Sira menaruh apron di gantungan dan menarik kotak furnitur dari kayu untuk diduduki. Ia melihat jam yang terpaku tinggi di dinding belakang konter bar. Pukul 01:17. Selarut ini lagi, batinnya. Di bagian lain kafe itu, karyawan donat, begitu mereka menyebutnya, terlihat masih menghitung biji-biji mete dan kismis di telapak tangannya. Sebagian lain menimbang sisa-sisa bubuk cokelat Oreo dan Tiramisu. Mereka inilah yang sering jadi alasan keterlambatan karyawan di bagian kopi untuk pulang tepat waktu.
Meski telah bekerja hampir setahun di kafe tersebut Sira tetap saja tak habis pikir menemukan bagaimana kehidupan di sana berjalan. Ia bertanya-tanya apa yang akan dikatakan ibunya di kampung jika tahu bahwa perusahaan mereka menerapkan sejenis etika ketelitian yang nyaris mendekati kekikiran. Sudah jadi keharusan bagi karyawan untuk tidak melewatkan sebiji kacang pun lolos dari pencatatan.
Namun, yang semakin membingungkan bagi Sira adalah ketika pekerjaan hari itu selesai. Donat-donat yang tak habis dijual boleh dimakan oleh karyawan sepuasnya. Ini tentu menenangkan bagi Sira. Donat aneka toping, yang harganya bisa delapan ribu rupiah per biji itu akan masuk ke perutnya satu per satu. Jika sudah kenyang ia akan meloloskan sisa-sisa milkshake dan bersendawa puas. Namun, bagaimanapun, hampir selalu ada banyak sisa dan tak seorang pun diperbolehkan membawanya pulang.
Seorang sekuriti berbadan tegap akan berdiri di pintu belakang, memeriksa setiap jengkal tubuh dan tas kalau saja ada di antara karyawan ini yang mencoba membawa pergi donat sisa. Sebagai gantinya, donat-donat tersebut harus dimasukkan ke dalam karung, diinjak-injak sampai hancur sebelum dibawa ke tempat pembuangan sampah.
Di satu sisi, ada aturan yang begitu ketat terkait sisa-sisa bahan, tapi pada saat yang sama mereka lebih memilih melihat makanan berakhir di tempat sampah daripada diberikan kepada gembel-gembel yang banyak berkeliaran di belakang komplek pertokoan. Sira merasa tengah hidup di tengah masyarakat yang begitu rasional dalam setiap detail, tapi irasional secara keseluruhan.
Jadi, ketika menerima piket pertamanya membuang sampah, Sira tahu betul apa yang harus dilakukan. Nita, partner masuk paginya membisiki trik, bagaimana ia harus melapisi bagian atas karung dengan kertas koran dan tak menginjaknya terlalu keras. Ia juga mempelajari isyarat mata untuk para gembel -temui aku dua blok dari sini- yang berhamburan mengerubunginya begitu sekuriti membuka pintu belakang.
Kadang Sira harus memarahi mereka sepanjang jalan, melerai pertengkaran antar gembel, memberitahu jika semua bisa menahan diri maka akan ada satu donat untuk setiap orang. Tapi hal itu tak begitu membantu. Sesaat setelah ia meletakkan karung, mereka mulai menerjang bak sampah.
Sira akan menyingkir, membakar sebatang rokok sambil memandangi langit malam. Ia sungguh tak percaya akan menyaksikan langsung manusia-manusia yang menjalani hidup sejenis ini. Ini bukanlah kota Makassar yang ada di bayangannya sewaktu masih di kampung.
Dari ponsel Sony Ericsson W960 yang tersambung ke sepasang headset di telinganya, radio FM memutar lagu terbaru T.R.I.A.D berjudul Selir Hati. Waktu itu tahun 2010 dan Ahmad Dhani adalah mata air kreativitas yang tak ada habisnya. Hanya perlu mendengar Reff pertama bagi Sira untuk menyukai lagu tersebut.
***
Sudah beberapa malam ini Sira ikut berebut dengan para gembel untuk membawa pulang beberapa potong donat. Bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk diberikan kepada bocah-bocah perempuan yang tinggal di samping kamarnya. Mereka adalah adik kakak yang selalu muncul setiap malam menyambut Sira.
Ketika pertama kali melihat mereka, Sira kaget bukan main. Ia sedang berdiri di depan pintu, mencari kunci dalam tasnya, dan sepasang kepala muncul di jendela kamar sebelah. Sira semula berpikir tentang hantu atau semacamnya, tapi ketika melihat lampu teras yang menyala ia menyadari betapa lama dirinya telah tercabut dari realita. Ia bahkan tak ingat bahwa kamar itu telah memiliki penghuni baru.
Sira tersenyum kepada dua bocah perempuan itu tapi mereka tak begitu peduli. Si kakak yang berusia tujuh tahun memandangi Sira dengan diam. Sementara adiknya terlihat mulai berjinjit dan melambai-lambaikan tangan, menggumamkan kata mama.
Si kakak menepuk tangan adiknya, menaruh satu telunjuk di bibirnya dan berbisik jika yang datang bukanlah mama mereka.
“Mamamu di mana?” tanya Sira ramah.
Tak ada jawaban.
“Masih kerja, ya?” ia berpaling ke anak yang satunya tapi ia terlihat takut melangkahi kakaknya yang bergeming diam.
