Menjenguk Engkau di Tubuhku yang Sepi
Waktu kian menua
Aku ingin menjenguk engkau di tubuhku
Mengendap-endap
Merayap-rayap
Mencuri sisa-sisa percakapan kita
yang renyap
disesap tubuhmu
Sepi menggantung di ranjang
Anak-anak waktu menggelayut di kakinya
Yang keropos dilahap usia
Sepi lalu berserakan di lantai
Meringis-ringis kelojotan
Di luar hujan bertebaran
Sepi tiba-tiba menggelinjang
Menggelinding
Ke tubuhku
(Desember, 2021)
–
Semisal Hujan
Semisal hujan melulu berlarian di luar sana dan kau tak juga mengatakan apa-apa
Dapatkah kau mengakhiri hujan yang compang-camping di luar itu dan menyeret ia ke pusara
Di mana segala ingatan tentang kita telah dikebumikan
Agar aku dapat pulang mengemasi waktu dan memungut tubuh yang tabah menggigil
Semisal hujan berkecipak riang dan menjadi bising di kesunyian kita masing-masing
(Januari, 2022)
–
Di Dalam Doaku yang Rindang
Waktu tiba-tiba meraba kita
Ketika aku menggantung hidup pada ranting yang sama setiap detiknya
Kau mungkin sedang khusyuk bersembunyi di balik ingatan samar tentangku
Tetapi di doaku yang rindang
Segala bahasa ialah tentang dedaunan di sepasang matamu
Andai kau mengerti bahwa aku mencintaimu serupa gemericik hujan yang padanya segala hal dihidupkan
Kau barangkali lekas memeluk kalimat-kalimat kita yang pernah tertinggal dan berserakan di jalanan kota
: Kenangan senantiasa bergerak di jalan yang nyaris mustahil kita eja bersama
(Januari, 2022)
–
Kiat-Kiat Mencintaimu
Dua bibir cangkir berciuman di atas meja tulis
Sebatang rokok menungging di tepi asbaknya
Asap-asap terbang ke langit menyusul jibril melarung ingatan
Nyamuk-nyamuk bajingan bernyanyi di dekat daun telinga
Angin februari kucar-kacir mengajak menari hujan
Petir kelojotan di dekat jendela
Aku duduk bertelanjang-kepala
di pinggir ranjang
Mencintaimu dengan saksama
(Februari, 2022)
–
Empat Januari Dua Ribu Sembilan Belas
di gugusan jendela itu
empat januari dua ribu sembilan belas
waktu berhenti di telapak kaki kita
ia memperkosa tubuh kita yang gemetar
mengajak kita duduk di tepi siang yang baru saja diguyur hujan
tuhan merangkak di kepala kita
empat januari dua ribu sembilan belas
aku dan engkau menunggu pertanyaan dan jawaban
muncrat di atas meja
dengan keempat kakinya yang keropos
dan coretan di atapnya
empat januari dua ribu sembilan belas
dahan dan daun kedondong berkesiur
langit yang berkeringat menutup mulut
perkutut yang serak mengigau
puluhan buah jambu yang ranum berserakan di genangan
tetapi tuhan tak juga datang dan memberi tahu
mengapa aku dan kau berada di tempat itu
siapa kita sebenarnya?
seluruh pertanyaan terpelanting di kolong meja
(Oktober, 2021)