terdengar memaksa? Aku ingin tetap terjaga, berdiri dengan berani sambil memandang jauh perasaan tak berhak mendapatkan apa-apa selain kesia-siaan itu dengan mata yang menyala-nyala.
Kau menganggapku peduli pada segala. Aku menjadi begitu tak peduli semenjak di awal pertemuan. Jauh sebelum itu aku lebih tak peduli lagi pada perasaan menanggung—yang dinamakan teman, benda, kerabat, atau kekayaan. Kepuasan semacam itu, sayang, adalah racun seiring membaiknya pribadi manusia.
Aku tak membutuhkanmu, seperti
aku tak membutuhkan diriku dan mereka
Aku hilang, nyaris raib—ketika mencoba mencintai kehidupan dengan seutuhnya, dengan sepenuhnya.
–
Di Antara Iri dan Hati
Baiklah, ini yang paling jujur
Kenapa aku tak pernah enak hati
Melihatmu di foto atau
menggambarkan kesenangan
(mungkin pura-pura)
dengan yang bukan aku
atau kita di sosial media.
Mendiang filsuf-filsuf itu
pernah berdalih seenak hati,
aku tak berhasil mencintaimu
jika seperti ini—“cinta berarti membebaskan” atau
“try to being in love”
dan “bla bla bla”.
Tapi aku tak pernah ikhlas
melepaskanmu, dan tak pernah setuju
atas air yang membeku pada suhu tertentu.
Ini akan sedikit terdengar serupa metafora.
Meski begitu, aku tetap tak merestui kebahagiaan sosial mediamu.
Aku tahu sejak dahulu
kita begitu berbeda dalam segala,
aku membawamu pada samudera lara,
aku menyimpan rahasia-rahasiaku
yang paling biru dalam aksara-aksaraku.
Kita—aku dan hatiku
berhenti mencintaimu saja.
Tapi bagaimana?
Aku tak mengerti diriku—tak pula manusia lain yang kenaifannya terlampau kentara.
: Kita adalah campuran dari apa
yang kuinginkan dan kau yang
berpura-pura menginginkanku.
–
Berjalan Tak Melihat
Saat terbangun di keesokan hari, yang kulakukan pertama kali adalah membuat kesalahan; Aku menatapnya dengan terpesona, itu juga kesalahan; Seharusnya aku mampu mengendalikanku, karena keterpesonaanku itu malah membuatnya ketakutan.
Tapi kemudian mendadak aku dijadikan teman. Aku mungkin terburu-buru, namun tak bisa mengelak untuk pengakuan—lebih dari sekadar itu sebetulnya. Ini yang perlu kau ingat: aku tak menyembunyikan sesuatu yang sepanjang hidupku telah kusembunyikan dari diriku. Aku terang-terangan, tak ada yang kulakukan selain merenungkan kepastian cintanya.
Aku terangkan kalau usahaku pergi semata-mata hanyalah hasil keterpurukan kehendak dan pikiranku, juga gagasan betapa naif pribadi dan kejatuhan diriku.
Kuakui di kedai minuman itu, aku bertindak pengecut. Tak perlu detail kejadian. Keluarlah air matanya, tangis histeris, ia terus menarik tanganku agar tak mengatakan ini semua.
–
Kesunyian yang Pagi
Seandainya ia melihatku pagi ini
oh manusia!
oh alam!
Manusia sendirian di muka bumi—itulah yang mengerikan
Adakah orang yang hidup di negara ini?
Orang bilang
matahari memberi kehidupan
kepada alam semesta
Matahari naik dan—lihatlah
tak ada yang hidup, bukan?
Semuanya mati dan
kematian ada di mana-mana.
Sudah kubilang, manusia hanyalah manifestasi kesendirian—yang dikelilingi gema kesunyian, yang bising, yang nyaring.
Sekarang pukul dua malam
Sepatu kecil, kertas, pena, buku
di samping tempat tidurku,
esok mereka membawanya pergi,
apa jadinya aku?
–
Semua yang Tertawa Berada di Dekatku
lurus kutatap langit-langit
kubayangkan langkah gontai gadis kecil
sampai di balik pintu kamar
seseorang telah berhasil menyelamatkan kesadaran dalam mimpi panjangku
kuraih celah untuk mengintip dari lubang kunci
samar dirias wajahnya dengan ketakutan-ketakutan yang terpelihara
kekejian-kekejian sosial media
serta tudingan orang kota membuatnya tanpa bisa memuntahkan
satu pun bahasa dari mulutnya
nampaknya kata-kata tak ampuh lagi
mata bertebaran di mana-mana
telinga ditaruh di bawah meja
kaki lebam mengejar keinginan
dan tujuan yang entah pergi ke mana.
ini suara, produk bahasa.
datanglah segera, tuntaskan
kegundahanku pada yang jauh,
sertakan rinduku pada kesepian
yang dulu membantuku memeluk rindu—tolong, tolong selamatkanku dari diriku.
*****
Editor: Moch Aldy MA