Sira menarik senyumnya dengan segan dan segera menghilang masuk ke dalam kamarnya. Masih memegang gagang pintu ia bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan kedua anak itu pada tengah malam begini.
Sira lalu berjanji pada diri sendiri akan menyapa mereka lagi besok. Tapi ketika hari berganti ia telah melupakannya.
Itu karena Sira terlalu lelah di siang hari. Ia akan terbangun oleh alarm pukul sembilan dan menghabiskan siang selebihnya dengan bermalas-malasan di atas kasur. Ia berpindah dari acara musik satu ke yang lainnya di televisi. Inbox, Dahsyat, Mtv. Jika televisi mulai membosankan ia akan beralih ke radio FM, mendengarkan chart lagu terbaru di depan dispenser yang memanaskan air. Memasuki minggu pertama kemunculannya, Selir Hati langsung melesat tiga tingkat ke posisi 5 dari posisi awalnya 11, menggeser Pelan-Pelan Saja milik Kotak dan melampaui nama-nama besar yang lama bertahan seperti Ungu atau D’Masiv.
Sira lalu melahap mie yang menjadi makan rangkap pagi-siangnya dengan cepat dan berangkat kerja dengan perasaan murung setiap kali bayangan mantan pacarnya muncul kembali.
Alasan kedua ia begitu mudah melupakan bocah-bocah itu karena kamar sebelah selalu tertutup pada siang hari. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Suasana begitu sunyi, pintu terkunci, dan korden jendela tertutup. Ketika ia mendekatkan telinga ke dinding yang membatasi kamar mereka tak terdengar barang satu pun suara anak-anak di sebelah. Sira menanyakan kepada ibu-ibu penggosip yang banyak duduk di lorong sambil mencari kutu satu sama lain tentang tetangga barunya itu, tapi hanya menemukan cerita yang simpang siur.
Beberapa mengatakan bahwa penghuninya adalah seorang janda beranak dua yang melarikan diri dari pernikahan yang tak bahagia. Sebagian lagi menambahkan efek sinetron bahwa suami perempuan itu mengusirnya setelah menemukan salah satu di antara dua bocah itu bukanlah darah dagingnya. Yang lain, mencoba mempertajam detail dengan perkiraannya atas pakaian dan tampilannya, keluarga kecil itu pastilah bukan dari kalangan kere seperti mereka semua. Bisa jadi ia seorang istri kesekian seorang pejabat tinggi di kabupaten tertentu yang untuk beberapa waktu masih disokong kehidupannya oleh sang suami sebelum malapetaka datang. Namun, tentang bagaimana mereka berakhir di indekos murah seperti ini, yang terakhir mencela pendapat pertama sebagai fitnah.
Satu hal yang pasti dari semua cerita itu bahwa tetangganya itu adalah seorang janda dan anak-anaknya, yang begitu menyita perhatian setiap orang di lingkungan di mana Sira merupakan satu-satunya yang belum pernah melihatnya.
Jadi pada malam itu, ketika Sira berhenti di depan pintunya, didorong oleh rasa penasaran ia mengeluarkan donat hasil rebutan dari dalam tasnya.
“Ambil ini,” katanya kepada si kakak.
Bocah perempuan itu bergeming. Sepasang matanya memandangi Sira seperti biasa, dingin dan terkesan merendahkan. Namun, yang lebih kecil mulai merengek dan meraih-raih jendela.
“Gak apa-apa,” kata Sira lagi. “Ambil saja ini. Tarik itu.” Ia menunjuk tuas di pinggir jendela. Semua kamar di sana menggunakan jendela nako.
Gadis itu berpikir sebentar. Ia berpaling ke adiknya yang terus mendesak lalu kembali ke Sira. Butuh waktu lama sebelum ia memutuskan melakukan apa yang diperintahkan.
Sira meloloskan kantong melalui celah kaca yang terangkat.
“Terima kasih, Om.” Anak itu menyenggol lengan adiknya yang juga mengucapkan hal yang sama dengan nada lucu.
“Ya, gak apa-apa.” Katanya sambil menyuruh mereka kembali menutup jendela. Tapi sebelum anak itu melakukannya, Sira menekan kaca dengan tangannya sendiri hingga tertutup rapat. Sira melambaikan dadah dan pamit masuk ke dalam kamarnya.
***
Ketika meninggalkan kampung halaman setahun sebelumnya, Sira termasuk anak yang optimis melihat masa depannya sendiri. Sayangnya, meski masuk tiga besar rangking terbaik di SMA, keluarganya tidak cukup beruntung memberinya dukungan finansial untuk melanjutkan ke universitas. Kekasihnya, Nurul, yang mendapat predikat lulusan terbaik melanjutkan pendidikan di sekolah kedokteran Makassar. Keluarga Nurul relatif makmur. Bapaknya adalah seorang tuan tanah dan bekas lurah, sementara ibunya bekerja sebagai kepala sekolah di SD yang mereka tempati belajar dahulu. Tak lama setelah pengumuman kelulusan, Sira juga meminta izin kepada ibunya, menceritakan rencananya untuk bekerja dan mengumpulkan uang pendaftaran masuk universitas pada tahun kedua. Alasan sebenarnya adalah karena ia ingin tetap dekat dengan Nurul.
