Semisal Hujan dan Puisi Lainnya

Sul Ikhsan

1 min read

Menjenguk Engkau di Tubuhku yang Sepi

Waktu kian menua
Aku ingin menjenguk engkau di tubuhku

Mengendap-endap
Merayap-rayap

Mencuri sisa-sisa percakapan kita
yang renyap
disesap tubuhmu

Sepi menggantung di ranjang
Anak-anak waktu menggelayut di kakinya
Yang keropos dilahap usia

Sepi lalu berserakan di lantai
Meringis-ringis kelojotan

Di luar hujan bertebaran
Sepi tiba-tiba menggelinjang
Menggelinding
Ke tubuhku

(Desember, 2021)

Semisal Hujan

Semisal hujan melulu berlarian di luar sana dan kau tak juga mengatakan apa-apa
Dapatkah kau mengakhiri hujan yang compang-camping di luar itu dan menyeret ia ke pusara

Di mana segala ingatan tentang kita telah dikebumikan

Agar aku dapat pulang mengemasi waktu dan memungut tubuh yang tabah menggigil
Semisal hujan berkecipak riang dan menjadi bising di kesunyian kita masing-masing

(Januari, 2022)

Di Dalam Doaku yang Rindang

Waktu tiba-tiba meraba kita
Ketika aku menggantung hidup pada ranting yang sama setiap detiknya

Kau mungkin sedang khusyuk bersembunyi di balik ingatan samar tentangku

Tetapi di doaku yang rindang
Segala bahasa ialah tentang dedaunan di sepasang matamu

Andai kau mengerti bahwa aku mencintaimu serupa gemericik hujan yang padanya segala hal dihidupkan
Kau barangkali lekas memeluk kalimat-kalimat kita yang pernah tertinggal dan berserakan di jalanan kota

: Kenangan senantiasa bergerak di jalan yang nyaris mustahil kita eja bersama

(Januari, 2022)

Kiat-Kiat Mencintaimu

Dua bibir cangkir berciuman di atas meja tulis
Sebatang rokok menungging di tepi asbaknya

Asap-asap terbang ke langit menyusul jibril melarung ingatan

Nyamuk-nyamuk bajingan bernyanyi di dekat daun telinga
Angin februari kucar-kacir mengajak menari hujan

Petir kelojotan di dekat jendela

Aku duduk bertelanjang-kepala
di pinggir ranjang
Mencintaimu dengan saksama

(Februari, 2022)

Empat Januari Dua Ribu Sembilan Belas

di gugusan jendela itu
empat januari dua ribu sembilan belas
waktu berhenti di telapak kaki kita
ia memperkosa tubuh kita yang gemetar
mengajak kita duduk di tepi siang yang baru saja diguyur hujan

tuhan merangkak di kepala kita
empat januari dua ribu sembilan belas
aku dan engkau menunggu pertanyaan dan jawaban
muncrat di atas meja
dengan keempat kakinya yang keropos
dan coretan di atapnya

empat januari dua ribu sembilan belas
dahan dan daun kedondong berkesiur
langit yang berkeringat menutup mulut
perkutut yang serak mengigau
puluhan buah jambu yang ranum berserakan di genangan

tetapi tuhan tak juga datang dan memberi tahu
mengapa aku dan kau berada di tempat itu
siapa kita sebenarnya?
seluruh pertanyaan terpelanting di kolong meja

(Oktober, 2021)

Sul Ikhsan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email