Mereka lalu mengatur rencana bertemu sekali seminggu. Namun, karena tidak adanya kesesuaian jadwal, Nurul hanya memiliki libur di hari Sabtu-Minggu yang mana itu hari tersibuk yang meminta lembur Sira, maka kekasihnya itu harus membolos sehari dalam jadwal kuliahnya. Meski begitu semuanya terasa sangat indah. Mereka menghabiskan Rabu dengan menonton film, makan, dan diakhiri dengan bercinta di tempat Sira sampai pukul sembilan malam. Jika Nurul sudah pulang ke kosnya sendiri, Sira akan terjaga sampai pagi, terlentang memandangi langit-langit kamarnya dan sebuah perasaan bersalah khas remaja labil menggelayuti hatinya.
Hubungan mereka berakhir setelah Nurul masuk semester dua. Tak ada pertengkaran hebat atau tangis yang tumpah. Sira hanya mendapati Nurul mulai malas menerima teleponnya. Intensitas pertemuan mereka juga semakin sedikit. Entah mengapa Nurul selalu punya alasan untuk menghindari pertemuan, menyebut-nyebut tentang tugas, rapat organisasi atau semacamnya. Kalaupun mereka terlibat perbantahan kecil dan Nurul harus menyenangkan hati Sira, semua itu tak lagi sama. Nurul akan datang ke kamar kos Sira dan mereka akan bercinta dengan singkat tanpa banyak bicara. Sesuatu yang salah pasti sedang terjadi karena ketika Sira melihat ke dalam mata kekasihnya itu ia tak menemukan gairah lagi. Semuanya berganti menjadi orgasme yang dibuat-buat. Sex tak lebih dari gerakan fisik yang monoton dan menyiksa.
Pada minggu ketiga bulan Februari Selir Hati dengan cepat merangkak naik ke posisi 2 chart radio. Kamu dengan mudah bisa menemukan lagu ini diputar di mana saja pada tahun itu. Di atas angkot, di radio warung kopi, di mall, atau di sebuah showroom pakaian dalam wanita tempat Sira menemukan jawaban atas pertanyaannya selama ini.
Ia sedang dalam perjalanan pulang dari membeli makan siang untuk teman-temannya ketika melihat Nurul bersama seorang lelaki lain.
Sira berjalan kembali ke kafe di utara dan Nurul bersama lelaki itu menuju ke selatan. Ia sebenarnya punya pilihan untuk menghindari pertemuan itu dan menjadi seorang pengecut selamanya. Membuat keributan tak pernah ada dalam daftar tindakannya, meski di saat-saat terakhir ia bisa setidaknya menegakkan sedikit harga dirinya dengan meminta penjelasan dari kekasihnya itu. Namun, apa yang dilakukan Nurul sungguh menghancurkan hatinya. Ketika jarak mereka menyisakan beberapa langkah Sira membulatkan tekad untuk menghadapinya, tapi gadis itu seolah tak melihatnya, tatapannya lurus melewati bahunya. Satu tangan Nurul dilingkarkan ke lengan lelaki itu. Mereka berakhir saling melewati begitu saja.
Dengan kantong makanan di tangan, Sira berhenti di depan showroom pakaian dalam dan berbalik memandangi punggung kekasihnya menghilang dalam arus manusia yang berlalu lalang. Di dalam sana lagu telah sampai ke bagian di mana Mita bersiap mengambil alih Reff terakhir.
Aku rela oh aku rela bila aku hanya menjadi
Selir hatimu untuk selamanya
Hoo aku rela ku rela
Hoo aku rela ku rela
Sira berpaling ke sales perempuan yang berdiri di pintu. Dilihati begitu senyum protokoler perempuan itu berubah menjadi ngeri. Hanya ada rasa perih di sekitar mata Sira. Ia mengambil langkah cepat dan pergi dari sana.
Dua minggu setelah kejadian itu Sira tidur dengan perempuan lain. Perempuan itu enam belas tahun lebih tua dari dirinya, telah memiliki dua anak dan tinggal tepat di samping kamarnya.
***
Sira pikir itu masih pagi. Suasana kamarnya remang-remang dan panas siang yang menyengat di luar sana menjadikan kipas angin lantai di bawah kakinya tak lebih menggelikan dari embusan lubang hidung. Ia masih berbaring meraba-raba dalam gelap ponselnya ketika ketukan itu terdengar di pintu.
Dengan malas Sira bangkit dan mengintip di balik korden, berpikir jika itu tukang sampah yang menagih iuran bulanan. Namun, yang berdiri di sana adalah seorang perempuan yang ia baru lihat di sekitar situ. Perempuan itu membawa nampan plastik dengan mangkok di atasnya. Di sampingnya ada dua bocah tetangga itu.
Sira mengenakan celana panjangnya dengan terburu-buru. Ia membuka pintu dan mengucapkan hai kepada kedua anak kecil itu.
“Masih tidur, ya?” perempuan itu menjawabnya. “Maaf mengganggu… saya dengar televisi menyala.”
Sira yang masih belum fokus hanya bisa menangkap potongan-potongan tak beraturan dari ucapan perempuan itu. Ia membuka gorden jendela dan merapikan bagian depan kamarnya yang berfungsi sebagai ruang tamu dengan lemari pakaian sebagai pembatas. Ia mempersilakan mereka semua masuk dan menghilang sebentar untuk mencuci wajah di WC.
Ketika Sira kembali perempuan itu telah duduk di lantai bersama kedua bocah tadi.
“Saya dengar sudah beberapa malam ini kamu bagi Pia dan Utami donat,” ia melirik kedua anak itu bergantian. “Pagi ini saya masak bubur Manado dan bilang ke Utami bagaimana kalau kita bagi ke kakak di sebelah.”
Ia menyorongkan nampan berisi semangkuk sarapan yang menguarkan bau harum.
Jadi gadis itu bernama Utami, batin Sira. Yang kecil namanya Pia. Sira mengangguk dan setelahnya mereka bertukar terima kasih dan basa-basi yang wajar antar tetangga.
Perempuan itu berambut sebahu dan berpembawaan riang. Sira menaksir tingginya sekitar 165 cm. Cara bicaranya mengingatkan Sira pada seorang petugas layanan informasi di Mall, berat dan dalam. Untuk ukuran ibu dengan dua anak, perempuan itu lumayan cantik. Terdapat beberapa kerutan di dekat matanya, yang sepertinya karena pola hidup tidak sehat. Perempuan itu perokok aktif, terlihat dari bibirnya yang gelap. Meski begitu tubuhnya juga cukup bagus dan sangat serasi mengenakan daster tanpa lengan bermotif bunga cerah.
Namun, sampai mereka meminta pamit untuk pergi dari sana, pengetahuan Sira tentang keluarga kecil itu tak bertambah sedikit pun. Sambil menyantap makan siang Sira tak kuasa menahan godaan untuk membayangkan tubuh perempuan itu. Untuk pertama kalinya setelah minggu-minggu panjang kemurungan, ia kembali merasakan tegangan seksual tapi bukan berasal dari tubuh Nurul.
***
Tentang bagaimana Sira bisa tidur dengan ibu dua anak itu tak lepas dari sebuah insiden pada suatu malam. Dalam perjalanan pulang ke indekosnya, Sira melihat perempuan itu di bawah sebuah lampu jalan sedang berbicara dengan dua orang lelaki yang dari potongan pakaiannya begitu mudah disalahpahami sebagai penjahat.
Satu lelaki bertubuh kecil dengan rambut dikuncir dan mengenakan jaket jeans. Lelaki satunya yang berdiri agak jauh dan bertubuh tegap, mengenakan kaus Army dan terus mengamati sekeliling. Mereka seperti membicarakan sesuatu dengan serius, tapi jelas ada gelagat bahwa lelaki berkuncir itu sedikit memaksa. Perempuan itu mencoba menjelaskan sesuatu tapi perbantahan tak terelakkan. Lelaki berkuncir mulai bertindak kasar dengan menarik tangan si perempuan, memaksanya masuk ke mobil APV silver di bahu jalan.
Sira mempercepat langkahnya, tak sadar ia menyambar sebuah sekop dari timbunan pasir proyek pinggir jalan. Ia sendiri tak ingat memiliki nyali sebesar itu sebelum semuanya menjadi di luar kendalinya. Sira menghajar lelaki bersuara cempreng di pinggang. Pukulannya cukup keras tapi tak mampu membuatnya jatuh. Perempuan itu jelas terkejut melihat apa yang baru saja dilakukan Sira, tapi sepertinya ia justru tak senang dengan keterlibatan tak diharapkan ini. Apa yang terjadi selanjutnya membuktikan bahwa keberadaan Sira hanya membuat masalah baru.
Tertatih-tatih, lelaki berkuncir itu mengeluarkan pistol di pinggang yang tertutupi jaketnya. Dengan geram ia menodongkannya ke Sira. Sekilas terlihat menggelikan karena lelaki itu mesti berjuang berjinjit demi menjangkau pemuda dengan tinggi 175 centimeter yang berakhir dengan pucuk senjata itu di bawah dagu Sira. Ini mengingatkan Sira pada seorang paman dari pihak ibunya yang jadi tukang palak di Jakarta. Pamannya itu selalu membawa pistol palsu ke mana-mana untuk menakut-nakuti orang.
Namun, ini adalah Makassar dan bukan Jakarta. Preman-preman kelas teri di sini mungkin tak begitu akrab dengan senjata api, tapi siapa yang tak tahu kelewang. Di sini, entah urusan parkir atau kehormatan, kelewang selalu jadi pilihan pertama. Ketika lelaki satunya muncul dan mengeluarkan benda itu dari sarungnya, kilatan cahaya lampu jalan terpantul pada bilahnya dan menyilaukan penglihatan Sira. Saat itulah ia berpikir bahwa ini tak akan berakhir baik.
Perempuan itu menarik Sira mundur, lalu ia sendiri maju dan memberikan perlindungan dengan tubuhnya.
“Sudah jangan ganggu anak ini,” perempuan itu berkata. “Kalian tidak boleh melibatkannya.”
“Memangnya dia siapamu?” tanya lelaki bersuara cempreng maju selangkah, masih dengan pistol mengacung. Lelaki berbadan tegap melangkah ke samping, mencari sudut lain untuk menyerang Sira.
“Tidak tahu,” balas si Perempuan. “Mungkin cuma orang lewat.” Perempuan itu melangkah mundur. Sira sedari tadi telah membuang baloknya dan kini telah memasrahkan diri pada perlindungan seorang perempuan. Sepasang lututnya gemetaran tak keruan, hatinya lemah.
“Lalu kenapa kau melindunginya, bodoh?” lelaki bersuara cempreng terus mendesak. Sira terpojok di pagar sebuah rumah. Ia tak bisa lari ke mana-mana. “Hei, anak muda, ke mana nyalimu? Kau baru saja mau mematahkan pinggangku, sialan. Kemari kau.” Ia melompat menerjang tapi perempuan itu berusaha menangkap pistol di tangannya. Terjadi tarik menarik antara keduanya. Perempuan itu berteriak meminta bantuan tapi malam benar-benar sepi. Tak terlihat orang lain di sekitar situ. Sesekali mobil lewat dan hanya menyirami mereka dengan lampu depan lalu segera menghilang tanpa mengurangi kecepatan.
“Berhenti,” kata perempuan itu melindungi Sira dengan tubuhnya. “Kalian harus berhenti mengganggunya. Aku akan melakukan yang kalian perintahkan setelah ini. Besok datanglah kembali… aku pasti…”
Sira tak mampu memahami apa yang terjadi. Kepalanya bising oleh suara; Suara perempuan itu, lelaki cempreng, deru mobil yang melintas. Semuanya seperti arus air yang berlomba masuk ke sebuah celah sempit kesadarannya. Tapi Sira tak mampu menyimpulkan apa-apa. Ia tahu bahwa dirinya tak akan bisa lagi menampakkan wajah di depan perempuan itu. Kehormatannya telah hancur tanpa sisa. Ia merasa kecil, kepalanya dipenuhi segala macam alasan membela diri, tapi semakin ia memikirkannya semakin ia merasa hina sendiri.
Kedua lelaki itu kembali ke dalam mobil setelah mencapai kata sepakat dengan perempuan itu.
“Nah, kubilang juga apa,” kata si cempreng, “Andai kau sepakat dari awal tak perlu ada ribut-ribut begini. Lihat anak itu, mampus seperti tikus kejepit.” Ia tertawa, berpaling ke kawannya, yang sedari tadi masih geram dan terpaksa merespon dengan senyum sinis.
“Ngomong-ngomong seleramu bagus juga,” katanya setelah berada di atas mobil, ia menganggukkan kepala ke arah Sira. “Tapi aku sih enggak yakin setelah ini kau masih mau tidur sama berondong. Mereka itu, apa ya…”
“Pergilah,” kata perempuan itu. “Anak ini bukan siapa-siapaku.”
***
Sepanjang jalan pulang Sira hanya bisa membisu di samping perempuan itu. Beberapa kucing mengais-ngais kantong sampah penuh lalat berhamburan ketika mereka melintas. Sira mendengar degup jantungnya mulai menyelaraskan irama sepatu hak tinggi perempuan itu. Di depan kamar, perempuan itu berhenti dan melepas sepatunya, juga stoking abu-abu lalu memasukkannya ke dalam rak. Sira melihat kedua bocah itu di jendela tapi dia tak tersenyum. Pikirannya berkabut dan harga dirinya menyusut.
Perempuan itu masuk ke kamarnya tanpa berkata-kata, yang mana itu diartikan Sira sebagai sebentuk kekecewaan. Ia yakin tidak akan bisa tidur setelah ini.
Di dalam kamarnya Sira memanaskan air dan menyetel radio FM. Tapi tak ada lagi siaran musik tengah malam. Dinyalakannya TV dan ia melempar remot dengan marah setelah menemukan iklan rokok yang menampilkan seorang laki-laki pemberani yang beradegan laga melawan penjahat.
Tepat pada saat itu terdengar ketukan di pintu.
“Belum tidur, kan?” suara perempuan itu di luar.
“Ya,” Sira bangkit membuka pintu. Dan perempuan itu segera masuk ke dalam. Ia duduk di tempatnya waktu itu.
Sira memperhatikannya tanpa berkata-kata. Perempuan itu masih mengenakan pakaian kerja yang sama, rok pendek dan kemeja pemandu dengan nama perusahaan Johnny Karaoke n Billiard, dan nama Salmia di dada kanannya, yang tak sempat diperhatikannya sewaktu kekacauan tadi.
“Panggil saja saya Mia,” katanya memergoki Sira mengamati papan namanya.
Perempuan itu lalu mengeluarkan sekotak Marlboro merah dari kantung bajunya, mengambil satu untuk dirinya sendiri dan menawarkan kepada Sira.
“Tenangkan dirimu dulu.”
Sira mengambil satu lalu duduk bersandar di pintu lemari.
Mereka saling bertukar api dan berada dalam diam yang panjang sekitar lima isapan sebelum akhirnya Sira memberanikan diri meminta maaf.
“Kalau saya tadi gak berlagak konyol pasti gak bakal seperti ini.”
“Yang tadi itu bagus, kok,” jawab Mia. “Kau hanya melakukan apa yang seharunya dilakukan seorang laki-laki. Tentang bagaimana itu berakhir, persoalan belakangan.”
“Memangnya orang-orang tadi itu siapa?” tanya Sira.
Mia tak menjawab. Asap berembus keluar dari lubang bibirnya yang dibentuk sedemikian rupa, menghasilkan lingkaran sempurna di udara dan melayang-layang sebelum menghilang.
“Usiamu berapa?” ia mencoba mengalihkan percakapan.
“Delapan belas,” jawab Sira.
Mia menatap Sira. Jelas bukan sebuah tatapan menyelidik atau prihatin. Ini sesuatu yang lain. Sorotan matanya seolah memiliki maksud tersembunyi. Sira bisa merasakan darahnya mendidih. Perempuan itu mematikan rokoknya pada asbak lantas bergerak setengah merangkak untuk mendekatkan tubuhnya. Jarak mereka kini menyisakan beberapa sentimeter dan di dalam mata keduanya mereka bisa melihat hasrat membara satu sama lain. Apa yang terjadi setelahnya adalah sebuah pelajaran bagi Sira betapa ia tak benar-benar memahami perempuan.
Semuanya berjalan begitu cepat. Keduanya melepas baju dengan sepasang bibir mereka tetap saling berpagutan. Mereka lalu menjelajahi setiap jengkal tubuh masing-masing dan takjub oleh apa yang ditemukan satu sama lain. Perempuan itu berada di atas, melingkarkan lengannya, menggunakan kuku-kukunya untuk mencengkeram punggung Sira. Ketika ia mulai bergerak naik turun sepasang buah dadanya yang besar bergoyang-goyang di udara mengikuti ritme dari satu-satunya kalimat yang bisa diucapkannya dari awal sampai akhir.
“Kamu tampan sekali.”
***
Sebelum Mia pulang mereka menghabiskan waktu dengan tidur-tiduran di lantai yang lembab karena keringat keduanya. Mereka tak berbicara, Sira tak tahu apa yang harus dikatakan sementara Mia sepertinya tak begitu tertarik untuk mengatakan sesuatu. Perempuan itu tidur di dada Sira, menggelitikkan kuku-kukunya yang dicat merah cerah di sekitar dada hingga perut bawah.
Sira menciumi kepala perempuan itu berkali-kali dan itu membuat gemuruh dalam dadanya perlahan membesar seperti pusaran tornado yang menyapu sekelilingnya. Sayangnya, itu harus padam sebelum waktunya karena Mia memilih berdiri dan mengenakan pakaiannya.
“Anak-anakku menunggu di sebelah,” katanya mengabaikan penis Sira yang kembali menegang. “Mereka tak akan tidur tanpa melihatku.”
Ada nada kasihan dalam bicaranya yang membuat Sira malu. Mia mengenakan satu per satu pakaiannya kembali, tidak terburu-buru dan metodis, yang mana hal itu semakin menyiksa Sira. Di pintu ia berhenti sebentar, seperti hendak mengatakan sesuatu tapi menggantinya dengan senyum lepas yang membuat beban seberat dunia dan isinya lenyap seketika dalam dada Sira.
***
Hubungan antara Sira dan Mia berlanjut untuk malam-malam selanjutnya. Mereka bertemu sekali dua hari, selalu di kamar Sira. Mia akan muncul dengan ketukan pelan di pintu agar anak-anaknya yang baru saja tidur tak mendengarnya. Kualitas sex mereka semakin meningkat dari hari ke hari. Sira mendapati dirinya merasa bebas dalam pelukan Mia, sementara perempuan itu mendapatkan kesenangan yang selalu terbarukan yang tidak ditemukan dalam pelukan lelaki lain. Semuanya terasa sempurna sampai Mia menyadari ada bencana yang sedari mula tertutup dengan berahi yang meledak-ledak itu.
Bagi Mia apa yang dilakukannya bersama Sira tak lebih dari sekadar bersenang-senang dan ia berharap jika pemuda itu juga mendapatkan hal yang sama. Mia tak tahu kehidupan seksual Sira sebelum ini dan ia sendiri tak berniat menanyakannya. Mereka hampir tak pernah membicarakan hal paling pribadi masing-masing. Satu-satunya kesan yang dia dapatkan tentang anak itu adalah pribadi pendiam dan sedikit naif yang sepertinya bukan karena usianya yang begitu muda melainkan gejolak misterius yang muncul secara alami dalam dirinya.
Mia telah menjalani banyak jenis hubungan dengan lelaki berbagai usia. Kebanyakan adalah bekas pelanggannya di tempat kerja. Seorang pejabat pemerintah berusia enam puluh tahun, pemuda pengangguran tampan yang maniak judi, polisi beristri, mahasiswa-mahasiswa kere yang mencoba nakal dan banyak lagi. Tapi baginya, Sira memiliki daya tarik yang berbeda. Selain tampan, Mia menemukan pesona kejantanan dalam diri pemuda itu yang membuatnya mau saja menyerahkan diri di bawah kakinya. Ketika rasa segan dan malu-malu itu mulai menguap, Sira mengambil alih pertunjukan dan mulai berlaku kasar.
Semula Mia menerimanya sebagai sebuah variasi seksual yang tak terhindarkan, tapi ketika Sira mulai mencekiknya hingga nyaris kehabisan napas, memberinya tamparan bertubi-tubi di pipi, mengikat tangan dan kakinya, menyundut puting susunya dengan bara rokok, dan memaksanya melakukan adegan yang bahkan tak bakal dipikirkan lelaki bejat dalam film porno mana pun, Mia menangis mengetahui dirinya hanyalah pelampiasan kebencian pemuda itu.
“Aku mencintaimu,” kata Sira memohon. Pertengkaran tak terhindarkan lagi. Mia mengenakan pakaiannya setelah bersumpah tak akan melakukan hal itu lagi dengannya.
“Kau tidak mencintaiku,” tangis Mia pecah. “Saya tidak tahu apa masalahmu dengan wanita sebelum ini. Tapi saya telah belajar banyak dari tabiat lelaki dan kau bukan yang pertama yang ingin membunuhku. Kau menjadikanku sasaran kebencianmu.”
“Maaf,” Sira ikut menangis dan menggantuk-gantukkan kepalanya ke dinding. Ia tak mampu memikirkan alasan lain. Entah mengapa ia merasa hubungannya dengan Mia tak akan terselamatkan lagi.
Pernah sekali Sira mencoba mengetuk pintu kamar Mia, ingin meminta maaf setelah satu minggu yang seharusnya bisa memecah kebekuan di antara mereka. Tapi Mia bergeming, tak mau membukakan pintu. Ia berteriak dari dalam dapur, menyuruh Pia dan Utami menjauh dari jendela dan menutup gorden. Malam hari, Sira menunggu di ujung lorong tempat Mia melintas. Namun, begitu Mia turun dari taksi dan menyadari sosok Sira, ia akan membuang muka dengan jijik dan berjalan cepat. Sira dengan sabar menjaga jarak di belakang, berbicara dan meminta maaf, tapi tak dipedulikan. Karena kesal Sira mulai meracau tak jelas, mencela Mia, pekerjaannya, dan pernah bahkan mencoba meraih tangan Mia tapi ditepis begitu saja. Mia berbalik dan menantangnya dengan tatapan penuh amarah.
“Kau tidak tahu apa-apa tentang hidupku, anak muda,” bentaknya dengan telunjuk di hidung Sira. “Jika kau mencoba menyentuhku lagi aku pastikan kau tak akan selamat untuk kali kedua.”
Mia tidak sedang mengancam. Ia membuktikan ucapannya dengan kemunculan dua lelaki bajingan tempo hari. Keduanya terlihat duduk di sebuah balai-balai dari anyaman bambu di depan kamar Mia sambil merokok dan berbicara dengan berbisik-bisik. Mia selalu ada di antara mereka, mengeluarkan kopi dan penganan. Berlawanan dengan apa yang diduga Sira sebelumnya, kedua orang ini tampaknya bukanlah penjahat suruhan yang mencoba memeras atau menipu Mia. Sesekali kedua bocah itu juga bergabung bersama mereka. Pia terlihat begitu akrab dengan lelaki bersuara cempreng. Ia akan duduk di pangkuannya dan tertawa-tawa mendapatkan gelitikan geli di sekujur badannya.
Kali pertama Sira melihatnya, mereka menghentikan pembicaraan dan menoleh ke arahnya. Sira yang baru saja membuka pagar indekos melihat di kejauhan si badan tegap berdiri sambil berkacak pinggang, seperti menantang. Rasa tidak senang tergambar jelas di wajah kedua lelaki yang sebenarnya ingin bertindak lebih jauh tapi tertahan oleh keberadaan Mia.
Sira menghindari tatapan mereka, menunduk dan bergegas masuk ke kamarnya. Di dalam sana rasa cemburu dan penyesalan bercampur dalam dirinya. Ia mengeluarkan kantong berisi donat-donat yang segera dilemparkannya ke keranjang sampah. Keberadaan kedua lelaki itu adalah sebuah pesan jelas dari Mia untuk tidak lagi mengganggu dirinya dan anak-anaknya. Yang paling menyakitkannya adalah hubungan aneh yang terjadi antara mereka. Sira juga cemburu dengan kedekatan anak-anak Mia dan para bajingan tersebut. Perasaan kosong menyebar cepat di dalam dirinya. Ketika ia bercermin, ia menemukan sosok hina dan memalukan di dalam kaca.
Nyatakah kebencian yang dituduhkan Mia kepadanya selama ini? Benarkah ia hanya menjadikan Mia sebagai pelampiasan atas kekesalannya pada Nurul? Dan mengapa perempuan itu tak memberinya kesempatan untuk membela diri?
Pikiran itu begitu memberati batinnya, membayanginya hingga ke tempat kerja. Sira melamun sepanjang waktu di balik konter bar, bertanya-tanya betapa singkatnya jarak antara satu kemurungan dan kemurungan lainnya. Sewaktu ia berpisah dari Nurul ia memang merasakan sedikit rasa sakit. Tapi hal itu tak mendorongnya untuk melakukan tindakan pembalasan apa pun. Entah mengapa ia selalu merasa bahwa perpisahan dengan Nurul hanyalah persoalan waktu.
Namun, Mia adalah perkara lain. Sejak awal Sira tahu bahwa ia bukanlah satu-satunya lelaki dalam hidup Mia. Fakta bahwa ia mulai mencintai perempuan itu tak sedikit pun mengurangi caranya memandang rendah segala kehidupan Mia; Pekerjaannya, hubungannya dengan lelaki bajingan itu, dan gosip-gosip aneh di sekitar hidupnya. Dibandingkan Nurul yang dikenalnya sejak kecil, Mia bukan siapa-siapanya. Toh selama ini mereka seperti dua orang yang kebetulan tidur bersama tanpa keterikatan apa pun. Bagi Sira, perempuan hina seperti itu tak boleh menyakiti hatinya. Harga dirinya adalah kabut tebal yang membutakan mata. Ia tak akan membiarkannya dihancurkan dua kali.
Hanya butuh satu kesempatan dan sedikit kebencian untuk menghancurkan perempuan itu dan menyelamatkan harga dirinya.
***
Pagi itu Sira membuka pintu dengan perasaan kesal mendapati Mia dan kedua anaknya tengah berdiri di depan kamarnya. Sira mencoba bersikap tenang dan beralih mengamati pakaian mereka yang tak biasa. Mia mengenakan kemeja formal putih dan celana panjang juga sendal santai. Utami mengenakan kaus berwarna pink sama seperti adiknya dan topi gunung biru. Keduanya menggunakan tas besar seperti hendak liburan. Tujuan mereka menjadi jelas ketika Sira menyadari kedua lelaki bajingan itu berdiri menunggu tak jauh dari sana sambil membawa sepasang koper dan kardus-kardus sepatu.
Sira berpaling ke Mia, dan ia melihat air mata yang tertahan di tepi mata perempuan itu.
“Kami akan pergi sekarang,” katanya.
“Oh,” hanya itu yang bisa dijawab Sira. Ia sudah tahu tapi tak menyangka bahwa Mia akan pergi secepat ini.
“Maafkan saya,” Mia mengambil tangan Sira dan menggenggamnya kuat. “Kau anak baik. Lupakan semua yang pernah saya katakan waktu itu.”
“Ya, tapi,” kata Sira terbata memandangi Pia dan Utami. “Kenapa harus pergi secepat ini?”
Itu adalah pertanyaan bodoh yang semakin membuatnya terlihat pengecut.
Mia menggeleng, kedua tangannya merangkul Pia dan Utami. Ia tak kuasa menahan tangisnya lagi.
“Saya tak tahu jika mereka selama ini membenci saya. Orang-orang itu sepanjang waktu mengawasi saya, membenarkan prasangka jahatnya kepada saya dan anak-anak. Percayalah, saya mohon, jika ada satu-satunya manusia yang tak ingin saya tinggalkan dengan perasaan kecewa, itu adalah dirimu.”
Sira merasa dunia berputar-putar di sekelilingnya. Ia pasrah saja ketika Mia menarik dan memeluknya. Sira membuang muka tak berani menatap wajah perempuan yang di saat-saat terakhir membuatnya sedih.
“Jangan dengarkan perkataan mereka,” kata Mia. “Semua yang akan kau dengar setelah ini tentang diri saya tak benar sedikit pun. Tidak tentang Pia atau Utami. Tidak tentang pekerjaan saya. Rumah tangga saya. Itu semua tidak benar.”
“Saya juga meminta maaf jika punya salah,” kata Sira singkat.
Mia menggeleng. Ia melepas pelukannya dan mengambil tisu dari tas, menyeka air matanya.
“Kau tidak salah, kok. Kami pergi bukan karena kamu. Saya tak mungkin membenci satu-satunya tetangga yang peduli pada anak-anak saya.” Mia mengelus pipi Sira dan tersenyum.
Tentu saja ini salahku, batin Sira menjerit.
***
Malam itu Sira mendapati sejumlah warga sedang berkumpul memenuhi lorong. Mereka terlihat membicarakan sesuatu dengan serius. Itu terkait kemunculan dua lelaki berpenampilan meresahkan di kamar si janda anak dua. Tapi tentang langkah apa yang akan diambil, mereka saling berbeda pendapat.
Pak Lurah yang didesak oleh sekelompok ibu-ibu mengatakan bahwa ia tak bisa mengusir orang tanpa bukti telah melakukan perbuatan asusila. Namun, sebagian besar warga di sana telah bulat sepakat, dengan tuduhan masing-masing, memberikan alasan tentang keharusan mengusir Mia dan anak-anaknya. Kehadirannya membuat anak-anak muda di komplek itu gila, pakaian kerjanya begitu provokatif, pulang pukul dua malam, pekerjaan jenis apa yang dilakukan seorang perempuan di waktu-waktu seperti itu, dengan meninggalkan dua anak kecil di rumah.
“Tidak,” Pak Lurah menggeleng. “Kita tidak punya bukti kuat. Apa yang kalian katakan semuanya hanya desas-desus.”
“Saya bisa membuktikan bahwa apa yang dikatakan oleh orang-orang ini benar,” Sira muncul menginterupsi. Semua orang serempak beralih padanya.
“Bapak harus mendengar dia, Pak,” kata seorang ibu-ibu. “Anak ini tinggal tepat di samping kamar janda itu. Dia satu-satunya yang mesti kita dengarkan.”
Pak Lurah mengamati Sira dengan seksama. “Apa yang kau maksud dengan benar?”
“Tapi sebelumnya Bapak berjanji tidak akan menyebut-nyebut nama saya atas cerita ini.”
Mereka semua mengangguk mantap.
Sira memandangi orang-orang satu per satu. Sebenarnya ia masih punya kesempatan untuk membalik jalannya cerita. Ia bisa saja menyelamatkan Mia dan anak-anaknya dari tuduhan keji dengan mengatakan yang sebenarnya. Namun, niat jahat telah mengeruhkan pikirannya. Ia mulai berbicara dengan cepat, mengabaikan jeritan suara hatinya, mendorong keluar semua rasa sakit karena cinta bersama cerita-cerita bohong yang dirangkai untuk menghancurkan Mia dan anak-anaknya.
***
Editor: Ghufroni An’ars